Menyusun Langkah Dialog

268
[vaticannews.va]

HIDUPKATOLIK.com – Kunjungan Paus ditandai dengan krisis kemanusian, terlebih di Timur Tengah, yang ditandai dengan pengungsian dan perang. Ke mana saja ia pergi, ia menyerukan damai.

Paus menggambarkan kunjungannya ke Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, atas undangan Sheikh Mohammed bin Zayed Al Nahyan, Putra Mahkota, sebagai suatu langkah bagi dialog. Dialog tersebut tidak saja berupa dialog agama namun pula dialog perdamaian, dan terlebih dialog kemanusiaan. Memang teologi dialog agama bagi Gereja Katolik berangkat dari kesadaran akan kesatuan sebagai keluarga besar umat manusia, di hadapan Allah Pencipta.

Tidak mengherankanlah kalau kunjungan tersebut ditandai dengan penandatanganan dokumen Persaudaraan Umat Manusia (Human Fraternity). Dokumen tersebut ditandatangani Paus bersama Imam besar Al-Azhar, Sheikh Ahmed al-Tayeb, mengingatkan akan panggilan semua umat manusia untuk menjalin persaudaraan dan perdamaian, karenanya sebagai sesama anak-anak Allah menolak kekerasan, apalagi kekerasan yang mengatasnamakan Allah ataupun agama.

Kunjungan yang berlangsung 3-5 Februari 2019 kemarin ditempatkan dalam konteks 800 tahun kunjungan Santo Fransiskus Asisi ke Mesir, menemui Sultan Al-Malik al-Kamil. Paus sendiri mengakui bahwa dia sering memohon doa lewat perantaraan Santo Fransiskus Asisi agar dapat senantiasa menghidupi Injil dan kasih Kristus, sebagaimana diteladankan oleh orang suci yang namanya dipakai sebagai nama jabatan Pausnya.

Dialog, Jalan Hidup Gereja
Paus Paulus VI di tengah-tengah Konsili Vatikan II, dalam ensiklik pertamanya Ecclesiam Suam (1964), menggambarkan dialog merupakan jalan hidup Gereja dewasa ini. Paus Yohanes Paulus II sangat menghidupi hal itu, bahkan berulangkali menegaskannya. Hal tersebut merupakan pewujudan dari semangat Vatikan II. Tidak mengherankanlah kalau Paus Fransiskus menegaskan bahwa dokumen tentang persaudaraan umat manusia itu selaras dengan teologi Vatikan II. Paus menekankan hal ini karena di sementara kalangan Katolik sendiri cukup kuat keberatan akan gerakan dialog, bahkan dokumen yang ditandatangani itu dipandang sementara kalangan Katolik dianggap mengingkari identitas misioner Gereja. Keberatan tersebut tidak mempelajari sungguh visi Vatikan II, dan lupa bahwa bagi Yohanes Paulus II, dialog antar agama adalah pula misi Gereja. Iman akan Allah itu mempersatu, bukan memisahkan, demikian Paus dalam pesan video sebelum kunjungan ke Emirat.

Fransiskus menapaki jalan yang telah ditapaki Yohanes Paulus II. Dia belajar bahwa dialog bisa terhambat, bahkan terhenti, kalau ada sikap ataupun perkataan yang kurang tepat. Gereja mengalami itu setelah pidato Paus Benediktus XVI di Regensburg (2006) dan ketika pemerintah Mesir menarik duta besarnya di Vatikan dan Al-Azhar memutuskan menghentikan dialog dengan Vatikan karena tersinggung oleh komentar Paus atas kekerasan atas umat Kristiani di Mesir (2011). Maka Paus Fransikus pun menyebut penandatanganan dokumen tersebut merupakan suatu lembaran baru, suatu langkah awal lagi. Dialog memang membutuhkan proses, seringkali tidak segera hasilnya diperoleh.

Proses tersebut haruslah dari kedua belah pihak. Dua tahun setelah pidato Benediktus XVI di Regensburg muncul surat dari lebih 100 ulama Muslim, “A Common Word”, dengan pendasaran akan kepercayaan akan Keesaan Allah serta panggilan iman akan cinta kasih. Surat tersebut lebih merupakan ajakan untuk menjalin kebersamaan dalam proses bersama. Paus menatapaki proses tersebut. Telah 5 kali dia bertemu dengan imam besar Al-Azhar, Sheikh Ahmad al-Tayeb, baik di Kairo maupun di Roma. Keduanya telah menjalin persahabatan, maka kemudian menjadi lebih mudah untuk bertemu, bercakap dan membangun kesepahaman. Jangan pertama-tama mengkritik, tapi bangun dulu kesalingpercayaan. Dialog bagi Fransiskus membutuhkan lebih daripada sekadar toleransi, diharapkan dialog mengajak kita keluar, menjumpai sesama untuk membangun saling percaya dan saling pengertian sehingga kesatuan di tengah perbedaan tidak dipandang sebagai ancaman, melainkan sumber daya untuk memperkaya dan bertumbuh. Demikian dikatakannya saat berkunjung ke Bangladesh (2017).

Tidaklah mengherankan kalau Vikaris Apostolik Arabia Selatan, Paul Hinder menyebut stategi dialog Paus Fransiskus berjalan baik. Banyak umat Islam pun terkesan oleh Paus, demikian pula di Uni Emirat Arab, sehingga mereka antusias menyambut kunjungan itu. Paus mengajak kita semua untuk memandang dan menerima sesama yang berbeda sebagai sesama umat manusia, yang mendambakan kedamaian dan harmoni. Kita mau membangun masa depan, dan itu dengan jalan perjumpaan dan dialog, tanpa itu tak ada masa depan sama sekali, demikian keyakinan Paus.

Krisis Kemanusiaan
Kunjungan Paus ditandai dengan krisis kemanusian, terlebih di Timur Tengah, yang ditandai dengan pengungsian dan perang. Siang hari sebelum terbang ke Abu Dhabi, Fransiskus bicara tentang krisis kemanusiaan di Yaman, di mana Uni Emirat Arab itu terlibat di sana dalam koalisi Arab. Saat kunjungan itu, dia juga menyinggung hal itu, dan melihat ada perspektif baru dari kalangan pemimpin Emirat untuk mencari jalan keluar dari konflik parah di Yaman. Persoalan pengungsi memang tidak sangat disebut. Akan tetapi Fransiskus menemukan wajah Gereja migran, Gereja kaum pekerja di Uni Emirat Arab. Agama-agama harus menolak kekerasan, kebencian, ekstremisme, dan kekerasan. Demikian salah satu bunyi dokumen yang ditandatangani. Allah tidak perlu dibela. Agama tidak pernah bisa membenarkan kekerasan dan ujaran kebencian.

Di tengah kawasan, di mana senjata bermain peran besar, Paus bicara tentang kelembutan hati, istilah yang dipakainya “demiliterizing heart”. Maka dalam homili saat Misa di lapangan terbuka, dihadiri sekitar 140.000 umat, termasuk 4000 warga Uni Emirat Arab, termasuk beberapa pejabat, Paus bicara tentang Sabda Bahagia, sebagai tanda dan panggilan kesucian dewasa ini. Logika senjata dan relasi yang berdasar pada uang, ataupun membangun tembok pemisah perlu dihindarkan. Hal itu diperlukan untuk membangun persaudaraan.

Menghargai hak setiap pribadi manusia mendapatkan penekanan darinya. Semua pribadi sama di hadapan Allah. Maka dia bicara pula tentang kesetaraan dan kewargaan. Hal itu dikatakannya dalam kenyataan di Emirat ada sekitar 1 juta umat Katolik dari berbagai bangsa. Walaupun kebebasan beribadah relatif dijamin, namun masih banyak pembatasan dialami. Sebagai sesama umat manusia, dalam persaudaraan, tak ada “orang luar”. Baginya dua hal penting perlu diupayakan: pendidikan dan keadilan, yang keduanya dipandangnya sebagai dua sayap bagi perdamaian. Di sini Paus memuji peran sekolah-sekolah Katolik di kawasan tersebut. Namun keadilan yang hanya bagi kelompok sendiri, hanyalah keadilan semu, karenanya pembelaan pada mereka yang miskin, asing dan tersingkir perlu mendapatkan perhatian pula, agar perdamaian sungguh dapat terwujud.

Fransiskus memuji Uni Emirat Arab, yang menjadikan 2019 ini sebagai tahun toleransi. Kerajaan tersebut bisa menjadi rumah bagi semua yang di sana. Namun Paus mengajak untuk melangkah lebih lanjut lagi, bukan sekadar toleransi belaka, yakni pembelaan akan hak asasi, pun hak kebebasan beragama. Sebagai simbol akan ajakan tersebut Sheik Mohammed bin Zayed Al Nahyan kemudian mengatakan akan membangun Gereja Santo Fransiskus Asisi, sebagai penanda akan kunjungan Paus. Sheikh Ahmad al-Tayeb pun mengajak umat Islam merangkul dan menerima saudara-saudarinya umat Kristiani sebagai sesama dan sahabat sewarga. Semuanya sama di hadapan Allah.

Tanpa ada kesadaran akan kesatuan dan persaudaraan di hadapan Allah, umat beriman akan cenderung sibuk dengan dirinya sendiri, kepentingan dan ketersempitan kelompoknya sendiri. Persaudaraan sebagai sesama warga adalah prasyarat dasar agar kemanusiaan dipulihkan dan dijaga keluhuran martabatnya. Untuk itu budaya dialog dan kultur toleran perlu dikembangkan terlebih dahulu. Oleh karena itu persaudaraan umat manusia merupakan sesuatu yang amat mendasar.

Paus Fransiskus, lewat kunjungannya, menyusun satu langkah bagi persaudaraan global. Dia mengakui itu, dan langkah itu dikatakannya sebagai kejutan dari Tuhan. Semua ini adalah rahmat, maka perlu dijaga dengan doa pula, selain lewat berbagai upaya. Satu langkah telah ditapaki, satu upaya besar telah dibuat, namun perlu ada langkah-langkah lanjut agar persaudaraan umat manusia itu dapat sungguh terbangun. Kiranya Gereja-Gereja setempat dan semua komunitas umat Katolik perlu menyusun langkah-langkah selanjutnya, sembari mengiringi langkah Paus, yang bulan depan akan berkunjung ke Maroko, mengenang kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke sana di tahun 1985: langkah Fransiskus Assisi dilanjutkan lagi oleh Paus Fransiskus.

T. Krispurwana Cahyadi SJ, Direktur Pusat Spiritualitas Girisonta

HIDUP NO.08 2019, 24 Februari 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini