KH. Nasaruddin Umar : Kiblat Toleransi Imam Besar Istiqlal

1018
Menerima cenderamata dari Uskup Agung Jakarta Mgr. Ignatius Suharyo (kanan).
[NN/Dok.HIDUP]

HIDUPKATOLIK.com – Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Jakarta harus memancarkan pencerahan kepada semua pihak, apapun mazhab atau akidahnya.

Banyak orang resah ketika Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin melantik KH Nasaruddin Umar sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal periode 2015-2020. Penunjukan Nasaruddin sepertinya sesuai harapan Menag. Masjid Istiqlal sebagai benteng umat Islam dari pengaruh budaya asing yang bertentangan dengan agama dan ideologi Pancasila.

Meski Lukman percaya bahwa Nasaruddin bisa mengemban tugas ini, tetapi banyak kalangan Muslim puritan menolak kehadirannya.

Paru-paru Toleransi
Kehadiran Nasaruddin kerap diidentikan dengan tokoh liberalis. Persoalannya jadi ramai bukan soal keislamannya tetapi kebijakannya. Nasaruddin selalu disudutkan dengan isu dirinya penyanjung Anand Krishna, humanis spiritual, budayawan, dan penulis buku. Tak tanggung-tanggung, kelahiran Ujung-Bone, 23 Juni 1959 ini pernah memberi kata pengantar dalam buku Anand.

Sakit hati sebagian umat Islam ini karena mereka menganggap Nasaruddin “perusak” aqidah (iman) umat Muslim.

Terhadap semua prasangka ini, Nasaruddin tak tinggal diam. Ia dengan tegas menyatakan dirinya bukan pentolan aliran tersebut, apalagi perusak aqidah Islam. Maka sejak diangkat sebagai Imam Besar, Nasaruddin bernazar untuk menjadikan Istiqlal sebagai pusat pembinaan umat dan generasi muda dengan nilai-nilai Islam dan dakwah secara komprehensif.

Atmosfir masjid sebagai pusat ibadah dan kebudayaan Islam, menurut Nasaruddin, bertujuan untuk memancarkan Tauhid (konsep Keesaan Allah), ukhuwah (setiap Muslim adalah saudara), dan pancaran wajah kedamaian Islam yang bersahabat. “Masjid menjadi ikon umat Islam yang rahmatan lil alamin (agama pembawa damai),” tegas Nasaruddin.

Pria tiga anak ini selalu berpegang pada visi ukhuwah yaitu tetap menyimbolkan negara dengan ciri keislaman moderat, bercorak rahmatan lil alamin. Istiqlal juga harus menjadi lambang persatuan dan kesatuan umat Islam, simbol pemersatu umat Islam dari berbagai mahzab. “Tetapi paling penting adalah Istiqlal dan Katedral harus menjadi simbol toleransi. Dua tempat ibadah ini harus menjadi paru-paru spiritual di Indonesia,” ujarnya.

Berbicara soal toleransi, Nasaruddin memang beberapa kali mengecam isu terkait dirinya sebagai pendukung penista agama. Ia mengatakan ingin mengembalikan Istiqlal sebagaimana fungsinya. Karena itu Nasaruddin melarang politik praktis di area Istiqlal. Saat demo, dirinya paling di depan melarang orang bershawalat di dalam kompleks Istiqlal. Selain itu, tidak ada pemasangan spanduk demo di pagar Istiqlal. “Saya ingin Istiqlal itu bersih dari politik. Siapapun bisa shalat di sini tetapi tidak untuk berpolitik,” tegasnya.

Nasaruddin mengatakan dirinya merasa nyaman dengan ikon perdamaian di Indonesia yang terwujud dalam Katedral dan Istiqlal. Toleransi lewat parkiran sudah dimulai bertahun-tahun lamanya. Setiap kali hari raya keagamaan Katolik, Nasaruddin meminta agar parkiran di Istiqlal dibuka untuk umat Katolik. Begitu sebaliknya saat Idul Fitri, umat Muslim bisa parkir di Katedral.

Selain itu, baginya para tokoh-tokoh agama Katolik adalah saudara. Ia menceritakan kedekatannya dengan beberapa pastor yang juga menjadi teman saat studi di Kanada dan Amerika Serikat. “Saya mengenal baik Pastor Andang. Dia teman saya dan kami saling mengenal,” ujar Nasaruddin merujuk Pastor Alexius Andang Binawan SJ, Vikaris Episkopal Keuskupan Agung Jakarta (KAJ).

Nasaruddin menjelaskan toleransi itu bisa terjadi karena ada para ulama dan tokoh-tokoh agama yang giat menyeruhkan ukhuwah. Ketika menjadi Imam Besar, Nasaruddin menitipkan pesan kepada ulama agar mampu menyejukkan hati umat. Dirinya tak takut melayangkan kritik secara terang-terangan kepada para ulama bahwa menjadi ulama jangan gemuk tapi tak produktif.

Kritikannya ini beberapa kali membuat kelompok Islam radikal kebakaran jenggot. Ia juga pernah berbicara dalam sebuah tausiyah (dakwah) bahwa di era reformasi saat ini, semua teologi, aliran, dan mazhab bebas untuk hidup di republik ini. Namun perlu diwaspadai agar teologi radikal yang mengancam NKRI tidak berkembang. Karena mustahil muncul larangan tidak boleh berhormat kepada bendera Merah Putih, tidak boleh memperingati Hari Kemerdekaan, dan sebagainya.” Seperti apa wajah NRKI tanpa iman?” tantang Nasaruddin.

Nasaruddin dalam setiap tausiyah-nya selalu menyebut sesama agama sebagai saudara. Ia selalu menekankan aspek titik temu, bukan aspek perbedaan. Dalam Islam harusnya tidak ada predikat “orang lain” kepada orang lain. Universalitas Islam dapat diterapkan dalam relasi jumpa sapa dengan orang lain. Wawasan multikultural harus melindungi setiap orang baik minoritas di Indonesia.

Ia sangat yakin bahwa mengacak-acak pluralisme berarti mengacak tulisan kasih yang telah dirajuk sejak lama oleh founding fathers. Dirinya setuju bahwa tugas maha besar dari generasi zaman ini adalah mewariskan toleransi kepada generasi mendatang. Toleransi bukan berarti kurangnya komitmen seseorang pada kepercayaannya. “Maka jangan menjadi manusia homogen dan gagap pluralisme,” ajak Nasaruddin.

Tolak Radikalisme
Keramahannya sebagai orang Islam Nusantara diakui terbangun sejak mengenyam pendidikan di Eropa. Lewat karya-karya ilmiahnya, Nasaruddin ingin menyapa setiap minoritas juga mayoritas agar menjaga palu perdamaian. Bukan saja toleransi tetapi kesetaraan gender, martabat manusia, bahkan menolak poligami, tak lepas dari buah pikirnya.

Nasaruddin menceritakan bahwa perjumpaannya dengan dunia Eropa membuatnya semakin yakin akan nilai toleransi. “Saya pernah studi di Kanada, Belanda, dan Paris. Saya bertemu banyak orang-orang Kristen yang baik. Mereka membantu saya tanpa bertanya agama saya apa. Orang Kristen itu bak malaikat tak bersayap di saat studiku,” kisahnya.

Ia menceritakan pengalamannya sewaktu menjadi visiting student di Mc Gill University Canada. Sebagai orang baru, ia pernah menempuh perjalanan dengan mobil sekitar sejam untuk bertemu dosennya. Tetapi karena memiliki uang yang terbatas maka ia memilih berjalan kaki. Di tengah jalan ia berjumpa dengan seorang petani Kristen yang kemudian memberinya tumpangan. “Meski dia tahu saya seorang Muslim, dia tidak bertanya dan curiga kepada saya. Dia memanggilku saudara. Toleransi itu tidak menggenal sekat-sekat,” tegas Nasaruddin.

Ia sepaham dengan para teolog moderat bahwa agama itu menjadi istimewa bila tercermin dalam perilaku kepada sesama. Semua orang bisa memilih agama apapun, tetapi tidak semua bisa menampilkan wajah damai, kasih, harmonis, sebagaimana yang diajarkan agama-agama di dunia. “Bersaudara itu nilainya mahal. Hanya ada satu cara agar tidak membayar mahal yaitu membuka hati bagi orang lain,” pungkasnya.

Nasaruddin juga mengakui bahwa dekat dengan tokoh-tokoh agama Kristen bukan sebuah perkara yang didasarkan pada pola kafir atau nonkafir. Karena dalam perjumpaan itu, ada bahasa kasih yang menyejukan. Ia bahkan memuji ajaran kasih yang ditawarkan Yesus di kayu salib. Maka ketika orang berbuat salah dalam Kristen, Nasaruddin tidak menyoal agamanya tetapi kadar iman orang tersebut.

Akhir-akhir ini bangsa ini sporadis. Ada yang punya ambisi untuk menjadikan masyarakat konservatif dan puritan yang menamakan diri kelompok pemurnian. Ada juga kelompok yang berusaha mengaktualisasikan nilai-nilai Islam dalam masyarakat moderen di tengah arus globalisasi. Ada juga yang lebih progres yaitu kelompok liberal.

Nasaruddin berharap Indonesia secara umum yang diwujudkan dalam ikon toleransi Gereja Katedral dan Masjid Istiqlal menjadi kiblat peradaban toleransi dunia Islam-Kristen. Perjumpaan nilai-nilai spiritual lintas agama ini diharapkan dapat memperkaya budaya lokal. Dari dua tempat bersejarah ini juga bisa lahir gagasan-gagasan produktif. “Istiqlal dan Katedral harus memancarkan pencerahan kepada semua pihak, apapun mazhab, atau akidahnya,” ujar Nasaruddin.

KH. Nasaruddin Umar

Lahir : Ujung-Bone, 23 Juni 1959
Isteri : Helmi Halimatul Udhma
Anak : Andi Nizar Nasaruddin Umar, Andi Rizal Nasaruddin Umar dan Cantik Najda Nasaruddin Umar

Pendidikan :
• S1 Fakultas Syari’ah IAIN Alauddin Ujung Pandang, 1984
• S2 di IAIN syarif Hidayatullah Jakarta, 1990-1992.
• S3 IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1993-1998.
• Visiting Student di Mc Gill University Kanada, 1993-1994
• Visiting Student di Leiden University Belanda, 1994/1995
• Mengikuti Sandwich Program di Paris University Perancis, 1995
• Dirjen pada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI
• Wakil Menteri Agama, 2011-2014

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP NO.08 2019, 24 Februari 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini