HIDUPKATOLIK.com – Minggu, 21 April 2019; Hari Raya Paskah Kis 10:34a, 37-43; Mzm 118:1-2, 16ab-17, 22-23; Kol 3:1-4; Yoh 20:1-9
“Ketika Kristus menjadi hidup kita, kita mencapai kepenuhan hidup Kristiani”
ADA berbagai macam kisah kebangkitan yang diwartakan pada perayaan Paskah. Pada Misa Malam Paskah dikutip Injil Lukas (24:1-12), yang berkisah tentang para wanita yang menerima warta bahwa Yesus sudah bangkit.
Para wanita itu lalu memberitahukan hal itu kepada para rasul, tetapi para rasul tidak percaya dan menganggap kisah itu omong kosong (ay 11). Petrus pun hanya sampai “bertanya dalam hatinya apa yang kiranya telah terjadi” (ay 12).
Pada Hari Raya Paskah pagi, dibacakan kisah kebangkitan dari Injil Yohanes (20:1-9). Kisah ini berakhir dengan menceritakan bahwa “murid yang lain” melihat dan percaya (ay 8). Misa Paskah sore mengambil bacaan kisah dua murid Emaus. Kisah ini antara lain menggambarkan transformasi diri kedua murid itu, sebagai buah perjumpaan mereka dengan Kristus yang bangkit.
Semula wajah mereka muram (ay 17), sesudah mengenali diri Yesus yang bangkit, hati mereka menjadi berkobar-kobar (ay 32). Semula mereka dengan nada merendahkan memandang Yesus sebagai “orang asing” (ay 18), sesudah berjumpa dengan Kristus, dengan nada bersahabat mereka mengundang Yesus untuk tinggal bersama mereka (ay 29).
Sementara itu, bacaan kedua untuk Minggu Paskah pagi, mengutip surat Rasul Paulus kepada jemaat di Kolose 3:1-4. Dalam kutipan itu, Rasul Paulus mengajak kita semua untuk meyakini bahwa dengan merayakan Paskah, kita dibangkitkan bersama dengan Kristus (ay 1) dan Kristus menjadi hidup kita (ay 4).
Sejajar dengan itu, ketika Kristus menjadi hidup kita, kita mencapai kepenuhan hidup Kristiani. Itulah panggilan hidup kita, sebagaimana diajarkan oleh Gereja : ”Jadi bagi semua jelaslah, bahwa semua orang kristiani, bagaimana pun status atau corak hidup mereka, dipanggil untuk mencapai kepenuhan hidup Kristiani dan kesempurnaan kasih”
(Konstitusi Dogmatis Tentang Gereja No 40).
Panggilan menuju kesucian ini ditegaskan oleh Paus Fransiskus dalam Anjuran Apostolik yang berjudul Bergembira dan Bersukacitalah. Dalam Anjuran Apostolik ini Paus Fransiskus menjelaskan arti panggilan kesucian dalam dunia sekarang ini dan mendorong kita semua untuk menanggapinya.
Beliau antara lain menulis, “Kita seringkali tergoda untuk berpikir bahwa kesucian hanya diperuntukkan bagi mereka yang dapat menarik diri dari urusan sehari-hari dan menyediakan banyak waktu untuk berdoa. Bukan demikian.”
“Kita dipanggil untuk menjadi suci dengan menghayati hidup kita dengan kasih dan dengan memberikan kesaksian dalam segala hal yang kita lakukan, di mana pun kita berada.”
“Apakah Anda terpanggil untuk menjalani hidup bakti? Jadilah suci dengan menghayati komitmen Anda dengan gembira.
Apakah Anda menikah? Jadilah suci dengan mengasihi dan memberikan perhatian kepada suami atau isteri Anda sebagaimana dilakukan oleh Kristus bagi Gereja-Nya.”
Apakah Anda bekerja untuk mencari nafkah? Jadilah suci dengan bekerja secara jujur dan cerdas dalam pelayanan kepada saudari-saudari Anda.” (No 14).
Paus Fransiskus memberikan contoh yang amat konkret dan sederhana untuk melangkah menuju kepenuhan hidup Kristiani itu – yang artinya sama dengan kesempurnaan kasih dan kesucian, atau dalam bahasa Rasul Paulus, selalu memikirkan dan mencari perkara yang di atas (Kol 3:1).
Ia menulis, “Kita bertumbuh dalam kesucian yang merupakan panggilan kita semua, melalui hal kecil sehari-hari. Berikut contohnya : seorang ibu pergi berbelanja dan dia berjumpa dengan seorang tetangga.
Mulailah mereka berbicara dan pada suatu titik mulailah mereka bergosip. Namun ibu itu berkata dalam hatinya : “Tidak, saya tidak akan berbicara jelek mengenai orang lain”. Ini adalah satu langkah maju dalam kesucian. Selanjutnya di rumah, salah satu anaknya ingin berbicara dengan dia mengenai harapan dan mimpi-mimpinya. Meskipun lelah, ia duduk dan mendengarkan dengan sabar, penuh perhatian serta kasih. Ini adalah pengorbanan lain yang mendatangkan kesucian.”
“Berikutnya ia merasa cemas, tetapi ketika itu ia ingat akan kasih Bunda Maria, mengambil rosario dan berdoa dengan penuh iman. Suatu jalan lain lagi menuju kesucian. Berikutnya lagi, ia pergi ke jalan, berjumpa dengan seorang miskin dan berhenti untuk menyapa orang miskin itu. Satu langkah maju lagi dalam kesucian” (No 16).
Jikalau demikian Paskah bukanlah sekadar peristiwa yang dirayakan setahun sekali. Setiap hari bahkan setiap saat kita bisa merayakan paskah-paskah kecil, setiap kali kita memilih untuk melakukan yang baik dan benar, bukan sekadar yang gampang dan menyenangkan.
Selamat Paskah.
Mgr Ignatius Suharyo
Uskup Agung Jakarta
HIDUP NO.15 2019, 21 April 2019