HIDUPKATOLIK.com – Ia masih sangat muda. Selain cerdas, ia memiliki perhatian besar terhadap lingkungan hidup dan kesejahteraan para pemulung. Hidup harus menjadi berkat bagi orang lain.
Usianya masih tergolong belia, 17 tahun. Namun, siapa sangka, pelajar Jakarta Intercultural School ini mampu menciptakan platform utama pengelolaan sampah, yakni situs www.sampahlink.com dan aplikasi smartphone SampahLink. Platform tersebut menghubungkan para pemulung dengan pemilik sampah kering sehingga kedua pihak menjadi saling diuntungkan, dan meningkatkan kesejahteraan para pemulung.
Sistem operasi SampahLink secara sederhana mirip ojek daring (online). Seandainya ada anggota keluarga hendak membuang sampah, tinggal buka aplikasi itu maka pemulung atau pengepul – SampahLink Troop– akan menjemput sampah tersebut. “Saya sering melihat pemulung sedang mengorek tempat sampah di pinggir jalan untuk mencari sampah kering yang bisa mereka jual untuk daur ulang. Padahal banyak pihak (terutama rumah tangga) yang memiliki sampah kering justru bingung dalam mengelola sampah tersebut,” kata Moses, saat ditemui bersama orangtuanya, di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan, Selasa, 16/4.
Dari situlah muncul idenya untuk membuat SampahLink. Tahun 2017, Moses mulai merealisasikan misi itu. Penggemar matematika itu menggunakan salah satu pendekatan matematis, game theory, sebagai solusi mengatasi persoalan sampah. Ide itu dari research paper berjudul On the Game-Theoritics Model of Indonesia’s Pollution State. Moses lantas mengembangkan risetnya itu di bawah mentor Carl Yerger dari Davidson College, Amerika Serikat.
Buah Kegagalan
Cowok kelahiran Jakarta ini mengakui, pembuatan platform tersebut muncul sebagai buah kegagalannya mengikuti sebuah seleksi kompetisi matematika. Ia takluk pada seleksi terakhir. Peristiwa itu membuatnya sangat kecewa dan sedih. “Saat masuk ke dalam mobil, ia hanya terdiam dan meneteskan air mata,” kenang Marcella Liwan Djafar, ibunda Moses.
Liwan bersama sang suami, Fransciscus Musa Priagus, berusaha menguatkan mental anaknya. Ia berkata kepada Moses bahwa segala peristiwa selalu ada hikmah; Tuhan senantiasa punya rencana indah bagi anak-anak-Nya. Meski demikian, Liwan tak menampik. Motivasi yang ia sampaikan kepada putranya menjadi cermin untuknya berefleksi.
Liwan mengaku, sudah berharap dan berdoa agar putra bungsunya lolos seleksi tahap terakhir. Namun, kenyataan berbicara lain. “Saya salah dalam berdoa. Saya memaksa Tuhan untuk mengikuti kehendak saya. Berdoa itu harus ikhlas, kita bisa meminta tapi harus yakin semua terserah kepada-Nya,” ungkap Liwan, mengakui.
Pengalaman gagal di seleksi kompetisi matematika, membuat Moses mengalihkan perhatian kepada bidang teknologi informatika dan komputer. Ia menyelami banyak hal di ranah tersebut secara mandiri hingga mampu membuat platform SampahLink. “Saya belajar dari video di Youtube atau membaca di google,” kata anak kedua dari dua bersaudara ini.
Tak hanya itu, Moses juga sempat menjadi juara dalam kompetisi informatika internasional. Keberhasilan itu menambah litani prestasi yang diukir Moses sejak duduk di bangku sekolah dasar hingga saat ini kelas 12.
Moses telah memenangkan banyak olimpiade atau kompetisi matematika maupun informatika atau computer science di tingkat nasional maupun internasional, antara lain medali emas Olimpiade Sains Nasional, medali emas National Olympiad in Informatics di Singapura, medali perunggu Internasional Olympiad of Metropolises di Moscow, medali perunggu Junior Balkan Mathematics Olympiad di Rumania, serta berbagai medali dan penghargaan bidang matematika maupun informatika di negara-negata seperti Cina, Kazakhstan, Hong Kong, dan sebagainya.
Moses menjadi salah satu siswa yang diundang ke Apresisasi Siswa Berprestasi, suatu acara yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan Indonesia untuk apresiasi putra/i Indonesia berprestasi dari seluruh Indonesia. Moses juga berhasil meraih nilai sempurna alias perfect score dalam test kesetaraan internasional ACT dan SAT Subjects. Test ACT dan SAT ini sejenis dengan test TOEFL dan IELTS yang merupakan salah satu syarat pendaftaran universitas di Amerika.
Teladan Orangtua
Perhatian Moses terhadap persoalan sampah serta empatinya kepada para pemulung, ia akui tumbuh karena melihat teladan orangtuanya. Sejak kecil sampai sekarang, ia selalu melihat ibunya membuang dan memilah sampah basah dan kering di wadah terpisah. Namun dulu, kenangnya, sang ibu kadang kesulitan untuk menyalurkan langsung sampah kering kepada pemulung.
Menurut Moses, kendala yang dihadapi ibundanya pada waktu itu, ternyata turut menginspirasinya dalam menciptakan platform SampahLink. Sementara dari sang ayah, Moses kagum dengan perhatian dan kepedulian orangtuanya itu kepada keadaan orang-orang kecil, terutama terhadap pemulung berusia lanjut.
Moses menceritakan, kerap melihat ayahnya memberikan uang bila berpapasan dengan pemulung. Selain itu, hampir setiap tahun, ia menyaksikan ayahnya memanggil beberapa pemulung ke rumah dan memberi sedikit rezeki kepada mereka. Teladan positif orangtuanya itulah yang mengasah kepekaan Moses terhadap persoalan lingkungan dan sosial.
Mendidik dengan teladan menjadi pola edukasi yang diterapkan Liwan dan Musa bagi kedua anak mereka. Menurut Musa, anak-anak, terutama pada usia emas (nol hingga lima tahun), lebih menyerap atau mengikuti yang dilakukan oleh orangtuanya bukan yang dikatakan oleh bapak dan ibunya.
Mengelola sampah rumah tangga serta atensi kepada para pemulung, diakui Liwan dan Musa, sebagai salah satu bahan untuk melatih sensitifitas buah hati mereka. Ketika Moses mengutarakan niatnya untuk membangun platform pengelolaan sampah, Liwan dan Musa langsung mendukung niat mulia anaknya.
Musa hanya berpesan kepada putranya, biaya untuk membangun platform tersebut harus berasal dari tabungannya. Moses akhirnya menggunakan seluruh hadiah yang didapat selama mengikuti olimpiade untuk membangun platform SampahLink, membeli seragam untuk SampahLink Troop, serta membiayai sosialisasi program ini kepada para pemulung. “Ide dan dana semuanya dari dia (Moses). Kami, orangtua, hanya menemani dan mendampinginya,” beber Musa.
Selain itu, Liwan menceritakan, keluarganya punya kebiasaan makan bersama di rumah setiap hari. Kesempatan itu mereka gunakan untuk mendengar dan berbagai cerita. Suami-istri ini juga memiliki tradisi doa bersama dengan anak-anak. “Membuka hati dan kesadaran kami bahwa semua yang kami miliki berasal dari Tuhan,” ujar umat Paroki St Laurensius Alam Sutera, Tangerang, Keuskupan Agung Jakarta ini.
Liwan dan Musa bersyukur, hampir dua dasawarsa usia pernikahan, Tuhan memberi dan melindungi dua anak manis di tengah bahtera rumah tangga mereka. Tuhan, ujar Musa, juga menganugerahi mereka dengan talenta masing-masing–anak sulung, Glorianne Gabriella Gwen, terampil di bidang seni. Ia mahir bermain harpa.
Lebih dari itu, Musa juga bersyukur, anak-anaknya tumbuh menjadi pribadi yang baik, mengandalkan Tuhan dalam hidup, dan peduli dengan lingkungan sekitar. “Saya selalu berpesan kepada mereka, ‘Kalian harus jadi orang besar. Tapi kalau itu untuk diri sendiri nggak usah. (Semua yang kalian miliki) harus menjadi saluran berkat untuk orang lain,” ujar Musa, mengulang pesan yang senantiasa disampaikan kepada anak-anaknya.
Untuk Indonesia
Moses saat ini sedang mempersiapkan diri untuk memasuki jenjang perguruan tinggi. Ia diterima di sembilan kampus terbaik di dunia. Lima di antaranya bahkan masuk kampus yang Ivy League; Harvard University, Princeton University, Yale University, Cornell University, dan University of Pennsylvania. Selain kelima kampus itu, Moses juga lolos di M.E.T UC Berkeley, UCLA, University of Michigan dan Carnegie Melon University.
Dari berbagai universitas prestisius itu, Moses sudah memutuskan untuk menggali ilmu di Harvard University. Moses pun sudah memiliki rencana, begitu lulus akan bekerja di negeri Abang Sam. Ia ingin menembus jaringan internasional. Namun, ia memastikan akan kembali ke Indonesia untuk mewujudkan cita-citanya untuk membangun negeri ini dan menjadi saluran berkat untuk saudara se-Tanah Air.
Yanuari Marwanto
HIDUP NO.18 2019, 5 Mei 2019