HIDUPKATOLIK.com – Usai tiga hari berkumpul, Paus dan para peserta konferensi perlindungan anak di bawah umur mengadakan penilikkan hati nurani bersama.
“Kami mengakui bahwa kami telah melindungi yang bersalah dan telah membungkam mereka yang telah dirugikan.” Perkataan ini diucapkan Kardinal John Dew dari Wellington, Selandia Baru, mewakili semua kardinal dalam sebuah Liturgi Tobat di Sala Regia, Vatikan, Sabtu, 23/2.
Perkataan Kardinal John Dew itu kemudian dijawab “Kyrie, eleison,” ‘Tuhan, kasihanilah,’ oleh Paus Fransiskus bersama sekitar 190 kardinal, uskup, dan pemimpin Gereja dari seluruh dunia yang datang dalam pertemuan itu.
Liturgi Tobat ini adalah puncak dari pertemuan yang membicarakan tentang pelecehan seksual para imam. Di ruangan yang dibangun pada abad ke-16 itu, para kardinal mengakhiri tiga hari pertemuan yang diisi dengan kesaksian memilukan dari para penyintas pelecehan seksual para imam, demikian seperti diberitakan cruxnow.com, (24/2).
Inti dari liturgi tobat ini bertumpu pada pembacaan kisah anak yang hilang atau, sebagaimana Vatikan menyebutnya, “ayah yang penuh belas kasihan” dari Lukas 15: 11-32 dan “pemeriksaan hati nurani” yang panjang. Pada momen tersebut, para uskup sebagai individu dan sebagai ketua konferensi para uskup, diminta untuk jujur mengenai apa yang telah mereka lakukan. Mereka gagal melindungi anak-anak, mendukung mereka yang selamat dan berurusan dengan para imam yang bersalah.
Pada kesempatan ini, Uskup Agung Tamale, Ghana Mgr Philip Naameh dalam homili menyampaikan kepada Paus dan uskup, bahwa mereka semua sering berkhotbah tentang perumpamaan tentang anak yang hilang, tapi sering juga lupa menerapkannya. “Kita dengan mudah lupa menerapkan Kitab Suci ini kepada diri kita sendiri, untuk melihat diri kita apa adanya, yaitu sebagai anak yang hilang. Sama seperti putra yang hilang dalam Injil, kami juga menuntut warisan kami, mendapatkannya, dan sekarang kami sibuk menyia-nyiakannya.”
Mgr Philip menyebutkan, bahwa para uskup sering “terlalu sombong” menghadapi sisi gelap Gereja, dan menyia-nyiakan kepercayaan umat. Dalam kisah Injil, langkah pertama untuk menerima pengampunan dari ayah yang berbelaskasih, adalah agar putra yang hilang menjadi sangat rendah hati, untuk melakukan tugas yang sangat sederhana dan tidak menuntut hak istimewa apa pun. “Seperti anak yang hilang, para uskup harus mengenali kesalahan mereka, mengakui dosa-dosa mereka, berbicara secara terbuka tentang mereka dan siap menerima konsekuensinya,” ujarnya.
Seorang yang selamat dari pelecehan juga berbicara, dengan tenang dan lembut memberi tahukan Paus dan uskup bahwa sebagai korban, ingatan tentang pelecehan itu selalu ada, kata pria itu, yang tidak diidentifikasi. “Saya mencoba berkonsentrasi pada hak ilahi saya untuk hidup. Saya bisa dan harus ada di sini. Ini memberi saya nilai. Sekarang sudah berakhir dan saya bisa terus maju, saya harus maju,” ucapnya tercekat.
Selama liturgi, peserta konferensi diminta untuk merenungkan bagaimana mereka dan Gereja di negara mereka telah menanggapi mereka yang telah mengalami penyalahgunaan kekuasaan, dan hati nurani. “Kita perlu memeriksa, tindakan konkret diperlukan untuk Gereja-Gereja lokal, bagi para anggota Konferensi Episkopal kita, untuk diri kita sendiri. Ini mengharuskan kita untuk melihat dengan jujur situasi di negara kita dan tindakan kita sendiri, ujar Paus selama liturgi seperti dilansir catholic herald, (24/2).
Paus dan peserta konferensi berdoa agar memperoleh rahmat untuk mengatasi ketidakadilan dan untuk mempraktikkan keadilan bagi orang-orang yang dipercayakan pada pelayanan mereka. “Kita gagal bertindak,” ujar Paus.
Felicia Permata Hanggu
HIDUP NO.09 2019, 3 Maret 2019