Demagogi

143

HIDUPKATOLIK.com – Aku tak percaya dengan ulasan-ulasan yang mereka lontarkan. Aku tahu bagaimana sikapnya selama ini. Sandaran pendampingnya telah lama menghapus jejak dan tak akan pernah kembali lagi. Namun hal itu tak mengubah hidupnya sedikit pun. Sebuah kampak sebagai perangainya untuk menempuh hidup. Pujian-pujian tak akan pernah hilang kepadanya. Aku percaya itu. “Nak, percayakah kamu bahwa Tuhan itu mencintai orang yang mengalami penderitaan?”

***

Masyarakat kampung di daerah kami tinggal sering memanggilnya Pak Kampak. Kedengarannya cukup aneh namanya, tapi sebenarnya namanya bukanlah Kampak. Orang memberi gelar itu kepadanya karena pekerjaannya setiap hari selalu memegang kampak. Pak Kampak itu adalah ayahku. Ia seorang yang bekerja sebagai pembuat ukiran-ukiran kayu. Badannya berisi, tegap akibat latihan fisik ketika ia menempuh pendidikan di kemiliteran. Cita-citanya harus ditinggalkannya demi seorang wanita yang bernama Yuliana.

Yuliana adalah ibuku yang telah lama meninggal akibat ditikam teman seangkatan militer ayahku. Ayahku mengambil keputusan untuk keluar dari kemiliteran karena ia tahu bahwa Ronald mencintai Yuliana. Ia tidak ingin Ronald mengalami sakit hati karena Yuliana lebih memilih ayahku. Ibuku pernah bercerita kepada ayahku bahwa Ronald pernah melamar ibuku namun ia menolak karena ia telah jatuh cinta dengan satu pilihan yaitu ayahku.

Statusnya sebagai seorang tentara harus rapuh karena seorang wanita pujaannya. Namun sandaran hidupnya telah terhempas begitu cepat ketika aku berusia satu tahun. Darah mengalir deras di depan mata ayahku dan jeritan kesedihannya terselimuti dalam ingatan hidupnya. Kematian ibuku hanya dibalas sebatas hukuman penjara. Hukuman yang tidak setimpal dengan nyawa ibuku yang telah hilang.

Ayahku adalah seorang laki-laki yang setia. Usianya masih sangat muda di saat ibu meninggalkannya. Aku pernah menanyakan kepadanya mengapa ia tidak mau menikah lagi. Ia hanya diam dan tidak mengucap sepatah kata pun kepadaku. Banyak orang diluar jika ditinggal istrinya di usia muda akan memilih untuk menikah lagi bahkan yang telah mempunyai istri satu masih saja kurang.

Ayahku sangat tegas dalam dalam tindakan, jika “tidak” katakan “tidak”, kalau “ya” katakan “ya” namun di balik itu ia bersikap lembut kepadaku. Sikapnya kepadaku sehari-hari tidak menguatkan pikiraku bahwa dia dulu sungguh adalah tentara. Tapi setelah melihat di album angkatannya tampak terlihat jelas bahwa ia benar-benar seorang panglima perang yang tangguh. Latihan fisik yang dilakukan sungguh memacu adrenalin. “Jika tidak kuat, saya sarankan kamu keluar,” tegas jenderalnya kepada ayahku. Dokumen video ini selalu disimpannya bahkan foto dan surat cintanya dengan ibu masih terlihat bersih dari setitik debu.

“Ayah, tadi ada seorang laki-laki datang ke sini, namanya Pak Zairul. Ia ingin bertemu dengan yah tapi ayah tidak ada di rumah. Aku mengatakan kepadanya bahwa ayah akan pulang sore.”

“Naik kendaraan apa dia ke sini?”

“Naik mobil, yah.”

“Baiklah, ayah istirahat dulu ya?”

“Tapi, laki-laki itu siapa ya? Ayah kenal?”

“Seingat ayah dia adalah teman seangkatan ayah dulu ketika ayah di asrama militer. Kenapa?”

“Saya takut yah, wajahnya seram dan suara triple bass banget.”

“Ya namanya juga tentara nak. Ayah mau istirahat dulu, ayah capek sekali.”

“Saya buatkan teh dan air hangat untuk air mandi ayah ya?” sahutku ketika ayah berjalan menuju kamarnya.

Kulihat dari jendela kamarku, laki-laki teman ayahku datang lagi. Aku tidak tahu persis maksud kedatangannya ke sini. Saya pikir dia mempunyai urusan yang sangat penting dengan ayahku.

***

“Ayah tidak bekerja dengan kampak-kampak tua itu lagi nak.”

“Kenapa? Ayah dipecat?” tanyaku khawatir.

“Ayah ditawarkan bekerja di suatu perusahaan. Ayah akan terjun ke dunia politik nak.”

“Pekerjaan itu ditawarkan dari teman ayah itu? Dan apakah ayah telah mempertimbangkan tawaran itu?”

Ayah tampak ragu untuk menjawabnya. Ayah tidak pernah terjun ke dunia politik sekali pun. Semenjak kepergian ibu, ayah tak pernah menyentuh buku atau berkomunikasi dengan orang-orang yang berprofesi politik. Aku mempunyai firasat buruk tapi semoga saja firasat yang ada dalam benakku tidak menjadi kenyataan.

Wajahnya terlihat seperti tidak biasanya. Belakangan ini ayah selalu pulang larut malam. Aku tidak suka ayah bekerja di perusahaan. Pekerjaannya terasa lebih penting daripada aku. Bangun pagi, pulang larut malam. Tak ada tempat bagiku untuk mencurahkan cerita-cerita hariku kepadanya. Aku merasa ayah tidak ada lagi dalam diriku, ia bagaikan telah hilang dalam duniaku.

***

Dua tahun ayahku telah mengabdikan dirinya di perusahaan itu. Ayah pernah mendapat penghargaan terbaik dalam Creative Art Adventure. Penghargaan itu dipegangnya selama dua tahun. Tak ada yang bisa mengalahkannya. Baru dua tahun ia bekerja banyak pujian-pujian yang ia peroleh dari teman-teman kantornya. Kebahagiaan hanya diperoleh untuk dirinya sendiri sedangkan aku harus menahan betapa pahitnya tidak mendapat kasih sayang dari seorang ayah seperti yang dulu lagi. “Di mana ayahku yang selama ini aku kenal?” batinku. Aku selalu berdoa kepada Tuhan bahwa aku menginginkan kasih sayang ayahku yang dulu lagi.

“Dunia ini begitu kejam ya nak?”

“Kenapa ayah mengatakan hal itu.”

“Setiap pekerjaan selalu dilemparkan kepada ayah. Ayah kan bukan mesin yang dapat dipergunakan kapan saja dan sesuka hati. Sudahlah! Bagaimana kalau kita besok jalan-jalan rekreasi.”

“Ayah serius mau mengajak aku jalan-jalan?”

“Ayah serius,” tegasnya lebih serius.

“Bagaimana kalau kita ke pantai saja. Di sana ada festival wilayah.”

“Tapi ayah ingin sekali mengajak kamu beli baju, sepatu, dan barang yang kamu suka. Apalagi ayah sudah lama tidak membeli kamu barang-barang kan?”

Aku begitu bahagia karena hal yang kuharapkan selama ini terwujud juga. Aku ingin ayah selalu ada di sisiku. Aku tak pernah mendapat kasih sayang dari ibu. Jika aku kehilangan ayahku mungkin aku lebih memilih untuk mati bersamanya.

***

Kulihat ayah dari jendela kamarku. Ia sibuk mengasah kampak-kampak tuanya yang telah lama tidak pernah disentuhnya.

“Ayah sudah jam 10.00. Ayah tidak berangkat kerja?” tanyaku sambil menyodorkan segelas kopi di meja kerjanya.

“Tidak nak. Ayah tidak akan bekerja lagi di perusahaan itu. Ayah lebih memilih bekerja sebagai tukang kampak dengan berbagai ukiran lukisan-lukisan indah.”

Aku tidak yakin dengan perkataannya. Setelah sekian tahun ia tak pernah menceritakan bahwa ia ingin keluar dari pekerjaannya. Mengapa baru kali ini ia mengatakan hal itu? Aku yakin pasti ada yang disembunyikannya dariku. Aku masih ingat dengan perkataannya semalam mengenai dunia ini begitu kejam.

“Ayah, aku adalah anak ayah. Ayah tidak perlu menutupi masalah ayah kepadaku. Kalau ayah tidak mengatakan hal yang sesungguhnya, aku akan mencari tahu ke perusahaan ayah. Sepandai-pandainya ayah menyembunyikan bangkai pasti akan ketahuan juga.”

“Ok….Ok… Kamu duduk dan dengar baik-baik perkataan ayah ya. Ayah dipermalukan di depan teman-teman kantor ayah. Ayah dituduh bahwa ayah bermain dengan seorang wanita yang bukanlah istri ayah. Ayah memang pernah berbicara dengan wanita itu, tapi ayah tidak pernah bermain dengan wanita tersebut. Tiba-tiba wanita itu datang ke kantor dan meminta pertanggungjawaban dari ayah. Wanita itu mengatakan kepada orang-orang kantor bahwa ia adalah kekasih gelap ayah.”

Ayahku menangis dan memelukku dengan eratnya. Aku percaya bahwa ia tidak akan melakukan hal itu. Aku sungguh tahu kepribadian ayahku.

Fr. Yohanes Siringo-ringo

HIDUP NO.18 2019, 5 Mei 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini