Tiga Jam yang Menyiksa

244

HIDUPKATOLIK.com – “Frater, kamu harus rajin bekerja. Jangan hanya belajar ilmu yang tinggi saja tetapi belajarlah juga cara mencari uang. Apa artinya ilmu jika tak membuat orang makin kreatif untuk cari uang frater. Maka belajarlah untuk bekerja tangan. Supaya suatu saat nanti frater tidak menjadi romo, setidaknya punya pengalaman mencari uang. Dan jangan lupa pula untuk menjadi orang baik. Sebab, hidup memang tidak mudah, frater. Hidup ini pertarungan! Tapi kalau frater berjuang keras, Tuhan pasti kasih jalan.” Begitulah nasihat dan inti perbincanganku dengan nenek sore itu.

Sore itu udara membeku. Angin seolah-olah mau berteduh di antara kedua belahan dadaku. Kubuat tanda salib kecil di dahi sambil melepas nafasku sekencang-kencangnya.

“Oh Tuhan betapa hatiku mudah gelisah, dingin ini membuatku takut kehilangan hidup.”

Aku menerawang sebentar ke langit seolah mencari sosok Tuhan. Siapa tahu Dia ada di antara gumpalan awan putih dan langit biru itu. Ah, ngasal lo, pikirku menyalahkan diri sendiri.

Petang itu, dekat segugus bambu yang teduh aku mendengar wejangan hidup dari nenek. Wejangan tentang arti kehidupan dan bagaimana bertarung dengan hidup ini. Rasa-rasanya aku sedang dilatih untuk menjadi seorang prajurit menegakkan hidup ini. Di depan nenek aku jinak seperti anak domba yang siap dibawa ke pembantaian, tenang dan setia mengikuti alurnya.

Nenek memang suka bercerita. Apalagi tentang keluarganya, terutama tentang perjuangan suaminya. Baginya bercerita adalah cara untuk bisa kembali ke masa lalu. Itu saja! Bukan bahas tentang ekonomi, atau politik bejat di negeri sialan ini. Yang penting adalah mengingat masa lalu sebagai pangkal untuk merubah hidup.

“Ceritanya begini frater,” nenek memulai. “Tuhan itu tidak pernah menutup mata. Meski ia tak kelihatan secara fisik tetapi Ia ada. Ia selalu hadir bersama kita. Memang ada benarnya kalau dunia ini adalah jejak kaki Tuhan. Sini nenek ceritain. Nenek mau bersaksi soal kebaikan Tuhan itu.” Ia memperbaiki posisi duduknya, mengatur napasnya dengan baik.

“Waktu itu anak-anakku masih bocah. Yang bungsu baru SD. Sulung mungkin sudah SMA. Saat itu, beras di rumah habis sama sekali. Anak-anak pergi ke sekolah tidak sarapan. Selama satu bulan nenek memasak bubur saja, biar menghemat beras. Tapi hari itu memang makanan betul-betul habis. Nenek sudah pasrah, anak-anakku kuserahkan kepada Tuhan saja. Kalau memang Dia yang kuimani itu ada pasti Dia bakal tidak tinggal diam. Dia pasti memberi bantuan, entah dengan cara apa saja.”

“Selekas semuanya pergi, nenek sendirian. Nenek duduk sambil menangis menatap periuk yang terbengkalai di atas rak piring. Hati nenek berantakan. Sambil menangis, nenek membayangkan bagaimana sebentar anak-anakku pulang. Mereka makan apa? Beras habis. Uang tak ada. Apa yang harus nenek masak buat mereka? Pasti mereka sudah lapar sekali karena sejak pagi belum makan.” Nenek berhenti dan matanya mulai berkaca-kaca. Sambil menyeka air matanya, kemudian ia melanjutkan ceritanya.

“Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu, Frater. Mendengar suara itu, nenek tak membukakan pintu, hanya menyahut kecil dari dalam. Malu kalau ketahuan sedang menangis. Tapi orang itu terus memanggil dan ketukannya makin keras terdengar.”

‘Ada perlu apa?’

‘Aku mau beli bambu nek,’

‘Mau beli berapa?’

‘Sepuluh ribu,’ jawab tamu itu.

“Ketika mendengar itu, nenek terbelalak dan merasa bahagia sekali. Nenek lekas berdiri dan mau menjumpai tamu itu. Siapakah orang baik ini, hadir disaat keluargaku sedang membutuhkan uang. Sekarang hatiku bisa tenang. Mengapa? Begini Frater, uang sepuluh ribu pada tahun 70-an, nilainya cukup besar sehingga hati nenek terasa lega karena uang itu bisa membeli beras dan nanti anak-anakku bisa makan.”

“Nenek mengantar tamu itu ke tempat bambu.” Nenek tersenyum sebentar, sambil menunjuk ke arah gugusan bambu persis di samping kiriku yang berjarak dua atau tiga meter saja.

“Frater,” Nenek melanjutkan ceritanya. “Karena sangat bahagia, nenek membiarkan pembeli bambu itu mengambil sesuai kebutuhannya. Nenek bilang;

‘Nak, ini bambunya. Ambil sebanyak-banyaknya sesuai kebutuhanmu, ya.’

‘Iya nek, makasih banyak,’

‘Sama-sama, sekarang tebanglah.’”

Aku masih diam di depan nenek sambil berusaha fokus mendengarkan ceritanya karena udara sore itu membuatku mengantuk.

“Terus nek?” Aku memancing.

“Kemudian nenek kembali ke rumah dan diam-diam pergi beli beras dan ikan kering di warung. Sepanjang jalan tak henti-hentinya nenek mengucap syukur kepada Tuhan. Bahwasanya ini adalah bantuan Tuhan. Singkat cerita, sehabis beli beras, nenek bergegas pulang. Waktu itu, persis di tepi lintasan jalan, nenek mendapati sebuah amplop putih tebal tergeletak tak bertuan.”

“Hati nenek berdebar kencang. Yang ada di dalam kepala nenek waktu itu adalah uang, uang, dan uang. Seperti orang ketakutan, nenek melirik ke kiri dan ke kanan seolah mewaspadai sesuatu. Lalu kembali mengarahkan mata ke amplop yang tergeletak. Nenek menatap lama, siapa tahu ini cuma jebakan orang. Oleh karena itu nenek tidak berani mengangkat amplop itu. Setelah memastikan keamanan keadaan sekitar nenek memberanikan diri mengangkat amplop itu. Kemudian nenek selipkan ke dalam kantong beras dan bergegas.”

“Tiba di rumah dengan perasaan campur aduk antara takut dan bahagia nenek membuka amplop itu. Degupan jatungku makin kencang Frater, adrenalinku membuncah, lantaran benda yang tampak di mataku adalah setumpuk uang berwarna merah dan biru. Dengan sangat senang nenek berlari ketar-ketir menuju kebun belakang menjemput kakek yang sedang menarit rumput.”

‘Pa, aku dapat rejeki, pa. Aku dapat rejeki!!’ Sambil berlari, nenek berteriak kencang dan tangan kanan nenek tak henti-hentinya mengangkat amplop itu.

‘Ada apa, pagi-pagi udah ribut. Ada apa?’

‘Pa aku dapat rejeki,’ kataku dengan napas tersengal-sengal. ‘Ayo sekarang kita pulang nanti di rumah baru ma ceritain.’

“Aku mengiringi suamiku menuju rumah. Di pundaknya ada seikat rumput untuk tiga ekor sapi perahnya. Ya, cuma dari tiga ekor sapi itulah dia berusaha menghidupi keluarga kami Frater.” Nenek berhenti sejenak lalu menarik napas dan menghembuskan dengan kuat. Kemudian melanjutkan ceritanya.

“Frater, sehabis nenek menceritakan semua kejadian itu, begini jawaban suamiku, ‘Ma, andaikata uang ini adalah uang hasil pinjaman untuk membiayai operasi seorang pasien yang sedang dalam keadaan kritis, dan segera membutuhkan pertolongan, tegakah mama menggunakan uang ini? Kalau mama membantu kehidupan orang lain, sekarang kembalikan uang ini. Jangan jadi orang serakah!’ tandas suamiku.

“Frater, mendengar itu, nenek berpikir, kalau lelaki yang sedang berada di hadapanku ini bukanlah manusia biasa melainkan malaikat pemberian Tuhan untuk mendampingi hidupku. Nenek mau pingsan, kenapa suamiku ini punya pendapat seperti itu. Aku sungguh tak percaya kalau suamiku memberikan jawaban sesaleh itu. Hatiku meringis meski tak merasa sakit. Relakah aku mengembalikan uang ini kepada pemiliknya yang belum tentu ada. Nenek tak habis pikir, frater.”

‘Tapi Pa bukankah kita membutuhkan uang ini? Anak-anak kita tadi pagi belum makan semua. Beras habis. Uang tak ada. Lalu apa salahnya uang ini dipakai buat beli kebutuhan hidup kita. Bukankah kita membutuhkan uang ini, pak?

‘Ma orang yang kehilangan uang ini lebih membutuhkannya daripada kita. Sudahlah sekarang kembalikan uang ini kepada pemiliknya.’

“Nenek seperti keselek tulang ikan. Bagiku itu jawaban yang amat menusuk. Tenggorokan nenek seperti tercekat. Nenek tersadar kemudian. Perbincangan kami pagi itu kemudian selesai dan nenek lekas ke jalan raya untuk mengembalikan uang ini kepada pemiliknya.”

“Tiga jam nenek di tepi jalan penuh tanda tanya dan penantian. Sungguh tiga jam yang menyiksa! Lalu memutuskan untuk kembali ke rumah bersama uang itu. Tak peduli suamiku berkata apa.

‘Begini pa, uang ini kita simpan dulu, jika memang tak ada orang yang datang mencarinya, uang ini akan digunakan untuk keperluan hidup kita.’

“Suamiku diam saja. Dan kukira saat itu ia ikut bersepakat. Setelah itu, nenek langsung m enuju dapur untuk menanak beras. Nenek bersyukur karena nanti siang anak-anakku bisa makan. Mereka bisa belajar dengan baik dan istirahat dengan tenang. Di depan tungku itu nenek melihat ada harapan, sukacita mengepul naik bersama gumpalan asap dari dalam periuk.”

“Jadi begitulah hidup di dunia ini frater, indah tapi kejam. Itulah sebabnya sampai sekarang nenek tak hentinya berdoa di depan salib, Allah Yang Maha Tinggi dan Penuh Kemuliaan, terangilah kegelapan hatiku, berilah aku iman yang benar, pengharapan yang teguh, serta kasih yang sempurna. dan berilah aku perasaan yang peka dan budi yang cerah, agar aku mampu melaksanakan perintah-Mu yang kudus dan takkan menyesatkan.”

R. Fahik

HIDUP NO.05 2019, 3 Februari 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini