Membangun Pariwisata yang Bermartabat

258
Pastor Markus Manurung OFMCap.
[HIDUP/Antonius E. Sugiyanto]

HIDUPKATOLIK.com – Pembangunan kawasan wisata Danau Toba jangan sampai hanya memberi kesempatan pada pemodal besar. Gereja berjuang agar masyarakat menjadi pelaku utamanya.

Sore itu, Dian Sidauruk baru saja selesai bekerja di kebun yang terletak tepat di samping rumahnya di Simanindo, Samosir, Sumatera Utara. Di kebun yang terletak tepat di tepi Danau Toba itu, Dian menanam alpukat dan beberapa jenis buah lain. “Saya menamai alpukat ini, ‘alpukat predator’. Buahnya besar dan dagingnya lembut,” kata Dian sambil menunjuk beberapa buah alpukat yang mulai membesar.

Dari mana saja dilihat, Danau Toba tetap terlihat indah. Pemandangan itu juga sama indahnya, saat dilihat dari kebun milik Dian itu. Keindahan ini juga yang selama ini menarik banyak wisatawan ke Danau Toba dan Pulau Samosir. “Tanah ini sudah ditawar mau dibeli seharga lima miliar, tapi saya tidak mau,” ujar Dian.

Keputusan Dian untuk tidak menjual tanahnya boleh jadi tidak hanya sekadar karena harga yang kurang. Dikenal sebagai kawasan tempat lahirnya orang Batak, sebagian besar kawasan Pulau Samosir adalah tanah ulayat yang selama ini dijaga. Tanah di pulau ini, meski hanya sepetak kecil, bisa jadi tidak hanya milik pribadi orang yang tinggal di sana, namun juga menjadi milik marga atau keluarga tertentu.

Soft Tourism
Paduan antara wisata alam dan budaya, sejauh ini menjadi andalan kawasan Danau Toba. Potensi inilah yang akan dikembangkan lagi oleh Pemerintah Indonesia. Presiden Joko Widodo berencana mengembangkan lagi 10 destinasi wisata unggulan Indonesia dan salah satunya adalah kawasan Danau Toba ini.

Ada harapan yang besar atas rencana ini. Sebagai tindak lanjut dari rencana ini, kini pemerintah telah membentuk Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT). Lembaga inilah yang menjadi pelaksana pembangunan kawasan Danau Toba yang meliputi delapan kabupaten di Sumatera Utara, yaitu Samosir, Humbang Hasudutan, Tapanuli Utara, Toba Samosir, Simalungun, Karo, Dairi, dan Pakpak Barat.

Namun, rencana itu bukan tanpa kekhawatiran. Sejak digulirkan tahun 2016 lalu, hal ini mengundang perhatian banyak kalangan baik dari penduduk di Pulau Samosir, maupun orang-orang yang memiliki perhatian pada perkembangan pariwisata dan budaya di sana. Salah satu yang menjadi lebih sibuk dengan rencana itu adalah Pastor Markus Manurung OFMCap. “Kita, Gereja Katolik menerima Danau Toba dikelola. Namun, untuk itu kita menawarkan konsep pariwisata ‘soft tourism’,” ujar Ketua Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Keuskupan Agung Medan ini.

Pastor Markus menjelaskan, soft tourism ini berlawanan dengan hard tourism. Ketika hard tourism tertuju pada pengembangan pariwisata secara makro, maka soft tourism ingin menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan pariwisata ini. “Gereja mengusulkan pengembangan soft tourism, yang pertama-tama mengutamakan martabat manusia,” ujar imam dari Ordo Kapusin (Ordo Fratrum Minorum Capuccinorum/OFMCap) ini.

Ketika sebuah kawasan wisata dibangun dengan secara makro, maka yang terbayangkan adalah hotel berbintang, gedung-gedung bertingkat, dan aliran modal dari investor-investor besar. Pastor Markus khawatir, hal ini akan dibarengi dengan munculnya venue lain seperti tempat judi atau bahkan kawasan prostitusi. Untuk itu, ia mengungkapkan, Gereja menginginkan pembangunan ini harus berbasis pada masyarakat. “Masyaratat yang harus menjadi pelaku, bukan mereka yang datang dari luar misalnya dari Hong Kong, Singapura, Malaysia, atau negara lain,” ujarnya.

Pembangunan kawasan pariwisata ini harus berkeadilan. Dari segi ekonomi, pemerintah jangan hanya memikirkan investor-investor asing. “Tetapi supportlah masyarakat lokal, benahi masyarakat lokal, buatlah pemberdayaan agar mereka berdaya menjadi pelaku wisata,” ujar Pastor Markus.

Pembangunan Berkelanjutan
Sejak rencana pembangunan Danau Toba ini digulirkan. Gereja Katolik Keuskupan Agung Medan (KAM) telah membuat penelitian di delapan kabupaten di sekitar Danau Toba, yang terdampak pengembangan pariwisata ini. Penelitian yang berlangsung antara bulan juli-Agustus 2016 ini ingin menggali sejauh mana masyarakat mengetahui tentang rencana pengembangan kawasan pariwisata ini.

Dari penelitian ini diketahui, bahwa sebagian masyarakat ternyata masih belum mengetahui rencana ini. Keberadaan BPODT sebagai lembaga yang menjadi pelaksana rencana ini pun tidak diketahui oleh sebagian besar masyarakat. Pastor Markus menerangkan, penelitian ini juga berusaha meneliti dampak apa saja yang mungkin akan timbul dari pembangunan ini. Salah satunya, ditemukan bahwa ada potensi konflik yang cukup tinggi. “Konflik ini dapat terjadi misalnya dipicu karena alih fungsi lahan di sekitar Danau Toba,” tuturnya.

Seiring dengan pengembangan kawasan Danau Toba ini, pemerintah berencana menghapus beberapa usaha masyarakat yang selama ini menjadi mata pencaharian masyarakat. Pastor Markus menyebutkan usaha keramba yang selama ini banyak terdapat di Danau Toba, ke depannya akan dihapus. Selain itu, lahan perkebunan kopi yang ada di beberapa daerah juga akan diubah menjadi kawasan pariwisata.

Dalam hal ini, KAM mulai memberdayakan masyarakat di beberapa tempat dengan potensi jobless karena penghapusan keramba. Melalui PSE, KAM meningkatkan skill masyarakat di sana dengan melatih ibu-ibu untuk menjadi pembatik. “Saat ini mereka sudah mulai produksi. Dengan ini harapannya mereka siap menjadi pelaku pariwisata di kawasan Danau Toba,” ujar Pastor Markus.

Konsep yang Jelas
KAM tidak ingin kecolongan dalam hal ini. Tercatat ada 14 paroki di keuskupan ini yang berada di kawasan pengembangan pariwisata ini. Pastor Markus mengatakan, setiap paroki telah didorong untuk menemukan satu bidang yang ingin dikembangkan. Ia mencontohkan, di Paroki St Mikael Pangururan, Samosir saat ini sudah secara serius mengembangkan “Museum Pusaka Batak Toba” yang sudah berdiri sejak 27 Juni 1997. Sedangkan, Paroki St Fidelis Parapat, simalungun, mendorong umatnya untuk mengembangkan usaha homestay.

Pastor Markus mengungkapkan, sejauh ini Gereja Katolik telah memiliki konsep yang jelas tentang bagaimana kawasan Danau Toba ini harus dikembangkan. Ia menekankan, umat dan juga masyarakat jangan hanya menjadi penonton. Gereja mengajak masyarakat untuk berbenah agar siap menjadi pelaku wisata. “Kita selalu mewartakan di paroki-paroki, jangan menjual tanah. Belajar meningkatkan skill, membuat makanan yang enak dan membuat souvenir yang bagus dan memiliki nilai jual,” ujarnya.

Seiring berjalannya waktu, Gereja tidak bisa hanya berpangku tangan tanpa bersikap atas pembangunan dan perkembangan masyarakat. Gereja tidak hanya berfungsi sebagai penjaga moral tanpa berbuat sesuatu yang lebih konkret bagi umat dan masyarakat luas.

Antonius E. Sugiyanto (Samosir)

HIDUP NO.13 2019, 31 Maret 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini