HIDUPKATOLIK.com – Masa pacaran sesungguhnya merupakan masa yang paling baik (dan indah) bagi orang muda Katolik –laki-laki dan perempuan – untuk lebih saling mengenal calon pasangan (pacar)secara mendalam sebelum mereka memutuskan untuk melangkah ke jenjang perkawinan Katolik. Kita tahu perkawinan Katolik memiliki tiga ciri utama yakni, seumur hidup, monogam, dan tak terceraikan. Melihat ciri dan hakikat perkawinan Katolik, maka masa pacaran tidak cukup memadai kalau hanya mengenal calo pasangan; mereka juga harus punya pengetahuan dan penghayatan yang lebih dari cukup tentang ajaran Katolik terkait dengan perkawinan (Sakramen Perkawinan),peran, dan kedudukan keluarga dalam panggilan Allah.
Masa pacaran harus dimaksimalkan untuk tidak sekadar bertemu, jalan-jalan,dan nontonbareng begitu saja. Masing-masing perlu mulai membuka diri alias mengungkapkan diri setahap demi setahap apa adanya. Karena masa pacaran tentu mengarah ke perkawinan maka masa ini dipergunakan untuk menunjukkan tanda kesetiaan kepada calon pasangan. Hubungan atau relasi mereka sudah mulai bersifat eksklusif. Berikutnya, pada masa pacaran ini, mulai mempraktikkan komit mendalam hal-hal yang kelihatan kecil dan sederhana namun merupakan bagian dari latihan-latihan kecil untuk komitmen yang lebih besar. Hal lain adalah bagaimana memelihara kejujuran dalam membangun komunikasi yang terbuka antar keduabelah pihak.
Sekali lagi, orientasi masa pacaran itujelas, yakni mengarah kepada perkawinan suci (sakramen). Karena itu, kedua orang muda tidak bisa berjalan sendirian. Kendati keduanya sudah dewasa, mereka tetap memerlukan bimbingan dari kedua orangtua mereka. Orangtua perlu memberikan rambu-rambu yang jelas dan tegas agar mereka tak sampai terjerumus pada hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Gereja.
Alangkah baiknya, jika keduanya telah sepakat melangkah ke jenjang perkawinan, mengikuti program Kursus Persiapan Perkawinan (KPP) atau Membangun RumahTangga (MRT) jauh-jauh hari. Bila dicermati,tema-tema yang dibicarakan tak lain bertujuan untuk mengajak mereka makin mengenal dirinya sendiri dan calon pasangan; masalah seksualitas dan keluarga berencana alamiah (Gereja melarang alat-alat kontrasepsi); makna atau hakikat perkawinan menurut Gereja Katolik; dan problematika perkawinan lain yang kelak mereka hadapi dalam kehidupan nyata.
Kendati KPP/MRT merupakan ujungdari masa pacaran atau kadang hanyaformalitas untuk mendapat semacam sertifikat. Namun, setidaknya mereka memperoleh sedikit gambaran tentang sudah sejauh manakah kedalaman relasi di antara mereka. Pasca KPP/MRT masih terbuka kemungkinan untuk menunda langkah ke jenjang perkawinan atau bahkan membatalkannya jika dirasakan, bahwa ternyata mereka belum sangat mengenal satu sama lain.
Sekali lagi, pacaran bagi orang muda Katolik tidak bisa dilepaskan dari keterarahan kepada Sakramen Perkawinan. Karena itunilai-nilai yang terkandung dalam perkawinan Katolik harus menjadi orientasi orang muda agar masa pacaran membuahkan hasil positif bagi kedua belah pihak.
HIDUP NO.22 2019, 2 Juni 2019