HIDUPKATOLIK.com – Pada masa-masa kampanye hingga Pemilu, kita disuguhi pencitraan calon-calon pemimpin negeri. Dalam KBBI, salah satu makna dari kata citra adalah ‘gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk.’ Seperti halnya sebuah produk yang dipasarkan, para calon mencitrakan diri agar dibeli atau dipilih. Namun, seperti halnya membeli barang, kita tahu ada kalanya kita tertipu oleh bungkus sementara isinya tak sesuai dengan citra yang ditampilkan. Mengingat ada begitu banyak calon yang tidak kita kenal, bisa jadi kita seperti memilih kucing dalam karung, serba tidak tahu dan hanya meraba-raba saja. Kita tidak ingin tertipu, kita perlu mengamatamati dengan lebih serius.
Ada dua macam pencitraan. Pertama, menunjukkan diri sebagai pribadi yang baik, yang kedua, menunjukkan keburukan-keburukan pihak lain. Dalam hal inilah lalu muncul kerentanan masa-masa politik. Munculnya berita palsu (hoax) menjadi salah satu bukti nyata. Hoax ini menjadi sangat mungkin di dalam masyarakat yang tidak terliterasi (memahami masalah) dengan baik. Pilihan bukan berdasar pada pilihan bijak, tetapi karena hasutan-hasutan. Hal macam ini sekarang mulai marak di media-media sosial.
Di dalam kesadaran kita sebagai bangsa, kita bisa menangkal hoax melalui kesadaran konteks. Kita menyadari adanya berbagai macam masalah negeri kita. Saya menyebut dua saja di antaranya yaitu masalah ancaman disintegrasi dan masalah mentalitas. Kedua hal ini dibahas di dalam debat pertama calon presiden dan wakil presiden Indonesia dalam tema tentang terorisme dan korupsi.
Terorisme menjadi salah satu bentuk usaha disintegrasi. Alasannya karena ada orang-orang yang tidak lagi sejalan dengan misi bangsa ini. Sementara bangsa ini berjuang untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indoensia dan untuk memajukan kesejahteraan umum (Pembukaan UUD 1945), ada sebagian orang yang merusak kesatuan negeri ini. Alih-alih berjuang bersama yang lain membawa kebaikan, mereka berusaha memecah belah negeri ini.
Korupsi menjadi salah satu hal yang paling merusak di negeri ini. Tentu bukan masalah jumlahnya berapa, tetapi ini masalah mentalitas. Orang yang memiliki akses untuk keuangan bagi kebaikan banyak orang, malahan menjadi pihak yang mengambil sebanyak mungkin untuk dirinya sendiri. Tentu miris rasanya kalau mendengar orang korupsi sekian banyak, sementara ada anggota masyarakat kita yang tidak bisa mengakses akses kesehatan dan pendidikan.
Membaca masalah-masalah negeri ini, bisa menjadi salah satu sarana bagi kita untuk melihat dengan lebih jeli calon-calon. Baik pula ada pembelajaran tentang calon yang bisa membantu orang untuk mempertimbangkan secara teliti tentang mana yang sebaiknya dipilih. Sudah bukan waktunya memilih pemimpin seperti halnya menonton sinetron yang menempatkan orang pada tempat yang sama sekali baik atau sama sekali buruk.
Tentu setiap calon ada baiknya dan ada buruknya. Tentang hal ini, Prof. Franz-Magnis Suseno, SJ pernah mengatakan, “Pemilu bukanlah untuk memilih yang terbaik, tetapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa.” Senada Yesus bersabda, “Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati” (Mat 10:16). Kecerdikan menjadi senjata ampuh bagi kita menghadapi dunia ini. Maka, menjadi panggilan untuk kaum beriman yang memahami dunia politik untuk membantu masyarakat memahami konteks politik yang ada. Jumlah orang Katolik memang tidak banyak, tetapi pemilu kita menghitung setiap suara dengan nilai yang sama. Maka, satu suara begitu bermakna.
Pemilu kali ini sangat menentukan bagi bangsa kita. Mari jadikan masa-masa kampanye sebagai saat pembelajaran. Masa depan negeri ini ada di tangan kita. Maka, jangan sampai kita menyia-nyiakan kesempatan membawa kebaikan bagi negeri ini. Kita tidak memilih berdasarkan pencitraan, tetapi berdasarkan pilihan bijak demi tegaknya kebaikan bagi seluruh rakyat Indonesia.
M. Joko Lelono
HIDUP NO.08 2019, 24 Februari 2019