HIDUPKATOLIK.com – Charles,
Lagu Cinta yang dinyanyikan Vina Panduwinata hingga sekarang masih terngiang di telingaku bila mengingat pertemuan pertama kita. Saat itu kau datang dengan payungmu. Aku awalnya agak risih dengan kehadiranmu, tapi aku juga tak mau basah kuyup.
Itulah sebagian catatan Amelia di buku hariannya, bertanggal 20 Februari 2001. Dua tahun sebelumnya, 20 Februari 1999, pada suatu sore mendung, tak jauh dari Simpang Lima, Semarang, ia tampak gelisah. Wajah gadis itu cemberut tiap kali memandang jalan dan angkasa, mungkin karena angkot yang ditunggunya tak kunjung tiba. Langit makin muram, awan-awan hitam bergulung-gulung.
Kulihat ia dari seberang jalan. Dari seragamnya kutahu ia karyawati di toserba di wilayah Simpang Lima. Awalnya aku hendak pergi ke rumah kawanku, tapi kakiku melangkah ke seberang jalan ketika gerimis turun.
“Hei, aku payungi biar nggak basah, ya?” kataku sambil menatapnya. Hujan sering turun pada waktu-waktu itu, aku membawa payung ke mana-mana.
Amelia tersenyum, tapi tampak ragu menerima kehadiranku.
“Baru pulang kerja?” tanyaku ramah.
Amelia mengangguk.
“Mas sendiri,” aku terkejut mendengar suaranya yang lembut dan mirip anak-anak, “mau ke mana?”
Aku bingung menjawab. Amelia menunggu angkot menuju Jalan Pandanaran, dan aku ingin tetap bersamanya. Tiba-tiba aku teringat toko musik di Jalan Pandanaran yang beberapa kali kukunjungi.
“Mau ke Toko Purnomo, beli senar gitar,” aku mendesah panjang mendengar dusta kecilku.
Ia tersenyum, matanya berbinar ketika bertanya, “Jadi, Mas pandai main gitar?”
Aku mengangguk mantap.
Angkot yang kami tunggu tiba. Penumpang sepi, kami duduk berhadapan. Amelia berkata kepadaku tinggal di Randusari, dekat toko musik itu. Oh, keberuntungan dari langit!
“Kalau nanti masih hujan, kuantar sampai rumah ya.”
Ia berterimakasih, bertanya, “Nama Mas siapa?”
Aku mengulurkan tanganku, “Charles.”
“Amelia,” katanya sambil menjabat tanganku.
***
Charles,
Aku suka bila kamu datang ke rumah. Aku suka membuatkanmu segelas kopi yang katamu kopi paling gembira sedunia. Aku juga suka mendengar petikan gitarmu, memandangi wajahmu dari samping saat kau bernyanyi. Kuyakin dia pria yang baik, bisikku dalam hati tiap memandangmu.
Itu sebagian catatan Amelia, 4 April 1999. Setelah pertemuan awal itu, aku sering mengunjunginya, paling tidak seminggu sekali. Teras rumahnya luas, kami sering duduk-duduk di sana. Adiknya, Ridwan cepat akrab denganku, suka minta diajari gitar.
Aku juga suka dengan kopi buatannya. Sungguh tak kuduga, ia ingat dengan istilah “kopi paling gembira sedunia” yang kukarang ketika melihat senyumnya yang merekah sambil menghidangkan kopi suatu malam.
Suatu malam, saat berdua di teras, kukatakan kepadanya bahwa aku ingin ia selalu membuatkan kopi untukku di sepanjang usia, juga menemaniku. Ia memberikan kecupan yang lembut di keningku. Malam itu, 24 April 1999, Amelia menjadi kekasihku. Sebagai perayaan kecil, kunyanyikan lagu paling manis untuknya, berjudul “Untukmu” ciptaan Tito Sumarsono:
Di antara kita t’lah terjalin sudah
Benang-benang asmara
Tak mungkin lagi ‘kan terpisah
S’moga Tuhan mendengar pinta kita
Gerimis turun ketika aku pulang. Aku teringat Gene Kelly yang menari dan menyanyi riang di kala hujan dalam film Singin’ in the Rain.
***
Charles,
Hari-hari yang kulalui sejak kamu hadir sungguh penuh warna. Aku suka bila kau menjemputku sepulang kerja dengan sepeda motormu. Apalagi kalau kita mampir di warung roti bakar itu, mengobrol apa saja.
Waktu kau bonceng, duduk menyamping di belakangmu, rasanya nyaman sekali tanganku merangkul perutmu. Aku suka menempelkan telinga kananku di punggungmu, mencoba mendengar detak jantungmu.
Itu catatan 30 Juni 1999. Tak lama sebelum itu aku membeli sepeda motor bekas dengan meminjam uang sana-sini. Pukul 16.30 aku pulang bekerja, pukul 16.45 ia pulang bekerja. Begitu pulang bekerja aku menyusulnya, kami sering melepas lelah di warung roti bakar di Simpang Lima.
Aku menempelkan tanganku ke bagian punggungku, benarkah detak jantung manusia bisa didengar dari situ? Amelia, Amelia… ada-ada saja! Kuambil foto yang terselip di halaman buku hariannya, kuelus-elus wajahnya di foto berukuran 4×6 itu dengan jempolku. Kutempelkan foto itu di dadaku sebelah kiri.
“Kau dengar sesuatu, Amelia?” bisikku perlahan.
***
Charles,
Aku sangat sedih. Orangtuaku tak menyetujui hubungan kita. Kau ingin membangun sebuah rumah kecil di kaki bukit, di kaki Gunung Ungaran. Betapa manis niatmu itu. Aku tak mau meninggalkanmu, tapi…
Catatan itu tak bertanggal, berada di antara dua catatan lain yang bertanggal 13 dan 30 Desember 1999. Aku ingat, saat itu kami agak jarang bertemu karena dua kejadian yang membuatku terpuruk. Pertama, aku berhenti dari toko tempatku bekerja karena sepi pengunjung. Kedua, aku harus menjual sepeda motor karena tak bisa melunasi cicilan.
Namun aku tetap memiliki harapan membangun sebuah rumah kecil di kaki bukit. Harapan itu muncul karena kami sering ke Gombel, wilayah yang tinggi di Semarang. Selain ke warung roti bakar itu, Amelia sangat suka bila kuajak ke Gombel. Kami berangkat ke Gombel pukul lima sore dari Simpang Lima. Sampai di Gombel sekitar setengah enam, matahari akan terbenam. Di sana ada taman yang asri. Dari taman itu kami bisa melihat kerlap-kerlip lampu di Semarang.
Betapa damai rasanya: dari terang menuju remang, dari remang menuju gelap… Amelia, ia ada di sampingku.
Sekarang, di sini, di rumah kecil di kaki bukit yang akhirnya berhasil kutegakkan, aku membaca catatan-catatan Amelia. Aku berhasil mendapatkan pekerjaan baru menjadi distributor kain, membeli rumah dengan mencicil di Ungaran. Kupandangi lagi foto Amelia, dan kulihat kerlap-kerlip lampu yang terbentang di depanku.
Andai kau di sini, Amelia….
***
Charles,
Betapa aku rindu saat-saat kebersamaan kita. Di Surabaya semuanya berubah. Suamiku orang terpelajar, hidup kami bisa dibilang mewah. Tapi aku kehilangan saat-saat yang indah seperti dulu.
Sudahlah, aku berniat memulai babak baru. Aku tak akan menulis namamu lagi. Lagipula, sejak dulu buku ini memang kuniatkan sebagai catatanku saja, bukan catatan untuk Charles.
Aduh… Charles, Charles, kenapa namamu selalu saja ingin kusebut?
Ampuni aku, Tuhan, jikalau masih terus berharap kepadanya. Aku tak akan pernah lupa kepada pria baik hati yang datang kepadaku saat gerimis dan memayungiku dengan mesra.
Itulah catatan terakhir Amelia yang ditulis diawali namaku, bertanggal 22 Februari 2001. Sejak Januari 2000 aku tak pernah bertemu Amelia, ia menikah April 2000. Membayangkannya masih sering memikirkanku selama lebih dari setahun sejak kami berpisah membuatku tersanjung.
Ia menepati janjinya saat aku membuka halaman-halaman belakang buku harian itu. Amelia bercerita tentang suaminya yang sibuk bekerja dan jarang memerhatikannya. Mereka juga tak kunjung mendapat keturunan. Buku hariannya makin jarang ditulis sejak 2007. Catatan terakhir yang ditulisnya adalah tentang penyakitnya—ada empat catatan. Aku merasakan kepedihan mendalam saat membaca kalimat ini: “Aku siap menjemput maut, Tuhan, bila itu takdir-Mu. Mungkin, di sisi-Mu aku lebih bahagia.”
***
8 Februari 2010—berita kematian Amelia sampai kepadaku. Ridwan, adiknya, yang mengabariku. Ia mengirimiku pesan lewat media sosial, menanyakan nomor teleponku.
“Dia meninggal semalam. Kanker darahnya nggak tertolong, Mas. Besok siang dimakamkan di Bergota,” katanya dengan suara serak di telepon.
Aku datang ke pemakaman di tengah Kota Semarang itu, memasrahkan Amelia dalam genggaman Tuhan Yesus. Memandangi foto Amelia berukuran besar di situ membuatku rindu sekaligus putus asa. Setelah bertahun-tahun tak saling bertukar kabar, rasa sayangku kepadanya ternyata tak pernah sirna.
Buku harian Amelia ditemukan Ridwan, lalu diberikannya kepadaku beberapa hari setelah pemakaman.
“Dulu ia pernah menunjukkan catatan tentang Mas Charles waktu kalian masih pacaran.”
“Lalu, bagaimana buku ini ketemu?”
“Setelah pemakaman aku ke Surabaya mengantar suami kakak. Di Surabaya, iseng-iseng aku ke gudang, kutemukan buku ini.”
Aku tak tahu apakah suaminya pernah mengetahui keberadaan buku itu. Membacanya, aku pun sadar, Amelia memiliki sudut pandang berbeda denganku dalam mengenang berbagai kebersamaan kami. Kenangannya kini menjadi kenanganku.
Malam ini, rasa rinduku begitu besar kepada Amelia. Tahun-tahun berlalu, namun kenangan memayungi gadis yang pandai membuat “kopi paling gembira sedunia” itu tak pernah layu. Gerimis turun dari langit. Aku mengambil bolpoin, menuliskan kata-kataku di halaman terakhir buku harian lusuh itu: Selamat tinggal, Amelia, kekasih dalam kehidupanku. Kau pergi, tiada lagi kata kembali. Selamat jalan, akan ada banyak sudut kenangan dalam hatiku yang akan kucipta dan kuhampiri untukmu, hanya untukmu, lagi dan lagi… karena kau akan selalu tinggal di sini.
Sidik Nugroho
HIDUP NO.16 2019, 21 April 2019