Nenuwea : Bentala Baktiku

121

HIDUPKATOLIK.com – Sulit kumengerti. Jabatan mosalaki (ketua adat) yang sudah kubaktikan dua bulan terakhir ini tak jua membuatku merasa lebih baik. Apa benar, fakta kemosalakianku ini sudah menjadi takdirku yang suram. Bahkan wewangian cendana tak lagi semerbak waktu aku kecil. Hanya sedikit kuda sadel dan sapi ongole di kampungku. Sedang tanah kian tandus, sehingga sulit bagi mereka yang bekerja sebagai petani bisa memperoleh biaya hidup. Dan aku juga tidak percaya, betapa tradisi gemohing, yang sudah berlangsung ratusan tahun, sekarang tergantikan dengan kesenangan warga yang lebih memilih merantau ketimbang berjemur diri di sawah, melihat bagaimana kulit menggosong bersama aroma lumpur dan tahik kerbau. Inilah tanda bagaimana sektor pertanian di desaku mulai termarginalkan.

Barangkali ritual Ka Nua adalah yang terakhir dari kenangan indahku di Nenuwea. Aku bersyukur dapat menyaksikan ritual yang dihadiri sedikitnya 1.000 orang dengan menyembelih 20 kerbau dan 120 babi itu. Waktu itu, aku berumur 18 tahun. Itu berarti masa SMA-ku akan berakhir, dan siap melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. STFK Ledalero jadi pilihanku, tapi ayah menolaknya mentah-mentah. Entah apa sebabnya, tapi ayah tak mau jika aku tak segera berangkat ke Paris.

“Ema tentu sedang bercanda?” Sahutku cepat kala ayah pertama kali mengajukan tawaran kepadaku soal agenda ke Paris itu.

“Tidak Messakh! Ayah sunguh sedang tidak bercanda.” Berat dan dalam betul nada suaranya.

“Tapi ema, bagaimana mungkin, aku yang hanyalah bocah ingusan dan masih sering bermain lumpur di pematang bisa belajar di Paris?” Aku mencoba memastikan.

“Dari mana pula biaya untuk membayar semua kebutuhanku nantinya? Sedang mama hanya pengrajin tenun ikat atau sesekali ia menjadi pengajar aksara Lota Ende.”

“Kau tidak lupa dengan ayah, bukan?” Sergapnya. Mataku membesar.

“Ayahmu ini seorang mosalaki tersohor. Masa hanya membiayai nana untuk belajar di luar negeri tak mampu?” Ucapnya dengan sinis dan bangga.

“Percayalah! Semua akan baik-baik saja, na.”

“Tapi, ema?”

***
Arenes de Lutece, Paris.

Ke manakah aku bisa mencari nasi beras merah dan sayur santan berisi ikan asin? Aku benar-benar rindu akan kebiasaan ibu memberiku ngudu are (kerak nasi), simbol hasil panen untuk dinikmati semua yang hadir di rumah adat. Di mana pula kalau tidak di kampung, aku bisa melakukan gawi, yaitu tarian dan nyanyian bersama untuk mempererat tali persaudaraan. Tentang jungga, sayang sekali aku tidak membawanya ke Paris untuk sekedar memainkan alat musik itu di waktu musim panas tiba.

Tiga tahun sudah aku bergulat dengan manis-pahitnya Kota Cahaya ini. Sejuta wawasan tentang filsafat dan humanisme aku lahap habis-habisan di Universitas of Paris. Mengapa filsafat dan humanisme? Karena dari situ aku belajar cara-cara membina diri menjadi manusia yang sejati. Manusia yang memiliki pikiran politik lebih berbudaya dan rasa kemanusiaan yang penuh.

Bukankah aku ini orang yang beruntung bisa belajar di Perancis oleh karena ayahku seorang mosalaki tersohor? Bahkan, dalam suratnya tiga bulan yang lalu, ibu mengirim kabar bahwa ayah terpilih menjadi anggota dewan di Ngada. Namun, aku mulai bingung. Mengapa aku tak pernah bisa menabik pesan semacam itu dengan rasa bahagia yang sempurna? Justru, ada sesuatu yang ganjil serta membuat firasatku kian tak teguh dan mengambang setelah dua surat dengan isi cerita yang sama aku baca dan kusimpan baik-baik di almari kamarku.

***
“Apa benar, kamu seorang Indonesia?” Suara itu bergema dari balik tubuhku.

Segera saja aku berbalik dan langsung menyaksikan seseorang dengan matanya yang biru dan hijau tepat berdiri di hadapanku. Dadaku berdesir. Matanya dengan cepat menancap di mataku. Gelisah hati pun melonjak kegirangan.

“Ya, saya orang Indonesia,” jawabku.

“Aku suka presentasimu tentang keindahan Danau Kelimutu dan Pulau Komodo itu. Suatu saat aku pasti kesana.”

Apa benar dia sedang memuji-muji tanah-airku tercinta.

“Ahh. Terima kasih.” Aku rasa ini jawaban yang paling tepat kala aku dilanda gugup.

Siapa sangka, jantungku dibuatnya bedetak cepat dan perasaanku makin tak keruan setiap kali aku menghantam ranjang di waktu malam. Aku takjub dengan keelokan matanya dan lekukkan manis di pipinya yang mempesona bak melati putih. Bahkan, aroma tubuhnya yang magis masih saja kentara di otakku, dan mungkin akan selalu membekas di jiwaku.

Ia bernama Adaline, seorang mahasiswi Faculte de Medecine de Paris Descartes. Informasi ini aku dapat dari Mas Harimurti, seorang penerima beasiswa dari Lampung. Beliaulah sahabat pertamaku di Perancis. Dan bersama beliaulah, aku dikenalkan cara berkelana di kotanya para sastrawan dunia.

***
Rue du Val de Grace.

Di suatu senja yang teduh, mendadak dari balik jendela yang agak berdebu, kulihat seorang pekerja pos tengah memasukkan amplop cokelat ke dalam kotak pos rumah sewaku. Tanpa pikir panjang, aku berlari dan tanpa sadar menabrak buku dan jurnal yang berserakan. Aku yakin itu surat dari mama.

Haaa… Mengapa tidak dari mama? Ada gerangan apa Paman Hendrick Palli mengirimi surat ini. Aku membuka amplop bewarna cokelat itu. Secarik kertas berserta dengan remahan kayu cendana di dalamnya, mengingatkanku pada aroma khas tanah Flores.

Di bagian awal tertulis, Messakh keponakan paman yang super cerdas, paman harap kamu memiliki kebesaran jiwa.

Awalnya aku terkekeh, tapi kemudian aku mulai takut dan kalut.

Ini soal ayah dan mamamu, Messakh. Ayahmu itu sekarang sudah terdakwa dalam kasus penyelewengan Anggaran Pembiayaan Belanja Daerah Ngada. Peristiwa menggetarkan ini kabarnya baru terungkap selepas shalat maghrib di akhir bulan Mei lalu. Tentang mamamu, paman tidak menyangka betapa mamamu itu ternyata sudah mengidap penyakit kanker payudara stadium III, sejak kepergianmu ke Paris. Tapi, mamamu menolak untuk di boyong ke Bali demi sebuah perawatan yang lebih intensif. Ia tak ingin bilamana ketika kamu kembali ke Nenuwea akhir tahun ini, ia tak ada di rumah. Maaf, jika paman baru memberi tahu kabar ini. Paman hanya menunaikan janji kepada mamamu untuk tidak terburu-buru menyampaikan pesan ini.

Hendrick Palli.

Air mataku mulai mendidih. Ada amarah yang bergelayut di mataku, aku hanya bisa diam dan mematung. Bersamaan dengan daun yang berguguran, jiwaku pun ikut terhempas angin sore dan sekujur tubuhku jadi lemas. Aku ingin pulang.

***
Sungai Aesesa cukup tenang pagi ini, mengingatkanku pada melati putih yang pernah kujumpai sewaktu aku di Paris. Mama pasti tahu betapa hatiku berbunga-bunga menantikan kelanjutan ceritaku yang lalu. Mama memang sudah tak ada di sisiku, tapi dengan kain tenun beraroma cendana yang mama buat selama aku di Paris, setidaknya bisa membantuku menerawang bagaimana rekam jejak kisah-kasih hidup mama sewaktu aku tak di sisinya.

Nenuwea pun masih sejuk menyambutku setiap pagi, tapi rasa geramku pada ayah tak jua reda. Kekecewaanku masih membekas.

***
“Mama, aku takut jika kemunduran Nenuwea akibat dari jabatan mosalaki yang tengah kuemban ini. Apa benar masyarakat Nenuwea masih dilanda kekhawatiran yang mendalam akan kehadiranku di tengah-tengah mereka, mengingat ayah seorang yang tak setia, sementara aku sudah lama tidak berkelindan dengan tanah Nenuwea yang kucinta ini?” Mama tak menjawab, tapi pusaranya selalu siap memeluk derai air mataku.

“Kamu harus berdamai dengan dirimu. Pikiranmu juga harus sia (terang) dan mbara (putih). Kami rasa, itu cukup bagimu.”

Aku terkesiap, untuk kemudian berbalik badan.

“Paman Hendrick, Almo, Monang, Lukas?”“

Ya, kami ini sahabatmu, dan kami akan selalu menerimamu sebagai saudara,” tegas Monang, rekanku sejak SD, dengan wibawa.

“Tapi, aku ini anak seorang mosa kadakipesa.”

“Jangan takut saudaraku. Kamu tetap berbeda! Kami yakin, kamu pasti bisa merawat tanah Nenuwea. Bukan karena kemosalakianmu, tapi karena kamu mampu dan pantas,” timpal Almo memberiku energi baru.

Kami pun berjalan bersama menuju rumahku seraya menyusuri asrinya jajaran cendana muda di tepi jalan yang menanjak dan lembab. Tiba-tiba, hp-ku bergetar. Muncul notifikasi yang bertuliskan “Halo Messakh, ini aku sedang di Danau Kelimutu.”

Ahh. Dia Adalineku.

gemohing:
kelompok tani, dilakukan sambil berbalas pantun, bersyair dan menebak sesuatu yang tersembunyi di balik kata-kata.

ka-daki pesa:
Pemimpin yang hanya berpikir pada kesenangan makan (ka) dan pesta pora(pesa)

Beda Holy Septianno

HIDUP N0.08 2019, 24 Februari 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini