Hati Bertobat, Mulut Penuh Berkat

815

HIDUPKATOLIK.com – Minggu 3 Maret 2019Minggu Biasa VIII Sir 27: 4-7; Mzm 92:2-3, 13-14, 15-16; 1 Kor 15: 54-58; Luk 6:39-45

“Manakah yang lebih banyak keluar dari mulut kita: perkataan positif atau negatif; berita bohong atau warta kebenaran; ucapan kebencian atau sapaan kasih; berkat atau kutuk?”

SETIAP hari kita berbicara; saling berkomunikasi dengan sesama. Manakah yang lebih banyak keluar dari mulut kita: perkataan positif atau negatif; berita bohong atau warta kebenaran; ucapan kebencian atau sapaan kasih; berkat atau kutuk?

Relasi kita dengan sesama dipengaruhi oleh apa yang keluar dari mulut hingga ada pepatah yang mengajak kita untuk bijaksana dalam menggunakan mulut, yaitu “lidah
lebih tajam dari pedang”. Ucapan seseorang dapat menyakiti hati sesamanya yang efek rasa sakitnya lebih pedih dari goresan pedang.

Apa yang diucapkan dan keluar dari mulut kita sesungguhnya berasal dari hati. Kita tidak dapat menebak isi hati seseorang, tetapi bisa menduganya dari apa yang diucapkannya. Untuk itulah Yesus bersabda: “Karena yang diucapkan mulutnya, meluap dari hatinya.” (Luk 6: 45)

Dalam Injil hari ini, Yesus mengajak kita untuk merenungkan tiga kesombongan diri yang membutuhkan pertobatan. Pertama, Yesus mengundang kita untuk merenungkan apa yang biasa terjadi dalam hidup sehari-­hari, tetapi bisa berakibat fatal, di mana orang yang tidak tahu jalan kehidupan yang baik, memberi tahu bagaimana cara mencapainya; orang yang tidak sungguh dekat dengan Tuhan mau mengajari dan menunjukkan jalan Tuhan.

Itulah orang yang “sok pintar”. Bisa jadi ia asal bicara. Kenyataan fatal ini diungkapkan Yesus melalui pertanyaan reflektif: “Dapatkah orang buta menuntun orang buta? Bukankah keduanya akan jatuh ke dalam lobang?” (Luk 6: 39) 

Kedua, Yesus mengajak kita untuk mawas diri, yaitu dengan rendah hati menyadari kelemahan diri sendiri agar tidak mudah menuduh dan menghakimi orang lain atau mengatai-­ngatai dengan kasar dan tak pantas. Kecenderungan manusia adalah mencari kelemahan dan mengungkit-­ungkit kesalahan sesama guna menutup kekurangan sendiri.

Itulah orang yang “sok benar”. Untuk itu, Yesus mengajak kita untuk: “… keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.” (Luk 6: 42)

Ketiga, Yesus mengingatkan pentingnya kesucian hati. Orang bisa menjadi “sok pintar” bagai orang yang tahu segalanya atau “sok benar” bagai orang yang selalu benar karena orang itu ternyata “sok suci”, yaitu merasa saleh tanpa salah di hadapan sesama dan mengaku bersih tanpa dosa di hadapan Tuhan.

Padahal apa yang kelihatan itu keluar dari hati yang tersembunyi. Bagaimana mungkin orang suci bisa berkata dan berbuat sesuatu yang menyesatkan dan menghakimi sesama? Yesus menegaskan: “Karena tidak ada pohon yang baik yang menghasilkan buah yang tidak baik, dan juga tidak ada pohon yang tidak baik yang menghasilkan buah yang baik.” (Luk 6: 43)

Kita dapat menjadi berkat bagi sesama kalau memiliki hati suci yang tertuju kepada Allah. Pertama, kita harus rendah hati; tidak sok tahu dan sok pintar, tetapi mau dan mampu belajar demi sesuatu yang lebih baik dari orang yang mumpuni di bidang intelektualitas.

Jangan sampai pengetahuan kita sudah kedaluwarsa. Kedua, kita harus sadar bahwa setiap orang memiliki kekurangan dan kelemahan sehingga kita mau dan mampu mendengarkan orang­-orang yang berkompeten dalam bidang moralitas. Jangan sampai kita selalu merasa benar karena sudah biasa dan terbiasa melakukan sesuatu padahal bisa jadi menyakitkan dan merugikan sesama.

Ketiga, kita harus terbuka pada Roh Kudus sehingga mau dan mampu mendengarkan isikan suara hati dan tuntutan Roh Ilahi dengan mengikuti teladan orang yang unggul
dalam spiritualitas. Jangan sampai perbuatan kita jauh dari kehendak Allah.

Rabu yang akan datang, 6 Maret 2019, kita akan memasuki Rabu Abu, awal masa puasa
kita. Marilah kita melakukan pertobatan hati melalui matiraga dan puasa, doa dan tapa, serta amal dan kasih agar mulut kita menjadi berkat.

Dengan matiraga dan puasa, kita makin sadar untuk mengontrol diri agar tidak sok pintar
dan sok benar. Dengan doa dan tapa, kita makin peka akan penyelenggaraan ilahi agar kita tidak menjadi sok suci. Dengan amal dan kasih, makin menjadi berkat bagi sesama.

 

 

Mgr Antonius Bunjamin Subianto OSC
Uskup Bandung

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini