Kardinal Charles Maung Bo SDB : Semangat Perdamaian Kardinal Myanmar

250
Kardinal Charles Maung Bo SDB saat berjumpa dengan Paus Fransiskus di Yangon, Myanmar.
[NN/Dok.HIDUP]

HIDUPKATOLIK.com – Mengawali tugasnya sebagai ketua federasi Konferensi Uskup-uskup Asia, ia ingin melanjutkan apa yang sudah dimulai Gereja Asia, mewujudkan perdamaian sejati.

Saat Paus Fransiskus ingin mengunjungi Myanmar akhir tahun lalu, isu paling panas yang saat itu berhembus adalah perihal pengungsi dari etnis Rohingya. Sudah sejak lama, nasib pengungsi ini terlunta-lunta antara “diusir” dari negeri Myanmar sendiri dan lalu juga ditolak saat mengungsi ke Banglades.

Adalah Kardinal Charles Maung Bo SDB yang jauh-jauh hari mewanti-wanti, agar Paus tidak memakai kata “Rohingya”, selama menginjakkan kaki di Myanmar. Desakan ini ada benarnya, sebab memakai kata ini di negeri Tanah Emas, bagaikan melempar api di dalam sekam.

Akhirnya, Paus pun datang, dan benar, selama di negeri itu, pemimpin Gereja Katolik mengikuti kata-kata Kardinal Bo. Lawatan Paus pun berjalan lancar. Pesan perdamaian tercipta, seperti kunjungan-kunjungannya yang lalu. Saat Paus akhirnya meninggalkan Myanmar, Kardinal Bo bisa bernafas lega.

Pengungsi Rohingya
Sebenarnya sudah banyak yang menduga. Saat Federasi Konferensi Uskup-uskup Asia (Federation Asian Bishops Conferences/FABC) ingin memilih presiden baru pada 18 November 2018, akhirnya Kardinal Bo yang terpilih. Alhasil, sejak awal tahun ini, ia resmi menggantikan Uskup Agung Bombai, India, Kardinal Oswald Gracias.

Di Myanmar, Kardinal Bo memang sudah lama dikenal vokal. Berhadapan dengan isu pengungsi Rohingya, dan melarang Paus menggunakan kata ini selama di Myanmar, hal ini bukan berarti bahwa ia sama sekali tidak peduli dengan nasib etnis itu. Dalam satu pidatonya di Universitas Katolik Korea di Seoul, Korea Selatan pada 1 September 2018, ia menceritakan penderitaan yang dialami etnis Rohingya di bawah represi militer Myanmar. Ia bahkan menggambarkan penderitaan mereka sebagai “bekas luka mengerikan pada hati nurani negara saya”.

Kardinal Bo mengecam bagaimana serangan udara militer di Kachin pada bulan Februari dan April 2018 menyebabkan lebih dari 7.000 orang telantar. Ia mengatakan, serangkaian “perang” sedang berkecamuk di Myanmar. Perang itu menghadapkan mereka yang mendukung kebebasan beragama, dengan pasukan yang memberitakan intoleransi dan kebencian agama. “Perang ini berlanjut meskipun Myanmar telah bergerak selama delapan tahun terakhir melalui serangkaian reformasi dan membuat transisi yang rapuh dari kediktatoran militer ke demokrasi yang rapuh,” kata imam dari Tarekat Salesian Don Bosco (Societas Sancti Francisci Salesii/SDB) ini.

Perjalanan Myanmar sebagai sebuah negara mengalami perkembangan cerah selama 10 tahun terakhir. Perjuangan rakyat itu untuk mengganti rezim Junta Militer dan menggantinya menjadi bentuk pemerintahan yang demokratis memang berhasil. Saat ini, Myanmar lebih baik. Namun, Kardinal Bo tetap memberi catatan pada cara pemerintah mengelola kehidupan beragama di negara dengan penduduk yang sebagian besar beragama Buddha itu.

Persoalan Rohingya pada akhirnya harus diakui tak bisa diselesaikan oleh Myanmar sendiri. Bahkan peraih Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi yang kini menjadi pemimpin de facto negara itu pun tak mampu menemukan “obat” yang pas untuk masalah ini. “Aung San secara konstitusional tidak memiliki suara untuk mengatakan apa pun kepada militer. Dia dengan caranya sendiri yang pintar, mencoba bernegosiasi dengan militer, sehingga akan ada kerja sama antara pemerintah dan militer,” kata Kardinal Bo.

Di sinilah, Kardinal Bo sebagai representasi dari Gereja Katolik, tak lelah berusaha menawarkan “jembatan” penyelesaian masalah Rohingya. Sikapnya terhadap masalah Rohingya selaras dengan suara Gereja Katolik international. Terlebih untuk isu pengungsi Rohingya, ia terus mendorong Gereja Myanmar untuk mengedepankan kemanusiaan dan kasih dalam mencari pemecahan untuk masalah itu.

Kelahiran Monhla
Kardinal Bo lahir pada 29 Oktober 1948 di Monhla, sebuah desa di Keuskupan Agung Mandalay, di bagian tengah Myanmar. Setelah menjalani masa formasi di Nazareth Aspirantate Anisakan, Pyin Oo Lwin dari tahun 1962 hingga 1976, ia ditahbiskan menjadi imam Serikat Salesian Don Bosco di Lashio, Negara Bagian Shan 9 April 1976.

Setelahnya, Pastor Bo melayani sebagai di Loihkam (1976-1981) dan Lashio (1981-1983). Dari tahun 1983 hingga 1985, ia mengajar di Seminari Anisakan. Tahun 1985, ia ditunjuk menjadi Perfek Apostolik Lashio dari hingga tahun 1986. Ketika, Lashio diangkat statusnya menjadi keuskupan pada 7 Juli 1990, ia diangkat menjadi uskup pertama di sana dan ditahbiskan sebagai uskup pada 16 Desember tahun itu.

Paus Yohanes Paulus lalu memindahkannya ke Keuskupan Pathein di Wilayah Ayeyarwaddy pada tanggal 24 Mei 1996. Pada saat yang sama, ia masih melanjutkan tugasnya sebagai Administrator Diosesan Lashio hingga November 1998. Pada 15 Mei 2003, ia diangkat menjadi Uskup Agung Yangon. Dari tahun 2000 hingga 2006 ia mengepalai Konferensi Waligereja Katolik Myanmar. Paus Fransiskus menjadikannya kardinal pertama Myanmar dalam konsistori tanggal 14 Februari 2015 di Vatikan.

Kini setelah menjadi ketua FABC, Kardinal Bo akan menyatukan sebanyak 19 konferensi uskup Asia. Dalam federasi ini, para uskup terus bekerjasama untuk membawa Gereja Asia menghadapi peziarahannya di dunia.

Fokus Perdamaian
Saat memulai tugasnya, Kardinal Bo bertekat melanjutkan fokus pada resolusi konflik. Ia akan menjalankan tugas ini selama tiga tahun ke depan. “Saya tidak punya terlalu banyak pengalaman internasional, tetapi saya menerimanya,” ujarnya kepada Catholic News Service, 7/1.

Asia sudah lama dirundung nestapa dan menjadi tempat banyak konflik yang terjadi di banyak negara. Sebagian besar konflik ini bersifat sektarian, termasuk di Myanmar, India, Sri Lanka, Pakistan, Thailand, Filipina, dan Indonesia. Berhadapan dengan ini, Gereja Asia sudah lama berjuang untuk fokus pada masalah pembangunan perdamaian. Kardinal Bo menyebutkan, tujuan dari usaha ini adalah perdamaian dengan tiga dialog; dialog dengan pemerintah, dialog dengan orang miskin, dan dialog antaragama.

Peta jalan FABC untuk memajukan Gereja Asia mencakup fokus pada pengembangan sosial dan pelayanan pastoral. Hal ini berjalan beriringan dengan usaha untuk mewujudkan perdamaian, keadilan, rekonsiliasi, dan hak-hak masyarakat adat. “Yang tidak kalah penting adalah promosi desakan Paus St Yohanes Paulus II bagi Gereja Asia, untuk menuai ‘panen iman yang besar’ di benua yang luas dan vital ini,” tutur Kardinal Bo.

Kardinal Bo juga mengingat pesan Paus Fransiskus untuk mengatasi ketidakadilan ekonomi dan lingkungan. Lebih lanjut, Kardinal Bo menekankan pentingnya melibatkan kembali Gereja pribumi dan menegaskan hak-hak masyarakat adat untuk sumber daya dan cara hidup tradisional. “Pekerjaan kami dengan orang miskin dan martabat mereka perlu menjadi wilayah di mana kami bertemu agama lain,” katanya.

Meski sebagai tempat lahirnya Kekristenan, harus diakui bahwa Katolik hanya sebagian kecil dari Asia. Kardinal Bo mengungkapkan, rekonsiliasi harus diprioritaskan sebagai bagian dari “evangelisasi baru” di Asia. Hal ini tidak terkecuali di tengah-tengah wilayah konflik kekerasan kronis. “Gereja seharusnya tidak membayar kebencian dengan kebencian, tetapi jadilah penyembuh luka,” imbuhnya.

Kardinal Charles Maung Bo SDB

Lahir : 29 Oktober 1948
Tahbisan Imam : 9 April 1976
Tahbisan Uskup : 7 Juni 2003
Terpilih menjadi Kardinal : 14 Februari 2015
Jabatan : Presiden FABC
Keuskupan : Keuskupan Agung Yangon

Yulius Yulianto

HIDUP NO.16 2019, 21 April 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini