Terobosan NU untuk Memperkuat Basis Toleransi dan Kesetaraan

172
Musyawarah Nasional Alim Ulama (Munas) dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama 2019 pada 27 Februari - 1 Maret 2019 di Kota Banjar Jawa Barat. [Dok.nu.or.id]

HIDUPKATOLIK.com – Musyawarah Nasional Alim Ulama (Munas) dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama 2019 yang digelar pada 27 Februari-1 Maret 2019 di Kota Banjar Jawa Barat menghasilkan lima (rekomendasi) penting bagi kemajuan bangsa dan negara.

Rekomendasi pertama, yang memuat anjuran untuk tidak menyebut non-muslim dengan istilah ‘kafir’, hingga kini menuai polemik diskursif di kalangan publik, utamanya warganet. Dalam bacaan dan pandangan SETARA Institute, tiga dari lima poin rekomendasi dimaksud mengandung narasi spesifik yang progresif bagi penguatan basis toleransi di Indonesia.

Pertama, NU menganjurkan agar kata ‘kafir’ tidak digunakan untuk melabeli non-muslim dalam ranah sosial dan kehidupan berbangsa dan bernegara, sebab istilah ‘kafir’ tidak dikenal dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara dan bangsa. NU mengintroduksi term “muwathinun”, atau warga negara. Dalam perspektif itu, setiap warga negara memiliki hak yang sama di mata konstitusi.

Rekomendasi tersebut, dalam pandangan SETARA Institute, merupakan sikap institusional keagamaan yang progresif dan konstruktif untuk menghapus diskriminasi dan ekspresi intoleransi kepada minoritas, dalam hal ini non-muslim, yang banyak mengalami pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan, baik yang dilakukan oleh aktor negara maupun non-negara.

Poin pertama anjuran dan ajakan NU tersebut secara kontekstual menghadirkan kontra narasi terhadap doktrin takfiri (pengkafiran yang berbeda, tidak hanya non muslim tapi juga sesama kelompok muslim yang berbeda pandangan dan afiliasi keagamaan). Doktrin takfiri, sebagaimana jamak diketahui, mengalami penguatan yang signifikan di tengah-tengah masyarakat muslim Indonesia dalam satu dekade terakhir.

Kedua, menurut Hasil Munas dan Konbes NU, berdasarkan konstitusi tidak boleh ada lembaga yang mengeluarkan fatwa kecuali Mahkamah Agung, sebab Indonesia bukan darul fatwa. Ketiga, berkaitan dengan rekomendasi kedua soal fatwa, hanya institusi yang diberi mandat oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan sajalah yang memiliki kewenangan yang sah untuk mengeluarkan fatwa. Dengan demikian, tidak satu pun lembaga yang berhak mengatasnamakan dirinya sebagai mufti.

Dalam pandangan SETARA Institute, rekomendasi kedua dan ketiga tersebut memberikan basis etik dan legitimasi sosiologis yang kuat agar pemerintahan negara tidak mendasarkan regulasi dan tindakannya pada fatwa lembaga keagamaan apapun, termasuk fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Dalam catatan SETARA Institute, fatwa-fatwa MUI telah banyak menjadi dasar bagi regulasi negara dan bahkan mendorong politisasi agama. Dua fatwa MUI yang memberikan dampak destruktif mencolok adalah fatwa sesat atas Ahmadiyah yang melahirkan persekusi berkepanjangan atas jemaat Ahmadiyah dan fatwa penistaan agama atas Basuki Tjahaja Purnama yang tidak saja mendorong penjeblosan BTP ke penjara namun juga memicu politisasi agama berkepanjangan hingga kini.

Atas poin-poin rekomendasi Munas dan Konbes NU 2019 tersebut, SETARA Institute menyampaikan apresiasi dan menyambut sangat baik ijtihad yang progresif tersebut. Rekomendasi tersebut merupakan terobosan signifikan untuk memperkuat basis toleransi dan kesetaraan berdasarkan Pancasila dan Konstitusi Negara.

SETARA Institute juga mendorong pemerintah untuk memposisikan rekomendasi tersebut sebagai basis etika politik negara dan sumber legitimasi sosiologis regulasi pemerintah untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan hak bagi seluruh warga negara (pernyataan pers SETARA Institute, 3 Maret 2019).

 

Bonar Tigor Naipospos (Wakil Ketua SETARA Institute)
Halili (Direktur Riset SETARA Institute)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini