HIDUPKATOLIK.com – Sepeda tuaku melintas di depan Poskamling desa. Bang Golan dan Mas Prir yang sedang bermain catur turut melihat pergerakkan sepadaku.
“Tabik, salam kasih, Adi!”
“Tabik, salam kasih!” balasku sambil mengayuh sepeda tuaku, membelah hamparan perkebunan salak, Desa Marin.
Desa marin terletak di kaki gunung Mustaka. Penduduk di sana mayoritas berprofesi sebagai petani salak. Tak heran jika Desa Marin menjadi sentra penghasil salak terbesar. Salaknya manis-manis, semanis gadis-gadis Desa Marin.
“Tanpa riasan saja, sudah pangling mesti kau dibuatnya,” ujar Bang Golan, Hansip desa Marin.
“Heh, sadar diri to, kowe ki uwes tuwo. Mana ada yang mau..,” ledek Mas Prir.
Di mana ada Bang Golan, di situ ada Mas Prir. Begitulah kegiatan sehari-harinya. Hampir seluruh waktu mereka habiskan dengan bermain catur sambil makan cemilan khas Desa Marin, keripik salak.
***
Marina, gadis desa dengan segala keindahannya paras dan moral. Senyumnya lebih-lebih daripada salak manis manapun. Ia adalah teman satu sekolahku. Namun, tak sampai hati aku untuk menyapanya. Mana mungkin ia mau berteman dengan tampang ndesose pertiku.
Sapa menyapa sudah menjadi budaya di sini, hukumnya wajib dalam keadaan apa pun. Mengapa aku tak berani menyapanya? Rasanya aku pun jadi enggan menyapa warga lain selain Mak Karim.
Aku juga tumbuh dalam budaya Marin itu. Dengan sepeda onthel karatan milik mendiang ayah, kuterjang jalanan terjal menuju sekolah. Ayahku, Pak Gunardi, telah berpulang saat aku masih dalam kandungan. Lantas, Mak Karim-lah satu-satunya tulang punggung dalam keluargaku. Mak Karim mengolah perkebunan salak samping rumah, peninggalan mendiang Ayah. Selayaknya warga Desa Marin, salak menjadi makanan kami sehari-hari.
***
“Kringg!!!” bel istirahat berbunyi. Kukeluarkan kotak makan berisi roti selai salak. Di kejauhan, Marina mengobrol dengan teman-temannya di bawah pohon kruing dekat lapangan. Dengan kotak makan yang masih di tangan, kudekati mereka. “Moga-moga ia mau menjawab salamku kali ini,” tebakku dalam hati.
“Tabik, Marina. Namaku Adi, anaknya Mak Karim,” sapaku pertama kali.
“Tabik, Adi,” ujarnya sambil melihat ke kotak makanku, “Kamu bawa apa?”
“Roti salak buatan Mak Karim,” balasku setengah tertegun.
“Ieuw… Memang anak Marin, tak jauh dari salak mestinya. Kukira kau berbeda dari pemuda lainnya, ternyata sama saja,” ujarnya pada teman-temannya yang menertawakanku.
Baru kusadari, teman-temannya tidak ada yang makan olahan salak sepertiku. Ada yang membawa roti coklat keju, pisang, dan stroberi. Marina bergaul dengan teman-teman yang tergolong mampu, tak sepertiku yang hanya mampu makan roti salak. Penghargaan pada roti salak langsung turun drastis. Tak ingin aku menyerah, aku harus cari akal lain.
***
“Di, ayo makan dulu. Belajar boleh, tapi ingat waktu.”
“Iya sebentar Mak,” ungkapku sambil garuk-garuk kepala. Malas rasanya makan masakan Mak Karim yang tidak jauh dari olahan salak.
“Roti salak lagi, roti salak lagi. Adi sudah muak dengan salak-salak ini, Mak!” seruku sambil membanting salak-salak di meja makan. “Coba aku tidak tinggal di desa salak ini, aku tidak harus makan salak!” ujarku yang membuat Mak Karim terdiam sambil memunguti salak-salak itu.
Berangkat dari kebosananku dengan salak, motivasiku menjadi yang terbaik di kelas bertambah besar. Aku bercita-cita meraih beasiswa sekolah di Ibu Kota. Tiada kegiatan lain selain belajar. Hanya dengan cara itulah aku dapat mempertahankan prestasi gemilangku.
Bekal roti salak tiada kusentuh. Rasa malu dan enggan nampak jadi satu. Dengan uang seadanya, aku membeli makananan lain di kantin sekolah.
“Tabik, salam kasih, Adi,” sapa Bang Golan.
Tak kuindahkan sapaan itu. Kukayuh cepat bagai tak ada orang di kanankiriku. Aku harus bergegas agar tidak terlambat ujian. Pos Ronda Bang Golan dan Mas Priritu satu-satunya jalan menuju sekolah. Mau bagaimana lagi?
“Dikira pohon salak kali kita ni,” ujar Bang Golan sambil menggerogoti salaknya.
Maklum saja, aku sudah terlanjur muak dengan apapun berbau salak. Ingin cepat-cepat aku beranjak dari Desa Marin. Buat apa menyapa kalau saling kenal? Tak tahukah mereka akan pikiranyang kalut dengan banyaknya tugas.
***
Percobaan kedua, kali ini aku membawa roti coklat sebagai ganti bekalku. Sapaanku dibalasnya halus, dengan nada sarkasme perihal bekalku. Kukeluarkan roti coklat yang kubeli di kantin sekolah.
“Oh maaf, hari ini aku membawa roti coklat.”
“Oh wow, Adi! Nampaknya kau sudah bosan dengan salak, bukan begitu?” Untuk pertama kalinya ia bertanya padaku. Aku meng-iyakan tebakannya itu.
Disuruhnya aku duduk dengan teman-temannya. Kami saling bertukar pikiran. Ia memang gadis yang cerdas. Marina nampak semakin tertarik dengan rencanaku karena ia pun akan melanjutkan sekolah di Ibu Kota.
Sejak itu, aku dan Marina sering makan bersama di bawah pohon kruing. Ia memintaku untuk mengajarinya. Alhasil, hubungan kita semakin erat. Aku harus merogoh kocek setiap harinya untuk membeli roti coklat.
Tak jarang aku harus terkena marah Mak Karim yang kesal karena perilaku borosku. Tak ada gunanya aku terbuka padanya tentang hubunganku dengan Marina. Daripada masalah ini berangsur-angsur, aku terpaksa tidak membeli roti coklat lagi. Aku membawa roti salak dan membuangnya di tempat sampah sesampainya di sekolah.
***
Singkat cerita, kami berhasil memperoleh beasiswa untuk melanjutkan studi di Ibu Kota, tepatnya di Universitas Mukadimah. Marina tinggal di rumah kakeknya. Ia mulai bergaul dengan teman-teman kotanya.
Bukan hanya jurusan yang berbeda, nasib kita pun berbeda. Marina hidup di rumah kakeknya. Enggan aku menaruhkan harga diri ini dengan ikut menumpang. Aku harus mencari pekerjaan. Gaji sebagai tukang cuci piringlah satu-satunya sumber penghasilanku. Sepeda tua ini harus tetap melaju walau perut keroncongan.
“Tabik Marina, salam kasih,” sapaku saat lewat di koridor kampus. Tak ada sehelai katapun keluar dari mulutnya. Aku tidak terima dan menemuinya secara pribadi.
“Marina, aku ingin berbicara sesuatu,” sejurus kutarik tangan halusnya, “Kenapa kau tak menjawab salamku?”
“Itu bukan budaya orang kota, kau tahu tidak?! Budaya Marin-mu itu janganlah kau bawa ke kota,” ditariknya tangan itu dari genggamanku.
Pisau belati seakan menusuk jiwa yang sepi. Bagiku tidak berat untuk berpisah dengannya – memang tidak ada hubungan khusus selain teman seperjuangan – tapi menghapus memori indahku dengannya adalah hal yang sulit dihapuskan. Hujan sore itu melengkapi nestapaku. Biar hujan menyembunyikan air mata ini. Baru kusadari, ambisi butakulah yang membuatku begini.
***
Kuputuskan untuk menepi sejenak di pelataran toko kelontong. Barang lima menit setelahnya, seorang ibu yang menggendong sebuah keranjang rotan datang ke arahku.
“Tabik, salam kasih!” sapa ibu itu.
Ahh, mungkin ini hanya dugaanku semata. Mana ada orang Marin di Metropolitan seperti ini. Sejenak kupalingkan mukaku dan membalas, “Tabik, Ibu, salam kasih.”
Kuangkat keranjang yang ia sodorkan, seakan minta ditolong. Terkaget aku dengan keranjang berisi salak itu. Memori burukku terhadap salak langsung merebak, tapi ini semakin memperkuat dugaanku. Ia berterimakasih atas sapaanku itu.
“Sama-sama, Bu. Salam itu sering kudengar di kampung halamanku, Desa Marin.”
Sejenak ia tertegun hampa, “Pantas saja kau menjawab salam Ibu,” ujarnya terbata-bata, “Nampaknya budaya Marin tidak berlaku di sini. Mereka terlalu sibuk dengan hidupnya sendiri.”
Perkataan ibu itu meluluhkan hati. Betapa gembiranya hatiku menyadari dunia yang begitu sempit. Insting laparku mengalahkan kebencianku pada salak. Dengan uang seadanya, kucoba menawar salak-salak itu. “Jika anak mau, ambillah sekehendakmu. Orang Marin saling bantu,” balasnya.
Kulanjutkan perjalananku menuju kontrakanku. Memori dengan Marina tak lagi kupikirkan. Tersisa rasa sesal dan maaf, terlebih bagi Mak Karim. Hati ini bebal rasa akibat cinta buta. Mata seakan dibutakan oleh ambisi yang tak teriring mawas diri. Betapa kurindu pulang ke dekapan Ibu.
“Teriring segala maaf dan sesal, izinkan anakmu ini pulang…”
Christofer Edgar Liauwnardo
HIDUP NO.13 2019, 31 Maret 2019