HIDUPKATOLIK.com – Dalam Tubuh Mistik Kristus kita menjadi satu tidak ada tembok pemisah.
Saat berusia 19 tahun, Benedict Park Min-Seo datang dengan semangat membara kepada seorang pastor yang bertugas di Keuskupan Seoul, Korea Selatan. Benedict dengan yakin menyatakan bahwa ia ingin menjadi seorang imam. Namun, bukan sambutan yang di dapat melainkan sebuah penolakan. Keinginannya menjawab panggilan itu terhenti karena ia adalah penyandang tuna rungu dan tuna wicara.
Kemampuan pendengaran Benedict hilang akibat kesalahan resep obat yang ia terima dari seorang dokter, ketika ia berusia dua tahun. Sejak saat itu, ia harus bersahabat dengan kesunyian. Namun, ia tidak patah arang.
Setelah tujuh tahun menunggu, Benedict mendapat sebuah surat dari seorang pastor penyandang tuna rungu di Amerika Serikat. Sebelumnya, ia pernah mengirimkan sepucuk surat kepada imam itu.
Alangkah senangnya, sang imam mengatakan, bahwa Benedict bisa menjadi seorang imam. Di usianya yang ke 26, Benedict terbang ke AS. Ia menghabiskan 13 tahun untuk belajar bahasa isyarat. Ia juga memperoleh gelar master di bidang teologi. Setelah itu, ia pulang ke Korea dan ditahbiskan bersama 38 imam lain di Keuskupan Seoul pada 6 Juli 2007. Sejak saat itu ia menjadi Pastor Benedict Park Min-Seo. Ia adalah imam penyandang tuna rungu dan tuna wicara pertama di Asia.
Semangatnya terus membuncah untuk mewartakan kabar baik Kristus. Hal ini terlihat di tengah para peserta Kongres Ekaristi Internasional ke-50 yang berlangsung di Dublin, Irlandia tahun 2012. Ia menyampaikan sebuah pesan yang terinspirasi dari Kitab Markus, tentang kisah seorang tuna rungu yang disembuhkan oleh Yesus. Orang tuli itu
di bawa ke samping lalu Yesus berdoa dan mengucapkan “Efata!” yang artinya Terbukalah!.
Imam kelahiran 1965 ini menyatakan, bahwa kata ‘terbukalah’ memiliki banyak makna sebab Yesus tidak mengatakan dengan tepat apa yang harus dilakukan oleh telinganya. “Hal ini bisa berarti terbukalah pikiranmu, terbukalah telingamu, dan terbukalah hatimu”.
Pastor Benedict melanjutkan, Gereja harus mampu meruntuhkan tembok-tembok pemisah antara umat tuna rungu dan normal. Para imam bersama umat harus membuka gerbang Gereja kepada semua orang untuk mampu berbicara satu sama lain, menjadi satu tubuh di dalam Kristus.
Saat sempat melayani di Amerika latin, Pastor Benedict mengingat ada tiga orang di sana heran, karena seorang tuli dapat melayani di atas altar. Di tempat itu, orang tuli dianggap tidak memiliki kapasitas. “Saya mengatakan bahwa saya tuli dan saya bisa. Saya bisa memimpin, saya bisa menjadi pemimpin. Hal ini mengubah cara pandang mereka untuk menjadi pelayan Gereja bahwa semua orang bisa khususnya tuna rungu untuk menjadi imam atau kaum religius,” imbuhnya.
Dengan perspektif baru ini perubahan terjadi dan pemberdayaan menjadi menyebar. Pastor Benedict juga tekun membagikan Sakramen Pengurapan Orang Sakit. Suatu hari, ia memberikan Sakramen Pengurapan kepada seorang tuna rungu di rumah sakit dan seorang normal juga memintanya untuk memberikan sakramen pengurapan. Walaupun terkendala dengan komunikasi, namun ia menemukan cara agar tetap bisa melaksanakan sakramen itu dengan cara membaca buku panduan bersama.
Pastor Benedict mengingat, saat mereka berdoa bersama. Setelahnya, ia mengurapi si sakit. Dari wajah mereka, ia melihat sentuhan rohani yang menyentuh mereka. “Kami dapat bertemu dengan Yesus bersama sebab dalam sakramen itu tidak masalah siapa yang mendengar dan siapa yang tidak karena kita adalah satu tubuh di dalam Kristus,” ujarnya.
“Baik tuna rungu maupun tidak kita semua terlibat dalam Perayaan Ekaristi bersatu di dalam tubuh-Nya. Setiap dari kita memiliki masalah tetapi kita dipanggil untuk saling membantu. Kita semua adalah satu saudara, satu keluarga. Semangat inilah yang akan menguatkan umat tuna rungu bertumbuh dan menjadi kuat.”
Felicia Permata Hanggu
HIDUP NO.05 2015, 10 Februari 2019