Sekolah Evangelisasi, Memuliakan Manusia

378
Suster Hilde sedang belajar bersama anak-anak di TKK Boncel.
[HIDUP/Willy Matrona]

HIDUPKATOLIK.com – Tumbuh kembang anak ini melalui PAUD harus benar-benar disadari oleh Gereja sebagai ladang evangelisasi. Anak-anak selalu mendapat perhatian di mata Yesus.

Suara anak-anak memecah keheningan siang di Taman Kanak Kanak (TKK) Boncel, Jakarta Selatan. Di salah satu sudut ruangan, di atas sebuah meja terdapat adonan serupa roti yang kecil beralaskan kertas dengan ukuran dan bentuk yang berbeda-beda. Roti-roti tersebut tampak berwarna-warni. Di sudut atas kertas tersebut tertera nama-nama pemilik roti tersebut.

Yosephine Maryanti, salah satu guru yang sedang mengajar anak-anak itu menunjukkan satu per satu pemilik roti tersebut. Menurutnya, roti tersebut sengaja dibuat untuk mempermudah menjelaskan kepada anak-anak arti puasa. Ini untuk mempermudah menjelaskan kepada anak-anak peristiwa di dalam Injil, Pencobaan di Padang Gurun (Luk. 4:1-13). “Dengan mereka terlibat membuat roti mereka paling tidak dihantarkan pada cerita pencobaan di padang gurun tersebut,” kata Yosephine.

Kekuatan Komunitas
Usia dini merupakan kesempatan untuk belajar banyak. Pada usia tersebut, anak belum bisa berabstraksi terlalu jauh. Menjelaskan sesuatu pada mereka sebisa mungkin dimulai dengan sesuatu yang dekat dengan kehidupan mereka. “Butuh ketelatenan dalam menjelaskan sesuatu kepada anak-anak. Mulailah dari benda-benda sekitar entah buah, binatang, pemandangan hingga gambar,” ujarnya.

Senada dengan itu, Kepala Sekolah TKK Boncel Suster Maria Hildegardis Afra OP menjelaskan, PAUD butuh lingkungan yang tepat sehingga anak-anak bisa berkembang. Menurut biarawati Dominikan ini, perkembangan PAUD juga didukung oleh kekuatan komunitas. “Pentingnya keterlibatan pendidik dan tenaga kependidikan. Pendidik ialah guru sedangkan yang termasuk tenaga kependidikan ialah mereka yang menunjang PAUD mulai dari cleaning service, pegawai perpustakaan hingga tata usaha. Semua dianggap sebagai suatu keluarga,” bebernya.

Keterlibatan orangtua dalam hal ini menjadi sangat penting. Suster Hilda menjelaskan, dengan memberi ruang yang sama kepada mereka, maka kesinambungan pendidikan anak akan terjamin. “Rantai itu jangan terputus, mulai dari keluarga, kemudian di sekolah sebagai keluarga kedua sehingga tercipta suasana cinta kasih dan mengedepankan anak sebagai citra Allah,” tegasnya.

Memberi Hati
Untuk dapat menjadi guru di PAUD pun tidak sembarangan. Windy Aswuri yang sudah 30 tahun malang melintang mengelola PAUD memberi kesaksian, bahwa berkecimpung di dunia anak-anak setiap guru harus menyatu dengan dunia anak. Untuk mencapai hal ini, perlu memberi hati yang utuh kepada mereka. Ia mengakui, awalnya tidak terlalu bersemangat mengajar di PAUD, seiring waktu, ia mampu masuk dalam dunia mereka. “Awalnya saya belum ada niat mengajar. Akan tetapi jatuh cinta juga dengan dunia anak,” jelasya. Windy mengakui, kini ia tidak bisa berpaling dengan dunia anak. Menurutnya upah bukan menjadi soal ketika berhadapan dengan anak-anak.

Untuk mendidikan anak usia dini, hal yang utama, jangan memisahkan pendidikan anak dari keluarga. Windy menuturkan, memberi pengertian kepada suami dan anak-anak merupakan hal yang utama. “Hidup ini pada akhirnya soal membagi. Toh setiap saat selalu saja ada rezeki yang tidak terduga. Yang utama masa depan anak. soal rezeki, itu rahasia Tuhan,” ucapnya sembari menghela napas.

Komitmen Gereja
Dalam Injil, Yesus sangat jelas posisi-Nya kepada anak-anak. Dia bahkan menegur para murid agar tidak menghalangi anak-anak datang kepada-Nya. Terkait hal ini, Ketua Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK) Pastor Vinsensius Darmin Mbula OFM mengatakan, perkembangan manusia menjadi komitmen Gereja sejak awal mulai dari kandungan hingga kembali kepada Sang Pencipta. Menurutnya, Gereja sudah bergerak jauh sebelum pemerintah menetapkan reformasi pendidikan terutama peraturan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

Pada dasarnya PAUD mencakup tiga hal pendidikan formal, informal dan non formal. Hal tersebut sudah dikembangkan oleh Gereja. Secara formalnya Gereja hadir dengan dibukanya Taman Kanak-Kanak (TK), secara informal Bina Iman Anak (BIA). Sedangkan pendidikan non formal adalah keluarga. “Jadi sebenarnya apa yang dibuat oleh Gereja itu sudah lama. Sudah menekankan bahwa pendidikan yang pertama dan utama adalah keluarga,” ujar Pastor Darmin.

Melalui Komisi Pendidikan Konfrensi Waligereja Indonesia (Komdik KWI) Gereja hadir dengan mendukung pendidikan yang berbasis character building. Oleh karena itu, Gereja menghendaki untuk melibatkan keluarga, sekolah, dan masyarakat, dalam model pendidikan ini. “Pendidikan karakter yang dimaksudkan adalah mengedepankan kasih sayang kepada anak,” kata Pastor Darmin.

Komdik KWI terus mendorong dan mensosialisasikan bahwa model pendidikan PAUD itu bukan untuk latihan membaca dan menulis (calistung), tetapi lebih kepada kelompok bermain, bernyanyi sambil belajar. Fokus pada pertumbuhan dan perkembangan anak. Hal tersebut disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak-anak. Ada gejala umum untuk menjejali anak-anak dengan calistung. Ini sangat berbahaya bagi perkembangan mereka.

Menguatkan SDM
Dalam menunjang perkembangan PAUD Gereja menyadari mutu PAUD mampu digenjot dengan meningkatkan profesionalitas Sumber Daya Manusia (SDM). Fakta juga mendukung bahwa Lembaga Pelatihan Tenaga Kependidikan (LPTK) PGT PAUD belum merata di seluruh Indonesia. Sejauh ini Komdik menyadari ini yang menjadi tugas yang besar. Disadari selama ini Gereja terjebak pada pendidikan di SD hingga kuliah. “Karena ini menyangkut anak kecil ya sudah di tempatkan saja tenaga yang mau mengajar,” ungkapnya.

Komdik melalui MNPK mulai memikirkan SDM dengan menimbang kualifikasi ijazah melalui Perguruan Tinggi. Ketika sudah direkrut, di situlah peran Majelis Pendidikan Katolik (MPK) untuk mengkoordinasi yayasan-yayasan di setiap sekolah Katolik untuk menyiapkan SDM dengan terus menerus memberi pelatihan, pembekalan, diklat hingga lokakarya guru PAUD. “Komdik sudah menempuh langkah tersebut mulai dari pelatihan merancang buku, merancang kurikulum, hingga pelatihan dan pengolahan karakter. Semuanya dimulai dari karakter Guru,” ujar Pastor Darmin.

Meski demikian, Pastor Darmin menambahkan, Komdik tidak bisa bekerja sendiri. Perlu ada kolaborasi dari Komisi Keluarga dan Komisi Kateketik KWI. Ia mengakui, pada dasarnya persoalan PAUD ini dimulai dari keluarga, sehingga Komisi Keluarga perlu dilibatkan. Selain itu, Komisi Kateketik juga perlu hadir, berkaitan dengan pembinaan iman anak. Komdik bersama MNPK akan mendorong penyediaan SDM yang bermutu dan profesional. “Ketiga komisi ini harus benar-benar bekerjasama mengingat perkembangan anak yang berkesinambungan,” ajak Pastor Darmin.

Lebih lanjut Pastor Darmin memaparkan, tumbuh kembang anak ini melalui PAUD harus benar-benar disadari oleh Gereja sebagai ladang evangelisasi. Anak-anak merupakan generasi Gereja di masa yang akan datang. Oleh karena itu, Gereja harus membawa kabar sukacita bagi mereka sehingga mereka dapat bertumbuh dan berkembang dalam sukacita injil ini.

“Anak-anak tersebut merupakan ciptaan Allah. PAUD harus menjadi sarana memuliakan manusia. Gereja harus menempa mereka dan terus mendorong pelibatan berbagai pihak yang terkait, lingkungan dan sarana yang nyaman dalam pembentukan karakter mereka sehingga menjadi manusia yang berguna bagi Gereja dan bangsa,” tutup Pastor Darmin.

Willy Matrona

HIDUP NO.17 2019, 28 April 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini