Babak Baru yang Bertahan Lama

173
Paus Fransiskus menyapa umat jelang Perayaan Ekaristi di Stadion Zayed Sports City di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, 5/2.
[humanfraternitymeeting.com]

HIDUPKATOLIK.com – Resonansi dari kunjungan Bapa Suci ke UEA akan berdentang terus selama bertahun-tahun ke depan.

Dalam 2000 tahun eksistensi Gereja Katolik, kunjungan Paus Fransiskus ke Abu Dhabi menandai kunjungan pertama seorang Paus ke Semenanjung Arab. Ini benar-benar hari yang penting, bukan hanya untuk satu juta umat Katolik di Uni Emirat Arab (UEA), tetapi akan diingat sebuah kenangan akan kedamaian.

Peristiwa ini belum pernah terjadi sebelumnya. Kali ini, umat Katolik di seluruh dunia menjadi saksi saat Paus Fransiskus menyiratkan damai di Jazirah Arab. Alhasil, sejak diumumkan dua bulan sebelumnya, umat Katolik di UEA seperti tak sabar menyambut hari bersejarah itu.

“Kami telah menunggu dengan napas tertahan, untuk melihat hari yang penting ini. Sejak pengumuman dua bulan lalu, saya sangat bersukacita menyambut Anda, Yang Mulia Paus Fransiskus,” demikian kata Vikaris Apostolik Arab Selatan, Mgr Paul Hinder OFM Cap.

Bebas Beribadah
Angin perubahan berhembus di Abu Dhabi pada tahun 1960-an. Minyak telah ditemukan dua tahun sebelumnya. Pelbagai perusahaan eksplorasi minyak mulai memasuki Abu Dhabi bersama tenaga kerja dari banyak negara. Dari bilangan ini, termasuk orang Kristen, yang tidak hanya dari Barat, pun ikut masuk ke daerah ini.

Sudah sejak berabad-abad, Semenanjung Arab adalah tempat di mana Islam telah menang atas Agama Kristen. Namun, sejak awal itu pula, para pendatang baru ini diberi kebebasan untuk beribadah.

Pada tahun-tahun itu juga, Misa pertama di negeri ini terjadi di sebuah rumah pribadi di Abu Dhabi. Pada saat itu, seorang pastor datang berkunjung dari Bahrain. Pada masa-masa itu, umat Katolik yang tersebar di berbagai wilayah, dilayani oleh imam dari Bahrain. Pada tahun-tahun berikutnya, Misa mulai diadakan di Pulau Das dan kamp eksplorasi minyak di Tarif, seiring meningkatnya jumlah pekerja yang tiba di sana.

Dengan bertambahnya umat, maka tempat ibadah yang lebih permanen pun dibutuhkan. Syiekh Shakhbut bin Sultan Al Nahyan, penguasa Abu Dhabi kala itu, setuju menyumbangkan tanah untuk pembangunan sebuah gereja. Pada 1965, Gereja St Yosef dibuka di Corniche. Ketika itu, para pemimpin masyarakat yang beragama Islam menghadiri upacara pembukaan gereja pertama ini. Gereja terus berkembang di Abu Dhabi bahkan saat Syiekh Zayed bin Sultan Al Nahyan menjadi penguasa pada tahun 1966.

Saat UEA terbentuk pada 1971 di mana saat itu enam negara bagian sepakat untuk membentuk sebuah pemerintahan, yaitu Abu Dhabi, Ajman, Fujairah, Sharjah, Dubai, dan Umm al-Qaiwain. Setelah pemerintahan terbentuk, Syiekh Zayed pun terpilih menjadi presiden. Hanya selang setahun, Ras al-Khaimah bergabung menyertai keenam “saudaranya” itu.

Langkah Gereja
Sepanjang tahun 1970-an ini merupakan masa penting bagi Gereja Katolik. Salah satu tonggak penting, Vatikan akhirnya memindahkan pusat Gereja Katolik di Arab Selatan dari Aden, Yaman ke Abu Dhabi.

Pemindahan ini rasanya berpengaruh positif. Salah satu tandanya adalah pertambahan umat di Gereja St Yosef. Saat itu, dirasakan bahwa gereja yang ada tidak dapat lagi menampung umat yang terus bertambah. Sayang, di tempat ini gereja tidak dapat lagi diperluas. Maka, Syekh Zayed lalu menyumbangkan tanah di lingkungan Mushrif. Gereja di Corniche pun ditutup pada tahun 1983 dan Gereja St Yosef yang baru dibuka di Mushrif. Gereja ini kini menjadi Katedral bagi Vikariat Apostolik Abu Dhabi.

Kisah kerukunan ini tidak terbatas di Abu Dhabi. Syiekh Rashid bin Saeed Al Maktoum, pemimpin Dubai, juga memberikan tanah untuk sebuah gereja Katolik di Bur Dubai. Hingga pada tahun 1967, diberkati Gereja St Maria Assumpta. Syekh Rashid bahkan menghadiri pemberkatan gereja itu.

Seiring waktu, Dubai menjadi pusat perdagangan penting, jumlah umat Katolik pun mulai membengkak. Gereja St Maria Assumpta ini dihancurkan dan dibuat sebuah gereja yang lebih besar yang dibuka pada akhir tahun 1980-an.

Umat Katolik di daerah yang lebih terpencil tidak juga diabaikan. Kepala Paroki St Mikael Sharjah, Pastor Attilio Franceschetti setia mengadakan ibadat di rumah-rumah umat di pantai timur UEA itu selama tahun 1970-an. Ia harus melakukan perjalanan yang sulit ke seluruh UEA di kala jumlah lampu jalan masih minim dan hewan berkeliaran melintasi jalan.

Kini, umat Katolik di UEA tergabung dalam Vikariat Apostolik Arab Selatan. Selain UEA, wilayah Gerejawi ini juga meliputi Oman dan Yaman. Di UEA umat Katolik bebas beribadah tanpa rasa takut. Meski UEA didominasi Muslim, pemerintah memiliki kebijakan toleransi terhadap agama lain.

Di UEA, jumlah umat Katolik saat ini adalah sekitar 10 persen dari total populasi. Sebagian besar mereka adalah pekerja asing, kebanyakan dari India dan Filipina. Kini sekitar 100 imam melayani lebih dari dua juta umat Katolik di Semenanjung Arab, seperti dikutip The Catholic Travel Guid, (25/1).

Setelah Fransiskus
Kunjungan Bapa Suci pada 3-5 Februari lalu adalah hasil kerja puluhan tahun oleh para imam dan umat Katolik serta pemerintah UEA. Pemerintah telah memungkinkan para imigran yang jauh dari tanah air mereka, untuk beribadah dengan damai. Ini sebagai tanda toleransi agama yang terus berlanjut hingga saat ini. “Kebebasan beragama yang kami nikmati di sini luar biasa. Semua orang dihormati, kami diberi tanah dan pemerintah sangat bagus,” kata Kepala Paroki St Paulus Mussaffah, Pastor Ani Xavier OFMCap.

Umat Katolik di Teluk Arab percaya, bahwa kunjungan Paus Fransiskus ke wilayah itu bisa menjadi simbol perdamaian dan toleransi yang lebih luas di Timur Tengah.Bagi sebagian orang, kunjungan ini merupakan konfirmasi iman mereka dan kesempatan untuk menegaskan kembali warisan Katolik.

Seorang penduduk Dubai, Princess mengaku, ia tidak pernah mengalami kesulitan menjadi orang Katolik di Dubai. Hal serupa disampaikan oleh Al Sheikh, yang rumah leluhurnya di Mosul, Irak, hancur oleh pendudukan Daesh empat tahun silam. Kedua anak Al Sheikh, Gabriel dan Sam, lahir dan dibaptis di UEA. “Gabriel akan menerima Komuni Pertama akhir tahun ini,” kisah Al Sheikh.

Daisy Dacosta juga sudah lima tahun pindah dari India ke UEA. Awalnya, ia berpikir akan merasa sulit sebagai seorang Katolik di negara Muslim. Namun, ia justru menemukan banyak kesempatan untuk beribadah. “Ini benar-benar hal yang baik, ada Misa setiap hari, dan Anda dapat memilih yang sesuai dengan jadwal Anda,” katanya seperti dikutip Arab News, (28/1).

Kehadiran Sri Paus memberikan kebanggaan pastoral yang luar biasa bagi umat di UEA. Mgr Hinder mengatakan, Di Abu Dhabi, Gereja Katolik pertama kali muncul dan kini telah ada sembilan gereja. Ia menilai, pantas apabila Paus, sebagai salah satu pendukung toleransi dan perdamaian yang paling dihargai di dunia, akhirnya menginjakkan kaki di negara itu. Telah lama, UEA memperjuangkan dan mempertahankan nilai-nilai toleransi ini.

Mgr Hinder berharap, pertemuan ini mengarah pada perubahan paradigma, tidak hanya dalam hubungan antara Kristen dan Muslim, tetapi dalam pikiran orang-orang di seluruh dunia. Peristiwa ini, menurutnyaakan dikenang semua orang saat mereka berbicara tentang kebebasan beragama dan penerimaan keyakinan satu sama lain.

Ada pemahaman mendalam di antara orang Kristen dan Islam, yaitu bahwa kehidupan manusia harus dilindungi. Selain itu, lanjut Mgr Hinder, keduanya juga percaya bahwa, kehidupan keluarga harus dipupuk, kemiskinan diatasi, serta keadilan dan perdamaian menjadi perhatian utama dari setiap aksi politik. “Saya dapat menjamin – dan saya pikir saya juga berbicara atas nama Gereja-Gereja Kristen lainnya – bahwa kita bersedia mengambil bagian dalam membangun masyarakat yang adil dan damai,” ujar uskup berkebangsaan Swis itu seperti dikutip The National, (27/1).

Hermina Wulohering

HIDUP NO.08 2019, 24 Februari 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini