Penyayang Keluarga dan Sesama

2514
Pernikahan Tjilik Riwut dan Clementine Suparti.
[Dok. Keluarga Tjilik Riwut.]

HIDUPKATOLIK.com – Ia terkesan irit bicara dan kaku. Meski demikian, cinta dan perhatian untuk keluarga dan sesama teramat besar.

Cinta bisa datang kapan dan di mana saja. Ungkapan ini rasanya cocok sebagai preambul ziarah cinta antara Tjilik Riwut dengan Clementine Suparti. Alkisah, RS Panti Rapih, Yogyakarta, menjadi saksi bisu perjumpaan Tjilik dengan Suparti. Kelahiran Yogyakarta, 6 September 1925 itu bekerja sebagai perawat di sana. Sementara, Tjilik pernah menjadi pasien di RS itu dan bertemu dengan Suparti.

Tjilik adalah Komandan Pasukan MN 1001 Mobiele Brigade. Pangkatnya saat itu adalah mayor. Ternyata, pertemuan itu membekas bagi dua insan yang berbeda budaya serta keyakinan. Mayor Tjilik berasal dari suku Dayak dan menganut Kaharingan – kepercayaan tradisional suku Dayak. Sedangkan, Suparti asli Jawa dan beragama Katolik.

Beberapa kali bertemu, Tjilik tak mampu mengelabui perasaannya. Ia tertarik kepada putri pasangan Johanes Soemardi Martawijaya dan Caroline Soekartini itu. Tjilik memasang strategi untuk meluluhkan hati gadis pujaannya. “Waktu itu Bapak suka pamer di hadapan Ibu,” ujar anak bungsu Tjilik-Suparti, Anakletus Tarung Tjandrautama Riwut, ketika bertemu dikediamannya di Kelapa Gading, Jakarta Utara, Selasa, 22/1.

Memenuhi Nazar
Begitu mengetahui rumah ibu tak jauh dari markas, beber Kletus melanjutkan, bapak setiap pagi lewat di depan rumah ibu sambil membawa pedang panjang dan memimpin pasukan. “Tiba di depan rumah, Bapak sengaja menarik perhatian ibu, seperti memberi aba-aba dengan suara kencang. Sementara sang idola mengintip dari balik jendela. Karena saking sering, jadianlah mereka,” ungkap Kletus sembari tertawa.

Saat 72 tentara –60 orang berasal dari Kalimantan dan sisanya dari sejumlah pulau lain– menggelar latihan penerjunan pasukan payung untuk melakukan infiltrasi ke Borneo, Tjilik yang pada waktu itu mendapat mandat sebagai Pemimpin Operasi Pasukan Penerjunan Payung, membujuk kekasihnya untuk selalu hadir saat latihan berlangsung.

Dalam buku yang disunting oleh Nila Riwut berjudul Kronik Kalimantan: Berdasarkan Catatan Pribadi dan Dokumen yang Dikumpulkan oleh Tjilik Riwut, volume #2, tahun 1946 sampai dengan 1954, diceritakan, Tjilik berusaha keras membujuk Pong atau lengkapnya Clementine Suparti Martawidjaja, seorang perawat RS Panti Rapih Yogyakarta yang adalah juga tunangannya untuk selalu hadir pada saat latihan terjun bebas dari menara. Tjilik Riwut berpikir, apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada para peserta di saat melompat, maka seorang perawat telah siap memberikan pertolongan.

Seiring waktu, benih cinta mereka berbunga. Tjilik dan Suparti memutuskan untuk mengikrarkan janji setia sebagai suami-istri di Gereja St Antonius Kota Baru, Yogyakarta, pada 31 Mei 1948. “Dengan demikian, Tjilik Riwut yang pernah bernazar untuk tidak menikah sebelum Indonesia merdeka telah memenuhi nazarnya,” tulis Nila Riwut dalam salah satu buku triloginya itu.

Pada waktu dan tempat yang sama, sebelum berkat nikah, Tjilik Riwut bergabung dalam pangkuan Gereja Katolik. Ia dibaptis oleh Romo Adrianus Djajasepoetra SJ (kelak pada 3 Januari 1961, Takhta Suci menunjuk Romo Djajasepoetra sebagai Uskup Agung Jakarta). Tjilik memilih nama baptis Anakletus. Nama yang sama kemudian ia sematkan kepada putra sematawayangnya. Dari pernikahan itu, Tjilik-Suparti dikaruniai lima anak.

Waktu Bersama
Intensitas kegiatan Tjilik meningkat sejak duduk sebagai anggota legislatif dan menjadi orang nomor satu di Kalimantan Tengah. Litani kesibukan itu memaksa Tjilik jarang berada di rumah. Saban kali sang suami hendak berdinas lama di luar, Supartilah yang mengemas aneka perlengkapannya. Suparti juga yang merapikan bekal dan pakaian Tjilik begitu kembali ke rumah.

Setiap keluarga tak imun dari aneka persoalan, tak terkecuali bahtera rumah tangga Tjilik-Suparti. Bila masalah menerpa dan persoalan tersebut tak melibatkan anak-anak, pasangan suami-istri tersebut pantang membahas di hadapan buah hati. Bila tak terhindarkan dan topik pembahasan itu rahasia, mereka akan bercakap dengan bahasa Belanda. “Supaya anak-anak tidak mengerti. (Tapi) Bapak lupa, anak-anaknya bersekolah di sekolah Katolik di mana ada pelajaran tambahan adalah bahasa Belanda,” ujar Kameloh Ida Lestari tersenyum, saat bertemu di Rumah Tjilik Riwut Gallery Resto, Palangkara Raya, Kalimantan Tengah, Kamis, 17/1.

Rumah sekaligus restoran ini, kenang Putri keempat Tjilik-Suparti ini, semula adalah rumah dinas sang ayah sewaktu menjabat Gubernur Kalteng. Namun, bisa diangsur dan menjadi milik keluarga. Bulatan depan pintu rumah dan kamar orangtua tetap dipertahankan. Di kamar itu, mereka memajang foto-foto keluarga.

Di rumah itu, lanjut Ida, keluarga menggelar acara untuk mengenang ayahanda, setiap hari kelahirannya, 2 Februari. Rumah itu menyimpan banyak kenangan sekaligus wasiat Tjilik. “Ketika sakit, beliau menyampaikan kepada saya, ‘Kalau nanti Bapak sudah tidak ada, apa saja yang bisa dijual untuk hidup kalian, silakan jual. Tapi, tolong rumah di Palangka Raya tetap dipertahankan. Jadikan itu tempat berkumpul orang banyak, orang berdiskusi’,” ungkap Ida.

Menurutnya, rumah tersebut kini juga menjadi tempat berkumpul anak-anak dan orang muda dari berbagai komunitas dan sanggar. Kediaman Tjilik, tambah Ida, sejak dulu memang tak pernah sepi. Tak hanya keluarga inti tinggal di sana tapi juga orang-orang yang mau sekolah atau mencari kerja. Tak hanya memberi tumpangan, Tjilik-Suparti juga memberi makan tiga kali sehari untuk semua yang tinggal. “Falsafah huma betang (rumah besar –Red.) betul-betul dilaksanakan… pernah (yang tinggal di rumah) mencapai 30-40 orang. Dari situ ia (Tjilik) mengajarkan keberagaman,” tutur ibu dengan tiga anak ini.

Tjilik tetap memiliki waktu berkumpul bersama keluarga meski memiliki kesibukan luar biasa. Ketika semua ada di rumah, Tjilik bersama istri dan anak-anaknya berdoa dan makan bersama. Saat liburan panjang, ia memboyong keluarganya ke Yogyakarta. Tapi, bila vakansi pendek, mereka habiskan bersama di Borneo, misal ke Kasongan. Dengan rutin bersilahturahmi, hubungan keluarga mereka tetap rekat.

Saat senggang Tjilik rutin mengajak anak-anaknya bermain ke hutan. Ia mengenalkan buah hatinya berbagai jenis tumbuhan dan satwa. Rumah mereka dulu juga seperti kebun binatang karena menampung berbagai macam hewan. Namun, begitu pemerintah melarang, Tjilik langsung menyerahkan semua binatang kepada Negara.

Setelah dari hutan, mereka juga menyusuri sungai. “Kami naik jukung (perahu). Bapak berani sendirian menyelam. Begitu muncul, banyak ikan yang ia dapat. Ikan-ikan itu kami bagi kepada tetangga. Sisa ikan kami dan nenek bersihkan sampai larut malam. Nenek sangat rajin. Begitu kami bangun, nenek sudah memasak ikan itu sangat enak,” puji Anastasi Ratna Hawun Meiarti.

Terlalu Sayang
Putri kedua Tjilik-Suparti itu mengakui, Tjilik amat menyayangi anak-anaknya. Namun, perlakuan itu kadang dirasakan anak-anaknya berlebihan. Ayahnya, kesan Hawun, justru terlalu khawatir dengan mereka. Misal, kenang istri Chrys Kelana, saat mereka menyusuri sungai, ayahanda mencontohkan kepada anak-anaknya meminum air sungai untuk melepas dahaga. Tapi, begitu mereka hendak mencoba, sang ayah tak mengizinkan. Tjilik memberi air dari rumah.

Hal serupa ketika Tjilik memotong batang pohon dan menenggak air yang keluar dari batang tanaman tersebut. Namun, begitu para buah hatinya ingin mencoba, Tjilik melarang. Ia memberi mereka air yang sudah dicampur dengan madu. Pengalaman lain dirasakan oleh Kletus. Sebagai anak laki satu-satunya, ia dilarang mengemudi motor. “Bapak takut saya kecelakaan,” kata suami Priscilla Peggy Kusno ini.

Kletus juga mengungkapkan, saking sayang dan perhatian Tjilik kepada anak-anaknya, kadang membatasi ruang gerak mereka. Contoh, tambah Kletus, bapaknya pernah meminta sopir untuk mengantar anaknya pacaran. Bapak juga meminta sopir untuk antar-jemput ia kuliah.

Kletus juga kaget ketika sang ayah mengetahui beberapa pacarnya. Ia meminta Kletus untuk memutuskan satu pilihan. Tjilik tak mengintervensi perempuan pilihan Kletus. Asal, ia bisa menjadi ibu untuk anak-anak mereka, menjadi istri untuk anaknya, dan mau menjadi “merah-putih”. Tak hanya itu, Tjilik juga mendorong Kletus untuk bergaul dengan semua orang dan terlibat dalam kegiatan masyarakat, salah satunya sistem keamanan lingkungan (siskamling).

Kendati sang ayah petinggi di daerah, Emiliana Enon Heryani mengakui, perlakuan yang mereka terima sama dengan anak-anak lain pada waktu itu. Mobil di Kalteng saat dirinya masih kecil hanya dua buah, salah satu milik ayahnya. Saat pergi-pulang ekolah, bukan hanya ia dan adik-adiknya yang naik mobil itu, tapi juga anak-anak lain. “Jadi, mobil Bapak seperti antar-jemput anak-anak sekolah,” ujar anak pertama Tjilik-Suparti.

Perlakuan yang sama, tambah Enon, juga dirasakan saat mengurus surat izin mengemudi. Tak ada privilese untuk mereka. Kletus, kata nenek dengan dua cucu ini, tetap mengikuti ujian praktik dan tertulis untuk itu. Ayahnya juga melarang sang adik mengantongi izin tersebut sebelum berusia 17 tahun.

Tjilik irit bicara dan becanda. Itu yang memicu Enon bersama adik-adiknya segan dengan sang ayah. Hanya ada tiga jawaban dari mereka saat ayahnya bertanya: iya pak, tidak pak, dan siap pak. “Karena sering seperti itu, bila Bapak menelepon, kami menjawab sembari berdiri tegap,” kenang Enon sembari terkekeh.

Selama hidup bersama, seluruh anak mengakui, tak pernah sekalipun sang ayah memukul mereka, entah itu untuk mendidik atau pada saat ia marah. Selain itu, menurut Nila Riwut, ayahnya punya cara tersendiri mengarahkan bakat anak-anaknya. “Saya sering diajak diskusi tentang tulisan,” kata Nila Riwut yang sejak masa SMA sudah jadi juru ketik naskah, sekaligus asisten ayahnya dalam penulisan buku sejarah dan budaya Dayak.

Perempuan bernama lengkap Theresia Nila Ambun Triwati suka menulis sejak kecil. “Waktu itu, saya sering dikasih kertas dan pensil warna sebelah biru sebelah merah oleh Bapak,” kenang Nila, saat saat ditemui di kediamannya kawasan Sorogenen, Purwomartani, Kalasan, Sleman-DI Yogyakarta, Jumat, 11/1.

Ia mengungkapkan, ayahnya pernah menyampaikan keinginannya kelak jika masa pensiun, hari tuanya akan dihabiskan untuk menulis buku. “Bapak punya cita-cita ketika sudah tidak bekerja lagi akan menulis. Maka, begitu bapak meninggal, saya ada beban moril untuk mewujudkan keinginan Bapak. Menulis buku soal sejarah dan budaya, khususnya budaya Dayak,” tutur istri Anakletus Suseno ini.

Nilai-nilai keteladanan yang bisa dicontoh dari ayahnya adalah sikap rendah hati, kesederhanaan, dan kepedulian kepada orang lain. “Kalau ada temannya yang sakit dibantu. Uang simpanan kadang ia berikan. Beliau ikhlas, rela, dan tulus. Kami anak-anaknya diajar peka, merasakan perasaan orang lain,” tuturnya.

Tjilik juga perhatian dan sayang kepada mantu dan cucu-cucunya. Bahkan, bila Tjilik jarang bercanda dengan anak-anaknya, tak demikian sikapnya kepada cucu-cucunya. “Bue (kakek) suka bercanda dengan cucunya. Kadang bercandanya dengan mengenakan baju eyang (nenek) supaya kami tertawa. Tapi kalau marah kami kabur semua. Tapi, enaknya kalau bue habis marah, orangtua kami dipanggil, disuruh belanjakan sesuatu untuk kami,” ujar Sulang Makmur Husada, saat bertemu di Palangka Raya, Kamis, 17/1.

Anak pertama Ida itu juga menyebut kakeknya menyukai pantun dan puisi. Tjilik sering membuat puisi untuk cucu-cucunya. “Yang masih saya ingat: Tuk tuk burung pelatuk/ si mamatuk si kayu jabuk/ kalau mata sudah mengantuk/ minum kopi barang semangkuk. Itu biasanya minta dibuatkan kopi. Buat apa tangan kiri/ lebih baik tangan kanan/ jauh-jauh Chiko kemari/ kalau bukan mencari kawan,” kenang pria yang biasa dipanggil Chicko ini.

Meneruskan Perjuangan
Sebagai anggota militer dan abdi masyarakat, banyak jasa yang telah ditorehkan oleh Anakletus Tjilik Riwut. Putra-putri Tjilik berharap, mereka bisa menghargai dan menjaga perjuang sulit yang sudah dilakukan oleh sang ayah. Hal itu merupakan tanggung jawab berat yang harus mereka pikul.

Dari kelima anak Tjilik, tak ada seorang pun yang mengikuti jejak kariernya. Meski demikian, menurut Hawun, melanjutkan semangat serta perjuangan sang ayah tak harus menjadi anggota militer atau menempati posisi-posisi di pemerintahan. “Kami bisa terus mengobarkan semangat dan perjuangan Bapak lewat jalan panggilan yang kami pilih,” ungkapnya, mantap.

Yanuari Marwanto
Laporan : Hermina Wulohering (Kalimantan Tengah), H. Bambang S. (Yogyakarta)

HIDUP NO.05 2019, 3 Februari 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini