Bertolak ke Tempat yang Lebih Dalam

234

Kurangnya sosialisasi membuat masyarakat minim pengetahuan akan hak-hak para pekerja migran. Sr Laurentina bersama tim dari Keuskupan Agung Kupang kerap mengadakan sosialisasi ke paroki-paroki yang menjadi kantong-kantong pemasok TKI.

Pemerintah, menurut penilaian Sr Laurentina yang telah terjun ke dunia trafficking sejak 2012, saat ini memang telah banyak menunjukkan keterbukaan. Di NTT sendiri, ia katakan, dengan bergantinya gubernur, para aktivis baik dari Gereja maupun LSM, diberikan wadah untuk bisa bertemu, sharing, dan saling memberikan masukan. “Keterbukaan pemerintah sudah ada peningkatan meskipun masih ada satgas-satgas yang belum maksimal,” ujarnya.

Menggarap misi penyintasan trafficking, menurut Sr Laurentina adalah pekerjaan yang memang tidak bisa dikerjakan sendiri, harus ada sinergi antara Gereja, pemerintah, masyarakat. “Kalau di NTT, masyarakat cenderung lebih mendengarkan suara Gereja ketimbang pemerintah. Hanya yang menjadi keprihatinan saya juga, Gereja di sini tidak begitu aktif; saya harus terus terang bahwa tidak semua kaum religius bergerak, hanya ada beberapa yang punya hati,” paparnya.

Kerja sama Kementerian Luar Negeri, Migrant Care, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, kata Sr Laurentina cukup memberikan dampak positif. Saat ini pelatihan-pelatihan di desa juga sudah banyak diberikan, kemudian ada desa migran kreatif. Dari pemerintah juga sudah mulai tampak memberikan pelatihan-pelatihan yang memaksilkan potensi masyarakat desa sehingga tidak tergiur untuk keluar. Namun, ia juga berharap pemerintah mengupayakan lapangan pekerjaan yang lebih luas. Moratorium yang kini diberlakukan pemerintah NTT, ia harapkan dimanfaatkan untuk melakukan perbaikan-perbaikan kinerja dan pelayanan.

Bersuara bagi Korban
Suster yang juga pengurus Pastoral Migran Komisi Keadilan Perdamaian KWI ini mengatakan kita tidak bisa melarang seseorang bekerja ke mana pun, tetapi yang terpenting kalau mau bekerja hendaknya dipersiapkan dengan baik, mengikuti persyaratan dan prosedur, mempunyai keterampilan, pendidikan yang cukup, sehingga ada nilai lebihnya ketika bekerja di negeri orang. Oleh karena itu, bantuan yang paling dibutuhkan bagi mereka adalah pelatihan dan pendidikan.

Apa yang ia lakukan, ia sebut hanya menolong korban agar mendapatkan perlindungan dan memberi motivasi kepada keluarga korban. Tak terhitung sudah jumlah korban trafficking yang ia tangani baik hidup maupun meninggal. “Ketika menolong korban, berhasil mengantar jenazah, misalnya sampai kepada keluarganya di kampung halamannya, ada rasa lega. Bukan kepuasan. Lega saat keluarga bisa menerima kembali saudaranya,” ungkap Sr Laurentina. Begitu pula ketika membantu proses pemulangan korban trafficking yang hidup dan bisa mengembalikan mereka ke keluarganya memberikan kebahagiaan tersendiri. “Membantu mengurusi proses pemulangan mereka hingga selesai itu menjadi inspirasi saya untuk bertolak ke tempat yang lebih dalam,” tambahnya.

Sr Laurentina menyebutkan korban trafficking tidak hanya di kampung-kampung. Di kota pun banyak. Jadi bila kita hendak menolong mereka, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah memberikan pertolongan, rasa aman, dan memiliki keberanian. “Pekerjaan seperti ini banyak resiko. Jaringan mafia perdagangan manusia ini sudah sangat meluas dan licik,” ungkapnya. Ia menambahkan kadang orang yang sudah divonis pelaku trafficking bisa dibebaskan, baik di Indonesia maupun di luar. Karena itu, harus ada keberanian saat menyuarakan kebenaran, “karena kita mewakili orang-orang yang tak bisa bersuara.”

Meski jaringan mafia perdagangan begitu luas, cita-cita kita – bersama Paus Fransiskus – adalah memang menghentikan. Mulai dari usaha-usaha preventif yaitu pencegahan dengan mengadakan pendidikan yang baik dan kuratif yaitu menyembuhkan yang menjadi korban dalam kerja sama dengan orang dan lembaga-lembaga lain.

Hermina Wulohering

HIDUP NO.18 2019, 5 Mei 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini