Kesalahan Malaikat

1939

HIDUPKATOLIK.com – Menurut 1 Kor 6:3, kita akan menghakimi malaikat. Apakah kesalahan malaikat itu? Apakah kesalahannya bisa diampuni?

Gusti Suhardi, Bandung

Dalam tradisi Gereja lama beredar kisah tentang kejatuhan malaikat. Terkenal nama akan itu adalah Lucifer. Kitab Wahyu menggambarkannya dalam suatu gambaran tentang peperangan di Surga (lih Why 12:7-9). Malaikat dikatakan dalam Konsili Lateran IV (1215) sebagai yang diciptakan baik, namun membangkang, karena kesalahannya sendiri. Paus Leo Agung kiranya yang pertama kali menyebutkan hal itu di tahun 447 dalam suratnya kepada Uskup Turribius dari Astorga, Spanyol, tentang hal itu, bahwa malaikat itu menolak kebenaran, yang adalah Allah sendiri, karenanya menjauhkan diri dari kemahakuasaan Allah.

Tradisi ajaran Gereja mengungkapkan bahwa penolakan malaikat akan Allah bersifat tetap, memang berintensi atau berkehendak untuk menolak Allah dan secara bebas memilih kejahatan, sesuatu yang tak dapat ditarik kembali. Dikatakan sebagai penolakan yang definitif. Oleh karena itu, dosa para malaikat tidak dapat diampuni. Maka hukuman kepada malaikat yang membangkang itu bukan hukuman sementara waktu, namun tetap, sehingga tak bisa dipulihkan. Tidak mengherankanlah kalau mereka yang jatuh ke dalam hukuman abadi dikatakan akan tinggal bersama para malaikat-malaikat jahat atau setan, dalam hukuman abadi.

Dosa adalah pilihan tindakan akibat dari dorongan roh jahat. Malaikat jahat terus mengintai manusia, agar ikut membangkang dari Allah, memilih mengikuti serta mengabdi ciptaan dan bukannya Pencipta, sehingga keterarahan manusia akan Allah terbelokkan. Hal itu dinyatakan oleh Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes art 13. Paulus menggambarkannya sebagai suatu peperangan, yang menuntut kita untuk senantiasa mengenakan senjata rohani (lih Ef 6:11-13). Oleh karena itu kita diminta untuk senantiasa waspada serta berjaga-jaga.

Malaikat memang sebenarnya diciptakan untuk berperan sebagai pelayan, “.. roh-roh yang melayani, yang diutus untuk melayani mereka yang harus memperoleh keselamatan” (Ibr 1:14). Mereka ikut serta dalam kepengantaraan Yesus Kristus, pengantara antara Allah dengan manusia, mendorong dan melayani semakin terjalinnya kesatuan antara manusia dengan Allah. Dalam tradisi Kitab Suci diperlihatkan peran itu sebagai pembawa pesan. Kata malaikat (Malach – Ibrani; Aggelos – Yunani) memang berarti utusan, pembawan pesan. Karena mareka adalah utusan, pelayan Allah, maka diingatkan tidak untuk memuja serta menyembahnya (lih Kol 2:18; Why 22:8-9).

Tentu di sini dibedakan antara malaikat baik, yang setia pada peran serta perutusannya, dan malaikat jahat, atau setan atau iblis,yang menghambat serta ingin menggagalkan rencana keselamatan Allah. Malaikat jahat ingin menjadikan manusia memuja dirinya dan bukan Allah (bdk Luk 4:6-8).

Malaikat adalah makhluk rohani, yang digambarkan dalam kredo, berangkat dari keputusan Konsili Nicea, sebagai “Aku percaya akan satu Allah, … pencipta langit dan bumi dan segala sesuatu yang kelihatan dan yang tak kelihatan”. Sebagai makhluk rohani, yang tak kelihatan, malaikat tak bertubuh. Betapapun dalam kisah Abraham yang mendapatkan tamu para malaikat dikatakan bahwa mereka bertubuh (lih Kej 18:1-15), dikatakan oleh Thomas Aquinas karena bahwa tubuh itu bukan tubuh yang hidup, namun tubuh hanya untuk bisa dilihat, sebagaimana bisa kita simak dalam kitab Tobit, “Hanya suatu penglihatan yang kamu lihat” (Tob 12:19).

Namun manusia dikatakan diciptakan hampir setara dengan Allah (lih Mzm 8:6; bdk Kej 1:26-27). Penulis surat Ibrani lalu mengatakan, “Sebab sesungguhnya, bukan malaikat-malaikat yang Dia kasihi, tetapi keturunan Abraham yang Ia kasihi” (Ibr 2:16). Dalam intensi Allah akan keselamatan, memulihkan kembali realitas sebagaimana saat diciptakan baik adanya, menyatukan kembali manusia dengan Allah, malaikat berperan agar intensi keselamatan tersebut terlaksana. Malaikat akan dinilai, atau diistilahkan sebagai “dihakimi” berdasarkan serta sesuai dengan peran ini: sejauh mana mereka melayani karya keselamatan Allah, mengabdi bagi dibangun kembali kesatuan Allah dengan manusia tersebut.

T. Krispurwana Cahyadi SJ

HIDUP NO.05 2019, 3 Februari 2019

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini