Hidup yang Semakin Bermartabat

922

HIDUPKATOLIK.comMinggu 31 Maret 2019, Minggu Prapaskah IV, Yos 5:9a.10-12; Mzm 34:2-3, 4-5, 6-7; 2Kor 5:17-21; Luk 15:1-3,11-32.

“Hidup bermartabat adalah sikap untuk menahan diri dan tidak tergoda untuk menonjolkan diri dengan segala cara.”

WARTA sukacita hari Minggu Prapaskah IV adalah pengampunan Allah melampaui segala dosa kita. Pengampunan Allah memulihkan jati diri manusia sebagai anak terkasih. Pengampunan terjadi saat manusia “menyadari keadaannya” (bdk. Luk 15:17).

Pada saat itu pula manusia dipulihkan. “Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali” (Luk 15:24). Sadar akan keadaanya terjadi pada bangsa Israel, ketika mereka mulai hidup di tanah terjanji, Yosua mengajak warga bangsanya untuk bersyukur atas kuasa kasih Allah.

Kuasa kasih Allah itu telah menuntun mereka memasuki tanah terjanji. Mereka mengawali hidup baru dengan merayakan Paskah karena Allah telah menghapus dosa. “Hari ini telah Kuhapus cela Mesir dari padamu” (Yos 5:9).

Allah memulihkan mereka sebagai bangsa bermartabat. Hidup bermartabat “datang dari Allah yang telah mendamaikan kita dengan diri­Nya dengan pengantaran Kristus” (2Kor 5:18). Kuasa kasih Allah melimpah kepada orang berdosa.

Manusia yang berdosa seharusnya mengalami kebinasaan namun Allah tidak memperhitungkan dosa kita. Sebaliknya, Allah telah mendamaikan dunia dengan diri­Nya lewat Kristus, tanpa memperhitungkan dosa dan pelanggaran kita. St Paulus mengalami betapa kuasa kasih Allah mengubah hidupnya.

“Berilah dirimu didamaikan dengan Allah. Kristus yang tidak mengenal dosa telah dibuat­Nya menjadi dosa karena kita supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah” (2Kor 5:20­-21). Allah mendamaikan kita dengan diri­Nya melalui kuasa kasih Kristus, yang rela wafat dan bangkit demi penebusan dosa.

Kisah anak bungsu yang menghabiskan harta kekayaan ayahnya menegaskan pengalaman didamaikan dengan Allah dan mengalami pemulihan. Ia yang menyadari keadaannya sebagai orang upahan dan kelaparan, dipulihkan menjadi anak dan saudara kandung dari anak sulung.

Anak bungsu itu memperlihatkan hidup yang bermartabat dengan menyadari keadaanya sehingga pada saat yang sama memberi diri diperdamaikan dengan Allah. Perumpamaan anak bungsu merupakan cara Yesus menanggapi orang Farisi dan ahli Taurat yang menggerutu karena Yesus menerima orang-­orang berdosa dan makan bersama dengan mereka.

Yesus bersukacita atas orang berdosa yang bertobat. Orang-­orang Farisi dan ahli Taurat melihat orang lain sebagai pendosa, tetap tidak berhasil menyadari diri mereka sebagai pendosa. Mereka gagal memberi diri untuk diperdamaikan dengan Allah dan menerima kuasa kasih Allah yang memulihkan hidup mereka.

Ketika anak bungsu itu menyadari keadaannya saya teringat “aja rumangsa bisa, nanging bisaa rumangsa”, ‘jangan merasa bisa, tetapai bisalah merasa’. Anak bungsu itu menyadari dirinya yang berdosa. Ia memilih untuk bersikap rendah hati.

Ia “bisa rumangsa”, ia menyadari keadaan dirinya. Bersikap rendah hati bukan berarti rendah diri. Kerendahan hati adalah sikap mau melakukan refleksi diri dan tidak tergoda untuk menilai atau merendahkan bahkan menghujat orang lain.

Hidup bermartabat adalah sikap untuk menahan diri dan tidak tergoda untuk menonjolkan diri dengan segala cara. “Telah bertahun­-tahun aku melayani Bapa, dan belum pernah aku melanggar perintah Bapa” (Luk 15:29). Kalau menggunakan bahasa anak zaman now, ungkapan tersebut akan ditanggapi begini: “Hello…., benarkah belum pernah melanggar perintah?”

Atau dengan cara melebih­-lebihkan atau kebohongan. “Telah memboroskan harta kekayaan bersama dengan….” (Luk 15:30). Adakah anak bungsu itu memboroskan harta kekayaan “bersama dengan….?”. Hanya dikatakan “ia memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-­foya” (Luk 15:13).

Hidup bermartabat adalah “tengoklah ke dalam sebelum bicara, singkirkan debu yang masih melekat” (Ebiet G. Ade). Hidup bermartabat adalah bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain, bisa mendengarkan apa yang menjadi jeritan semesta alam dan bisa memulihkan kehidupan bersama menjadi persaudaraan sejati.

Hidup yang bermartabat adalah hidup yang berkembang dari kecenderungan untuk mengadili jadi mengasihi, dari menghakimi jadi mengampuni, dari mencaci jadi mencintai, dari menuduh jadi merengkuh, dari memukul jadi merangkul, dari cacian jadi pujian, dari
fitnah jadi berkah, dari hujat jadi rahmat.

Semoga hidup kita semakin bermartabat. Tuhan memberkati!

Mgr Pius Riana Prapdi
Uskup Ketapang

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini