HIDUPKATOLIK.com – Perlakuan diskriminasi dan tindak kekerasan yang pernah dialaminya menjadi pemantik perjuangan dan perhatian bagi kaumnya. Ia meminta mereka untuk meninggalkan jalanan.
Hari telah merangkak kian tinggi. Sebuah panggilan masuk ke telepon selular Yulianus Rettoblaut. Ia terjaga, langsung menyambar telepon genggam di sampingnya. Begitu pembicaraan selesai, Yulianus meninggalkan kediamannya. Dari Cilandak di Jakarta Selatan, ia meluncur dengan taxi ke sebuah daerah di bilangan Jakarta Pusat.
Di dalam satu kantor, Yulianus melihat beberapa “anak”-nya. Mereka adalah transpuan yang terjaring dalam operasi penyakit masyarakat pekerja seks komersial dan waria oleh petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Yulianus dipanggil lantaran kapasitasnya sebagai Koordinator Forum Komunikasi Waria se-Indonesia (FKWI).
Tak hanya kerap berurusan dengan pihak berwajib, Yulianus juga sering bersinggungan dengan petugas rumah sakit. Hal ini terjadi bila ada transpuan yang sakit atau meninggal namun tak ada keluarga atau kerabat yang menjamin di RS. Sebab, kata Yulianus, tak sedikit transpuan yang datang dari berbagai daerah dan putus komunikasi dengan keluarga. “Kami dari FKWI mengurus hingga ke pemakaman. Kami ingin, yang bersangkutan tetap diakui dan diperlakukan sebagai manusia,” ujar transpuan yang sedang menempuh Program Doktoral Ilmu Hukum Tata Negara ini.
Transpuan, Katolik
Andai Mami Yulie, demikian komunitas transgender memanggilnya, berhasil merampungkan pendidikan doktoral, alumnus Magister Ilmu Hukum Universitas Tama Jagakarsa, Jakarta Selatan ini bakal menjadi transpuan pertama Indonesia yang berhasil menggondol gelar tersebut.
Minat Mami Yulie terhadap bidang hukum dipantik sejumlah alasan. Mami Yulie melihat, mengalami, dan merasakan diskriminasi dan kekerasan yang marak dialami oleh kaumnya. Namun, tak banyak kasus tersebut yang tersentuh hukum. Padahal, kaum transpuan juga warga negara yang hak-haknya dilindungi undang-undang.
Selain itu, ia ingin membuktikan kepada masyarakat dan negara bahwa komunitas transpuan bisa bersaing dan mengenyam pendidikan tinggi. Atas dasar kondisi itu, Mami Yulie menempuh pendidikan Fakultas Hukum di Universitas Islam At-Tauriyah Tebet, Jakarta Selatan.
Keputusannya menempuh kuliah di lembaga pendidikan Islam tersebut terbilang langka dan berani. Ia satu-satunya mahasiswa dari kalangan transpuan dan beragama Katolik. “Awalnya saya ragu untuk masuk. Tapi, setelah masuk dan beberapa bulan di sana, semua orang baik, ramah, dan menerima saya,” kenang kelahiran Famborep, Asmat, Papua, 30 April 1961 ini.
Ketekunan Mami Yulie berbuah nikmat. Tak hanya membawa pulang ijazah kelulusan, Ia juga mengukir prestasi manis di sana. Anak guru ini meraih predikat cum laude dengan skripsi mengenai Hak Kerja Kaum Minoritas dan Perda DKI Jakarta. Prestasi itu sekaligus menahbiskan dirinya sebagai satu-satunya lulusan bukan Islam dan transpuan perdana di sana kala itu.
Baginya, menyandang gelar pendidikan merupakan bagian kecil dari usahanya untuk merubuhkan tembok tebal di masyarakat, yang menganggap kaum transpuan hanya bisa mangkal di jalan.
Rutin Mengedukasi
Dengan Keberhasilan itu, Mami Yulie juga ingin mendorong kaum transpuan lain agar bersedia menempuh pendidikan yang lebih baik atau mengasah keterampilan. “Pendidikan mereka rata-rata SD-SMP, banyak tak memiliki keterampilan atau keahlian tertentu sehingga menjadi pekerja seks atau pengamen dengan perilaku dan pakaian tak seronok. Hal itu yang memperkuat stigma negatif terhadap kaum transpuan itu sendiri,” ujar transpuan yang membuka salon kecantikan, dan terampil bermain voli serta kerap diundang sebagai pembicara seputar transgender.
Edukasi kepada kaum transpuan rutin Mami Yulie buat. Misal, pada dua atau tiga hari pasca Natal, Mami Yulie mengumpulkan seluruh anggota FKWI di rumah singgah kaum transpuan. Bangunan dua lantai dan berkelir biru itu terletak di wilayah Meruyung, Depok, Jawa Barat.
Sejatinya, rumah singgah itu diperuntukkan bagi para transpuan lansia yang tidak memiliki tempat tinggal. Kemungkinan besar, rumah singgah untuk kaum transpuan lanjut usia ini adalah yang pertama di dunia. Meski rumah tersebut diperuntukkan bagi transpuan jompo, transpuan muda pun kadang berkumpul di sana.
Bangunan milik Mami Yulie itu akhirnya menjadi rumah singgah lintas usia. “Kami jadi bisa bersilaturahmi, mengikat tali persaudaraan, saling membantu dan berbagi cerita,” ungkap Beni, salah satu penghuni di sana.
Saat acara silahtuhrami, selain ada makan bersama, Mami Yulie juga memberi “asupan” kepada kaumnya, terutama bagi transpuan muda. Ia meminta mereka mengasah keterampilan dan perlahan meninggalkan “aktivitas” malam. “Ini untuk menunjukkan eksistensi, pegangan hidup, serta bekal usaha pada masa tua nanti,” ujarnya.
Dedikasinya untuk memperjuangkan hak dan kemanusiaan kaum transpuan sempat mendorongnya untuk mencalonkan diri menjadi anggota Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada 2007. Upayanya itu untuk mengikis pandangan negatif terhadap kaum transpuan. Sekaligus, meraih peluang keterwakilan kaumnya di lembaga negara untuk pertama kali.
Mami Yulie lolos seleksi bersama 42 calon anggota lain. Namun, upanya terganjal saat uji kelayakan di Dewan Perwakilan Rakyat. Meski gagal, tak memadamkam semangat dan perjuangannya untuk memberdayakan kaum transpuan agar tak dipandang sebelah mata oleh kelompok sosial. “Jika belum bisa mengakui keberadaan kami, setidaknya mereka (masyarakat) bisa menerima kami sebagai manusia, sama seperti yang lain,” harapnya.
Perjuangan Mami Yulie yang begitu getol membela transpuan karena dirinya juga pernah mengalami dan merasakan peristiwa getir dalam hidupnya. Ia pernah diusir dari lingkungan sosial terdekatnya, mengalami diskriminasi dari masyarakat bahkan dari kaumnya sendiri, mengalami kekerasan, serta menderita di jalan raya. “Ketika saya tahu dan sudah merasakan itu semua, tak ada alasan saya tak membantu mereka (transpuan),” ujarnya.
Iyet Artikasari, salah satu anggota FKWI, merasakan langsung kebaikan Mami Yulie. Berkat Mami Yulie, kata Iyet, dirinya mendapat beasiswa pendidikan di sekolah kecantikan ternama. “Mami Yulie adalah salah seorang yang ikut andil dan berjasa untuk saya. Tanpa Mami Yulie, aku belum tentu bisa mengenyam pendidikan di sekolah ternama dan mahal ini,” balas Iyet ketika dihubungi lewat WhatsApp, pertengahan Maret lalu.
Meninggalkan Jalanan
Mami Yulie amat lama merasa dan mengalami getir kehidupan di jalan raya. Belasan tahun ia menyambung hidup sebagai penjaja seks. Namun, tahun 2005, Yulie tiba-tiba kembali ke lingkungan Gereja. Hingga kini, ia tak tahu apa yang menggerakan kakinya untuk melangkah ke sana. Ia datang ke Gereja St Stefanus Cilandak. Ia bertemu dengan imam di sana, Pastor Hadrianus Wardjito SCJ.
Di hadapan Pastor Wardjito, Yulie mengutarakan niatnya untuk meninggalkan jalanan dan kembali ke pangkuan Gereja. Pastor Wardjito juga melibatkan Yulie bersama kaum transpuan lain dalam kegiatan gereja, salah satunya olah raga voli bersama. “Kami hanya bisa mendoakan dan mengarahkan, namun kamu yang memutuskan,” ungkap Mami Yulie, mengenang perkataan Pastor Wardjito kepadanya kala itu. Menurut Mami Yulie, Pastor Wardjito adalah salah satu figur penting yang berjasa dalam pertobatan dan hidupnya.
Usai perjumpaan itu, dengan bermodal alat cukur, Yulie berjalan kaki untuk mendapatkan customer potong rambut. Ia melakoni semua itu secara tekun. Pendapatannya pun ia tabung. Semua itu pada akhirnya mengubah kehidupan Yulie. Ia bisa melanjutkan pendidikan, membeli tanah, membangun rumah, dan membantu sesama. Ia yang dulu sempat menjadi batu buangan, kini menjadi batu penjuru terutama bagi kaumnya, transpuan.
Yanuari Marwanto
HIDUP NO.14 2019, 7 April 2019