Gereja di Tengah Danau

3089
Misa di Stasi St Theresia Lumban Malau, Paroki St Fransiskus Asisi Palipi, Samosir, Sumatera Utara.
[HIDUP/Antonius E. Sugiyanto]

HIDUPKATOLIK.com – Keindahan Danau Toba akhirnya melengkapi cerita indah perkembangan Gereja Katolik di Pulau Samosir. Gereja yang terus berdialog dengan kearifan lokal Batak.

Tidak selalu ada Perayaan Ekaristi di setiap hari Minggu pagi di Paroki St Fransiskus Asisi Palipi, Samosir, Sumatera Utara. Seperti yang terjadi di salah satu Minggu pada sekitar akhir Desember 2018 yang lalu, jadwal Pastor Damian Gultom OFMCap adalah mengunjungi Stasi St Antonius Padua Sape Tua.

Tak lama setelah menghabiskan suap terakhir sarapannya, Pastor Damian langsung berangkat. Dengan sebuah mobil jeep, ia menuju ke bagian tengah Pulau Samosir. Sebagian besar jalan menuju Stasi Sape Tua hanya berupa jalan berbatu dan menanjak. Di tengah perjalanan, sesekali terlihat kerbau bahkan kuda yang dengan bebas berkeliaran mencari rumput di hamparan sabana.

Pemandangan yang indah dapat menjadi penghibur di tengah perjalanan berat untuk sampai di tempat pelayanan yang dituju Pastor Damian. Hari itu cuaca cerah. Mobil yang membawa Pastor Damian mudah saja menaklukkan medan berat yang dilalui. “Kalau hujan dan jalan berlumpur, kadang mobil bisa terjebak. Kalau sudah begitu tak ada lagi yang bisa dibuat selain pulang, mobil di tinggal saja nanti umat akan datang mengambil dan mengantarnya ke paroki,” ujar Kepala Paroki Palipi ini.

Butuh waktu dua jam untuk sampai di Stasi Sape Tua. Beratnya medan dan lelah karena jarak yang jauh seketika terbayar saat melihat umat yang sudah menunggu di halaman Gereja. “Horas Pastor,” begitu sapa setiap umat yang menyambut gembalanya.

Medan Berat
Dari cerita yang diungkapkan Willem Situmorang. Stasi Sape Tua sudah ada sejak tahun 1958. Ia mengingat, awalnya ada sekelompok umat yang meminta dibaptis dalam Gereja Katolik karena menilai bahwa agama ini menawarkan ajaran yang baik bagi manusia. “Saya sendiri dibaptis tahun 1961,” ungkapnya.

Pastor Damian mengatakan, selain medan yang berupa daerah-daerah pegunungan, Paroki Palipi memiliki beberapa stasi yang berada di tepi Danau Toba. Sebagai pecahan dari Paroki St Yosep Balige, paroki ini ada sejak tahun 1936. “Di paroki inilah pertama kali Katolik masuk ke Samosir,” ungkap imam dari Ordo Kapusin (Ordo Fratrum Minorum Capuccinorum/OFMCap) ini.

Dikarenakan banyaknya stasi yang dilayani ini, tidak setiap hari Minggu ada Misa di sana, bahkan di pusat paroki, Misa hanya diadakan pada Minggu yang dijadwalkan saja. Secara bergantian, Pastor Damian akan mengunjungi satu per satu stasi. Namun, meski ia juga dibantu oleh Pastor Rekan Paroki, Pastor Oscar Tober Sinaga OFMCap, tetap saja cukup berat untuk melayani umat yang berjumlah sekitar 13 ribu jiwa. “Saat bertemu dengan umat menjadi saat membahagiakan, apalagi kalau mereka rajin dan aktif dalam menggereja,” ujarnya.

Tengah Danau
Luas Pulau Samosir kurang lebih 550 kilometer persegi. Di pulau yang berada di tengah Danau Toba ini, tercatat ada empat paroki. Selain Paroki Palipi, ada Paroki St Antono Maria Claret Tomok, Paroki St Mikael Pangururan, dan Paroki St Paulus Onan Runggu. Dengan jumlah umat Katolik sekitar 60 ribu jiwa, jumlah ini menjadi yang terbanyak dibanding kelompok agama lain di Samosir.

Sebagai pusat dari kebudayaan Batak, khususnya Batak Toba, salah satu penanda yang dapat di lihat di sebagian besar wilayah Pulau Samosir adalah adanya tugu atau makam. Tanah di sekitar tugu ini umumnya adalah tanah ulayat yang dimiliki salah satu marga Batak atau keluarga tertentu.

Karena alasan tanah ulayat ini, pernah membuat pusing umat Paroki Tomok saat ingin mendirikan Gereja Paroki St Antonio Maria Claret Tomok. Pada tahun 2005, sebagai salah satu syarat untuk resmi menjadi paroki mandiri, sebagai pecahan dari Paroki St Fidelis Parapat, Simalungun maka umat perlu menyediakan sebidang tanah untuk membangun sebuah gereja yang baru. Saat kemungkinan untuk mendapat sebidang tanah dirasa mustahil. Salah satu umatnya, Mudain Harianja akhirnya rela melepas sebagian tanah di samping tugu marganya. “Hanya ini belakangan pastor, hanya ada tanah tapi tempat tugu,” kata Suami Bunga Uli Sidabutar ini.

Kepada Pastor Paroki Parapat, Mudain mengungkapkan bahwa ia memiliki citacita agar di Tomok, di tempat ia tinggal itu nantinya akan berdiri pusat paroki. Saat Pastor Paroki Parapat melihat tanah yang dimaksud, ia pun menyetujui. Paroki Tomok pun resmi menjadi sebuah paroki mandiri yang pelayanannya diserahkan kepada Tarekat Misionaris Claretian (Cordis Marie Filius/CMF). Gereja paroki yang diimpikan umat itu pun akhirnya selesai dibangun dan diresmikan pada 18 November 2018.

Saat mengingat kembali perjuangan membangun sebuah gereja di Paroki Tomok ini, Pastor Kristian Dodok CMF menaruh rasa bangga pada perjuangan umatnya. Ia berpendapat, pemilihan Tomok sebagai pusat paroki memang sudah dirasa tepat, mengingat di sinilah pintu gerbang masuk ke Pulau Samosir.

Dikenal sebagai tempat wisata, sebagian umat Paroki Tomok memang hidup dengan menggantungkan pada wisatawan yang datang. Pastor Kristian menjelaskan, dibanding tiga paroki lain, pariwisata di Tomok memang paling berkembang. Ia mengungkapkan, dengan banyaknya wisatawan baik asing maupun domestik, tak jarang terjadi pernikahan antara penduduk asli dengan pendatang. “Ada beberapa umat yang anaknya akhirnya menikah dengan wisatawan dari luar negeri, misalnya dari Eropa atau dari negara Asia lain,” ungkap Pastor Paroki Tomok ini.

Meski begitu, tidak semua umat menggantungkan hidup di bidang pariwisata. Pastor Kristian menjelaskan, sebagian umat juga bekerja sebagai petani dan juga nelayan. Budiman Rumahorbo Mereka adalah salah satu contoh umat yang menggantungkan hidupnya di sektor pertanian. “Saya lahir dari keluarga petani, maka sejak kecil memang sudah dilatih untuk menjadi petani,” ungkap suami dari Sumindar br Sinaga ini.

Kehadiran Gereja
Meski terkenal karena keindahannya dan menjadi tujuan pariwisata internasional, tidak semua penduduk di Samosir menggantungkan hidup di bidang pariwisata. Di Paroki Onan Runggu sebagian besar umat justru adalah petani.

Pastor Cyrus CMF mengungkapkan, ketika masa tanam dan panen kadang sulit untuk mengumpulkan umat untuk berdoa. Untuk itu, pastoral yang saat ini dikembangkan di parokinya adalah menggalakan doa bersama di wilayah dan stasi. Dalam banyak kesempatan, salah satu yang menggembirakan dari kegiatan doa ini adalah banyaknya anak-anak yang justru antusias untuk ikut berdoa bersama pada bulan Mei dan Oktober. “Hal ini menggembirakan, ada banyak anak yang datang, hal ini sesuai dengan yang kami harapkan,” ujar Pastor Cyrus.

Kehadiran Gereja dalam pengembangan sosial ekonomi umat juga dirasa perlu di Paroki Onan Runggu. Pastor Cyrus menjelaskan, kehadiran Credit Union bertujuan untuk membantu umat dalam mengembangkan ekonomi keluarga mereka. Meski begitu, ia mengakui bahwa ada juga masalah dalam pengelolaan koperasi ini. Ia meyakini, kehadiran paroki masih dirasa perlu untuk membantu mengawasi berjalannya koperasi di parokinya.

Sebagai salah satu strategi pastoral, Keuskupan Agung Medan menyatukan empat paroki yang ada di Pulau Samosir ini bergabung menjadi satu Kevikepan Pangururan dengan Pastor Nelson Sitanggang OFMCap sebagai Vikaris Episkopal. Di antara empat paroki di pulau ini, Paroki St Mikael Pangururan memiliki umat yang paling banyak. Paroki ini juga terletak di Kota Pangururan yang juga merupakan ibu kota Kabupaten Samosir.

Pastor Maseo Sitepu OFMCap mengungkapkan, sebagai paroki terbesar, pastoral di parokinya juga paling kompleks. Umat Paroki Pangururan pun lebih beragam dibanding tiga paroki lain di Pulau Samosir. Terletak di pusat pemerintahan kabupaten, banyak umat di paroki ini bekerja sebagai pegawai pemerintahan. Latar belakang umat yang lain adalah pedagang, petani, dan tentu umat yang mengantungkan hidup mereka di bidang pariwisata.

Berkaitan pengembangan wisata di Pulau Samosir, salah satu usaha yang dilakukan di Paroki Pangururan adalah pembinaan umat untuk melakukan pembenahan karakter. Pastor Maseo menyebutkan, langkah konkret dari usaha ini adalah dengan pembinaan umat untuk menjaga kebersihan lingkungan. Selain itu, keramah-tamahan juga perlu ditampilkan kepada setiap wisatawan yang datang. “Sosialisasi ini sudah kami mulai saat ada kunjungan ke stasi-stasi di seluruh Paroki Pangururan,” ungkap Pastor Paroki Pangururan ini.

Gereja perlu hadir dalam usaha masyarakat untuk menjadi tuan rumah yang baik bagi wisatawan yang datang ke Pangururan. Pastor Maseo mengakui, umat harus mampu menampilkan kekatolikan yang sejati. Hal yang konkret misalnya paroki perlu terus mengembangkan liturgi Katolik, sehingga ketika ada pendatang yang beribadat, mereka tidak merasa sebagai sesuatu yang asing.

Pastor Maseo menambahkan, budaya lokal yang berkembang di Samosir akhirnya juga menjadi koreksi internal bagi masyarakat untuk menjaga keamanan dan moralitas. Hal ini juga yang akhirnya menjadi benteng bagi masyarakat terhadap nilai-nilai negatif yang dibawa wisatawan. “Hal ini harus terus dijaga. Masyarakat jangan sampai kehilangan identitas mereka. Jangan kehilangan ‘dalihan na tolu’ yang mengikat relasi orang Batak dalam kehidupan masyarakat,” imbuhnya.

Antonius E. Sugiyanto (Samosir)

HIDUP NO.13 2019, 31 Maret 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini