HIDUPKATOLIK.com – Paroki Lewa sangat luas dengan medan yang menantang. Sementara pelayanan misa Natal sangat sulit dijalankan dari ke stasi-stasi. Situasi dan kondisi seperti inilah yang melahirkan istilah Natal Kedua.
SANG Sabda dalam karya-Nya seringkali melewati setapak kecil di Yerusalem. Tidak hanya itu ia juga masuk keluar kota, melintasi kebun, mendaki bukit, melalui padang hingga jalan terjal di tanah kelahiranNya.
Kiranya pewartaan Kristus ini banyak menginspirasi para misionaris yang menginjakkan kaki pertama kali di tanah Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT). Para misionaris itu kemudian menyematkan nama Sang Sabda kepada salah satu paroki di sana yakni Paroki Sang Sabda Lewa.
Paroki Lewa merupakan bagian dari wilayah administrasi Keuskupan Weetebula, Sumba, NTT. Terletak di wilayah perbatasan bagian Barat Sumba Timur dan Sumba Tengah. Paroki ini diresmikan pada tanggal 15 September 1967 oleh imam Redemptoris yang juga baru menjejakkan kaki di tanah ini pada tahun yang sama dengan pusat misi di Langganiru.
Pada tahun 1986, Paroki Lewa mulai dilayani oleh imam SVD menggantikan imam Redemptoris. Pastor Paroki Lewa, Pastor Gregorius Geroda SVD mengungkapkan hingga saat ini Paroki Lewa terus berkembang.
Umat menyebar di 14 stasi. Stasi-stasi tersebut antara lain: Praikalitu (stasi pusat), Nangga, Laikokur, Mata Wai Kurang, Laihau, Praipaha, Waiwakihu, Karipi, Tandula Jangga, Kangeli, Pauurat, Billa, Praingkareha, dan Matolang.
Hingga saat ini jumlah umat 3.166 orang. Ia mengakui medan paroki ini cukup luas dan sulit. Jangkauan dari tiap stasi cukup jauh sehingga untuk melayani stasi tersebut harus membagi waktu.
“Bayangkan terdapat empat belas stasi secara bergantian dilayani khususnya pelayanan ekaristi kudus dan sakramen. Belum lagi melayani umat di sekitar paroki,” ungkapnya. Ia menambahkan untuk menjangkau stasi-stasi tersebut dibantu oleh frater dan suster serta beberapa katekis untuk memberi pelayanan.
Paroki ini juga memiliki pembina umat. Para pembina umat mendapat pelatihan dan pendidikan dari Pusat Pastoral (Puspas) untuk mempermudah pelayanan iman umat.
“Mereka semacam katekis yang menjadi salah satu tulang punggung pewartaan dan pemberdayaan iman umat di paroki ini. Mereka dilatari berbagai profesi mulai dari petani hingga guru,” imbuhnya.
Lebih lanjut ia mengatakan salah satu agenda yang memiliki tantangan yang berat adalah saat perayaan besar seperti Natal. Berhadapan dengan jangkauan umat yang cukup jauh seperti itu, pelayanan Sakramen Tobat dijalankan ke tiap stasi. Kondisi seperti inilah yang membentuk semacam tradisi yang berbeda di paroki ini yakni lahirnya istilah Natal kedua.
Natal kedua ini bukan berarti Natal tanggal 25 Desember ditiadakan. Misa biasanya diadakan di pusat paroki dan hanya beberapa stasi. Sedangkan umat-umat di stasi pada malam Natal akan mengadakan ibadat sabda.
Mereka akan dipimpin oleh suster, katekis atau pembina umat. “Mereka mendapat giliran misa Natal pada hari berikutnya selama oktaf Natal berlangsung. Ini karena situasi dan kondisi umat akan mengikuti misa pada Natal Kedua bahkan ada yang menyebut Natal Ketiga,” bebernya.
Pastor Gregorius begitu akrab disapa tidak memungkiri kondisi tersebut mengingat medan dan jumlah imam yang berkarya di paroki ini masih berkurang. Ia menerangkan tantangan pastoral seperti ini merupakan pengalaman yang luar biasa.
Di tengah kondisi seperti ini justru merupakan kesempatan merasakan Sang Sabda sungguh-sungguh hadir melalui wajah umat yang merindukannya. “Kami tetap fokus melayani umat karena pelayanan berada di atas segalagalanya. Umat harus menerima Kabar Gembira dan juga sukacita Natal. Toh, Bayi Yesus lahir di tengah orang-orang kecil,” pungkasnya.
Willy Matrona
HIDUP NO. 01 2019, 6 Januari 2019