Terjadilah Sesuai dengan Kehendak-Mu

979

HIDUPKATOLIK.com – PAGI ini terasa melelahkan bagiku. Perjalanan panjang dari Batam menuju Siantar begitu melelahkan. Setibanya di komunitasku, ingin rasanya aku langsung membaringkan badanku.

Namun barang-barangku belum kususun di lemari. Aku sungguh bahagia dapat melanjutkan panggilan suci ini meskipun aku tahu bahwa menapaki panggilan ini bukanlah hal yang mudah. 

Komunitasku begitu indah. Jauh dari pemukiman penduduk dan di depannya terdapat rel kereta api. Aku merasa bahagia tinggal di sini.

***

“Perkenalkan nama saya Sumardiono, asal dari Mentawai,” ucapku di depan teman-teman dalam perkenalan di hari pertama. Setelah berkenalan, sebagian kecil aku telah mengenal mereka satu per satu. Mungkin dalam satu minggu ini aku akan lebih mengenal mereka.

Tujuh bulan kemudian berlalu begitu cepat. Tak ada sedikut pun rasa jenuh tinggal di komunitasku ini. Aku begitu kerasan. Pagi ini kuperhatikan tempat duduk teman-teman di kapel. Seorang dari kami tidak ikut ibadat pagi.

Kuingat-ingat siapa yang duduk di situ. Ternyata Febrialdi yang tidak hadir. Kutanya teman sebelahku, mereka pun tidak tahu mengapa Febrialdi tidak hadir pagi ini. Setelah sarapan aku jumpai dia sambil mengantar sarapannya.
“Tok….Tok…”
“Silahkan masuk.”
“Kamu sakit apa Feb?” Tanyaku sambil meletakkan sarapannya di mejanya.
“Hanya batuk dan pusing saja, Mar.”
“Apakah kamu perlu dibawa ke rumah sakit?”
“Tidak perlu, Mar, sebentar lagi pasti sembuh
kok.”

Aku percaya begitu saja dengan perkataannya, lalu aku pergi meninggalkannya. Sudah satu minggu Febrialdi tak kunjung sembuh dari sakitnya. Aku merasa kasihan melihatnya. Aku mengunjungi Romo agar beliau saja yang memaksa Febrialdi ke rumah sakit.
“Bagaimana keadaanmu, Aldi?” Tanya Romo sambil memegang keningnya.
“Sudah mulai baikan
kok Romo,” balas Aldi sambil bangun dari tempat tidurnya.
“Kita ke rumah sakit ya. Sudah satu minggu kamu sakit. Saya takut penyakitmu berbahaya,” pinta Romo kepadanya.

Febrialdi menolak tawaran Romo. Ia tetap saja tidak mau berobat. Aku semakin tidak mengerti jalan pikiran Aldi. Sudah satu minggu lebih ia menderita karena sakitnya namun untuk berobat saja, ia tidak mau. Aku curiga ia menyembunyikan sesuatu tentang penyakitnya.

***

Febrialdi semakin hari semakin pendiam, tidak seperti saat ia berada di tingkat I. Setiap malam aku selalu memperhatikannya di kapel. Ia berdoa dengan khusyuk, badan tegap dan kepala menatap ke altar.

Di saat para frater telah membaringkan tubuhnya di tempat tidur, ia masih berada di kapel. Mataku tak mampu menjaganya. Aku pun memutuskan untuk tidur duluan. Di tengah keheningan malam ini, aku tidak dapat tidur. Aku masih memikirkan Febrialdi.

Aku begitu bangga melihat kekudusannya. Ia banyak disukai teman-teman, ia sopan dalam bertutur kata dan ia salah satu mahasiswa yang pintar di kampus. Ia tidak pernah menyombongkan IP-nya yang tinggi. Sikap rendah hati selalu ditanamkannya dalam kehidupan komunitasnya.

Kuhentikan lamunanku sejenak dan aku beranjak ke jendela. Kulihat lampu kapel sudah mati atau belum. Pukul 23:48 lampu kapel masih menyala. Kurasa Febrialdi masih ada di dalam. “Ah…sudahlah! Aku ini bukan intel yang harus memantau orang diam-diam!” batinku.

***

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini