Pangsiun

184

HIDUPKATOLIK.com – Pikiranku gundah, galau, tak enak. Sepeninggal ibu, Bapak pengin banget kembali ke kampung halamannya, Gunung Kucir. Di Jakarta aja nyaris nggak keurus apalagi ke Gunung Kucir. Aku tinggal di Alam Sutra, Dodit, adikku di Kemang, Bapak sendirian di Berlan Matraman. Sementara Bapak sering mengeluh linu-linu di persendian kakinya.

Satu sisi aku masih mau dekat dengan Bapak, sisi lain keinginan pulkam itu merupakan kerinduan Bapak sejak aku masih kecil. Setiap kali pulang kampung, Bapak selalu mengatakan akan pulang kampung. Sampai aku punya dua anak masih saja mengatakan demikian meskipun saya rayu untuk tetap di Jakarta. Mau di tempatku atau tempat Dodit. Biarlah rumah yang di Berlan dikontrakkan atau dijual. Bapak selalu mengatakan ora.

Bapak tidak mau ke mana-mana kalau liburan. Liburannya pasti dihabiskan di rumah saja. Ritual pulang kampungnya sampai kuhafal. Dari Gambir menginap di Sosrowijayan, mengikuti misa digereja Kota Baru, ziarah ke Ganjuran, tak lupa ke Sendangsono. Berhari-hari hanya di rumah saja. Memang rumah peninggalan kakek yang masih berdiri kokoh dan terawat.

Adalah Pak Lik Jono, adik bungsu Bapak yang memilih tinggal di kampung, membangun rumah di samping rumah warisan. Mereka sekeluargalah yang rajin dan kompak merawat dan mempertahankan keasliannya. Bapak kalau sudah jagongan ngobrol betah berlama-lama. Dengan ditemani teh pahit panas, gebleg, tempe koro, klempas-klempus udut lintingan. Aku memperhatikan kalau sudah begitu kelihatan bahagia banget. Mulailah mukanya di tekuk kalau sudah harus kembali ke Jakarta.

Lik Jono ini juga provokator, memanas-manasi Bapak untuk segera saja pulang kampung toh di Jakarta sudah tidak ada yang dikerjakan, sudah tidak bekerja. Di kampung udaranya masih bersih, bebas polusi, bisa ke mana-nama jalan kaki yang akan membuat panjang umur menikmati hidup. Cukuplah waktu untuk kerja, sekarang waktu untuk pangsiun katanya.

Untuk urusan tempat berteduh bisa menempati rumah warisan, toh selama ini tidak ada yang menempati. Bapak sebagai anak sulung diharapkan sebagai pengganti kakek. Seingatku kakek disamping sebagai petani juga sekaligus jogoboyo alias keamanan kampung. Untuk urusan makan-minum pasti tidak akan kekurangan. Kakek mewariskan sawah yang hasilnya sekali penen saja kalau dimakan Pak Lik sekeluarga ditambah Bapak selama setahun tidak habis. Karena keluarga cukup terpandang, maka Bapak juga diperlakukan seperti kakek. Dengan kata lain Bapak akan diterima dengan tangan terbuka kalau pulang kampung. Inilah yang membuat Bapak merasa nyaman di manapun di kampung ini.

Kata orang mungkin ini juga dipengaruhi ari-ari Bapak yang ditanam di samping kanan pintu rumah. Menurut kepercayaan setempat ari-ari adalah saudara paling dekat. Kalau Bapak di rumah itu seperti berkumpul lagi dengan saudaranya.

Aku sungguh khawatir karena dengan bertambahnya usia kesehatan dan kemampuan Bapak makin menurun. Kalau masih di Berlan penanganan kesehatan masih cepat. Aku sudah pesan pada Mpok Jene dan Bang Udin, tetangga sebelah yang sudah menjadi saudara, kalau ada apa-apa dengan Bapak cepat bawa ke rumah sakit. Dari rumah ke Carolus, ke Tambak, atau ke Mitra bisa dijangkau dalam 30 menit. Kalau di Gunung Kucir mau ke rumah sakit bisa satu jam. Itu pun kalau kendaraan siap. Tidak ada angkutan umum, taxi, atau grab. Di kampung hanya ada satu orang, Kang Dalidi yang punya mobil. Pick up untuk mengangkut kayu sengon sehari-harinya.

Kalau terjadi serangan jantung pasti tidak bisa tertangani. Lik Jono di rumahnya sendiri, bapak sendirian di rumah, tetangga jauh. Bisa-bisa ditemukan sudah menjadi jenazah. Kalau masih dalam hitungan minggu, mungkin masih sering ditengok tapi kalau sudah lebih dari itu orang-orang pasti sudah sibuk dengan urusannya masing-masing.

Dengan berat hati aku dan Dodit akhirnya mengiyakan Bapak pulang kampung seperti kerinduannya selama ini. Aku juga sudah menyampaikan kepada Pak Lik Jono untuk menyiapkan rumah. Pada prinsipnya siap, malahan sangat senang ada teman ngobrol dan jagongan, juga teman bekerja. Lebih tepatnya teman dalam mengawasi orang-orang yang bekerja.

Tidak ada persiapan khusus, kami setiap Sabtu-Minggu sepakat ke Berlan untuk mengemasi barang-barang yang kiranya diperlukan. Ternyata tidak banyak juga. Baju, kaos, pakaian resmi, sarung yang semua bisa masuk dalam box. Yang agak banyak sebenarnya buku-buku, masalahnya budaya membaca di kampung nyaris tidak ada, apakah masih membaca juga apalagi mata Bapak mulai bermasalah.

Yang tampak sangat senang itu Bapak, matanya berbinar dan sangat ceria, cerah seperti anak kecil yang dijanjikan akan diajak piknik. Teman-teman Bapak di Berlan sudah tahu semua kalau Bapak akan pulang kampung. Aku merasakan ada rasa iri yang hanya nampak dari gerakan mata serta nuansa tekanan kata yang mereka ucapkan. Mungkin mereka juga punya mimpi yang sama dengan Bapak, Bapaklah yang bisa mewujudkan mimpi itu. Mereka terpaksa terjebak dalam kerja dan kerja yang tiada akhir sampai pensiun. Waktu pensiun pun masih harus di Jakarta sampai ajal menjemput

Yang aku khawatirkan sisi psikologis Bapak, pasti ada perbedaan antara budaya perkotaan dan pedesaan, meskipun Bapak berasal dari desa yang kebetulan merantau dan bisa beradaptasi dengan kehidupan kota besar, apakah juga bisa beradaptasi lagi dengan budaya pedesaan. Bapak dalam masa tuanya harus beradaptasi lagi dengan adat budaya kampung yang pasti sudah berubah setelah lima puluh tahun. Oleh teman-temannya bapak disarankan untuk tidak tinggal di kampung secara total. Dua minggu di kampung tiga hari di Jakarta. Bebas mau di Berlan boleh, mau di rumah Dodit silakan, mau di rumahku ok.

Benar saran itu, kalau masih seminggu dua minggu seseorang masih dianggap sebagai tamu dan itu artinya semua dilayani. Selanjutnya sudah sebagai anggota keluarga biasa seperti yang lain. Harus mengurus diri sendiri. Justru bagian ini yang berat. Selama ini Bapak lebih banyak diurusi ibu, sepeninggal ibu, ada Mpok Jene yang mengurusi kebersihan rumah, pakaian dari mencuci sampai siap dipakai, urusan makanminum. Nah kalau di Gunung Kucir siapa yang ngurusi itu semua. Bu Lik?

Sungguh tidak enak kalau Bu Lik harus ngurusi Bapak juga. Berarti harus juga ada orang yang khusus seperti Mpok Jene yang tahu makanan kesukaan bapak termasuk pantangannya. Belum ada orang yang bisa demikian.

Dalam kebuntuan itu, Mpok Jene dan Bang Udin dengan bercanda mengusulkan kalau Bapak kawin lagi saja. Ha…. kawin lagi? Usul langsung ditolak mentah-mentah. Siapa yang mau kawin dengan orang yang sudah bau tanah. Tapi… ada benarnya juga yang diusulkan Mpok Jene dan Bang Udin, sehari-harinya kawin-mawin merupakan hal yang sudah sangat biasa termasuk pada usia senja. Ini bukan opsi yang baik.

Waktu terus berlalu, tiba saatnya Bapak untuk lebih banyak di Gunung Kucir daripada di Berlan dan hanya Tuhan Allah yang tahu sampai kapan. Hari H telah tiba, kami mengantar Bapak pulang kampung.

Dengan kecepatan 100 mobil cukup stabil tidak terlelu cepat tetapi juga tidak lambat. Bapak aku minta untuk di tengah bersama anak-anak tetapi malah minta genduk, begitu aku menyebut istriku, yang Bapak minta bersama anak-anak. Bapak mau menemaniku nyetir. Jalanan Cipali cukup lengang. Aku dan Dodit tak mau ngebut meskipun bisa. Dalam keremangan dan sesekali pantulan sinar lampu mobil, aku melihat Bapak terdiam. Lalu dengan suara pelan dan tegas mengatakan, “Seandainya ibumu masih ada….”

Dari kejauhan dengan latar belakang bulan, aku melihat awan yang menyerupai ibu …. tersenyum dan entah apa yang dikatakan, sepertinya mengatakan, “TTDJ leee…”

Nicolas Widi Wahyono

HIDUP NO.15 2015, 14 April 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini