Paulus Soetopo Tjokronegoro : Mengubah Derita Menjadi Berkat

2238
Paul Soetopo bersama keluarga.
[NN/Dok.Pribadi]

HIDUPKATOLIK.com – Ia sempat tersandung kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Kini, ia memberdayakan masyarakat dengan program usaha mikro, kecil dan menengah, serta koperasi.

Paulus Soetopo Tjokronegoro masih giat berkarya, kendati usianya tak lagi muda. Saat ini, Paul, sapaannya, sedang memberdayakan masyarakat Gunungkidul, DI Yogyakarta. Lewat Gunungkidul AgroTechno Park (GAP) yang dibangun di Dusun Sumbermulyo, dirinya yakin dusun yang saat ini berstatus kumuh akan menjadi desa wisata.

Paul membangun GAP di atas tanah 5000 meter persegi. Oleh pemerintah kabupaten setempat, dusun seluas hampir 100 hektar itu dinyatakan sebagai dusun kumuh. Ini berdasarkan kriteria pemerintah, seperti kondisi infrastruktur jalan lingkungan dan selokan, banyaknya limbah kotoran hewan dan limbah pabrik tahu tempe, serta terdapat 47 rumah tidak layak huni.

GAP didirikan di atas tanah sewa. Hadir dengan delapan fokus perhatian, yakni pendidikan pelatihan magang bersertifikasi, penggemukan sapi potong, pertanian hidroponik, pabrik tahu tempe, budidaya ikan lele dan nila, restoran, serta riset energi, dan riset pangan. Menurutnya, saat ini yang sudah beroperasi secara penuh baru hidroponik, budidaya ikan lele dan pabrik pembuatan tahu tempe. “Penggemukan dan kos-kosan sapi akan segera hadir, kerjasama dengan dinas pertanian dan peternakan serta asosiasi peternak sapi, importir, dan usaha besar sapi,” harapnya.

Lebih Bahagia
Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) sejak pensiun dari BI pada 1997 mencoba mengembangkan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) serta koperasi. Pada 2004, Paul diajak tokoh koperasi kredit di Kalimantan Barat, untuk mendukung dan mengembangan koperasi kredit. “Dulu saat aktif di perbankan, bertemu dengan bankir-bankir dan nasabah bank yang konglomerat. Sekarang, saya mengurusi ekonomi masyarakat miskin. Mana lebih membahagiakan? Ngurusi rakyat kecil dan miskinkan,” ucapnya.

Paul punya misi mengentaskan kemiskinan di tengah masyarakat, atas dasar iman ‘janda miskin’. Maksudnya, bukan hanya memberikan materi, tapi mencurahkan diri seutuhnya untuk menolong mereka yang lapar, haus, telanjang, sakit, dan dipenjara.

Paul jatuh cinta dengan koperasi dan UMKM. Belasan tahun sebagai penasehat Credit Union (CU) Bererod Gratia yang didirikan Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi Konferensi Waligereja Indonesia (PSE KWI), ia lantas mengembangkan pelayanannya di Yogya, kota kelahirannya.

Sementara di tempat tinggalnya kawasan Cibubur, Jakarta Timur, Paul membentuk Koperasi Bina Karya Sejahtera (BKS). Selain pendiri, ia juga menjadi penasihat BKS. “Supaya warga sejahtera, guyub, bersatu tanpa diskriminasi,” tambah pendiri dan ketua Pengawas Koperasi Pedagang Pasar Indonesia itu.

Koperasi Simpan Pinjam BKS Cibubur perkembangannya luar biasa. Setelah tiga tahun, koperasi yang semula hanya setingkat RW, sekarang anggotanya mencapai 700 orang. Asetnya sudah tembus Rp 7 miliar, dengan kredit yang beredar lebih dari 90% dari aset dengan kredit lalai dibawah 0,1%. Banyak anggota yang rajin menabung Rp 10 ribu per hari. “Kenapa simpan pinjam? Untuk menghilangkan rentenir,” katanya mencoba menjelaskan.

Perkembangan BKS sangat bagus. Ini karena koperasi tersebut dikelola dengan baik. “Kunci keberhasilan koperasi terletak pada kualitas manajemen dan manager operasionalnya. Mereka mampu menggerakkan anggota lebih maju,” tutur umat Paroki St Yohanes Maria Vianney, Cilangkap, Keuskupan Agung Jakarta ini.

Taat Hukum
Paul mengaku sejak masa kanak-kanak hingga kini selalu terlibat dalam kehidupan menggereja. Ia pernah menjadi misdinar di Gereja St Antonius Kotabaru, Yogyakarta, Keuskupan Agung Semarang. Pria kelahiran Yogyakarta, 22 Juni 1940 itu juga sempat aktif di Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia dan Pemuda Katolik. Ia juga terjun dalam Ikatan Sarjana Katolik (ISKA).

Saat bekerja di bidang perbankan, dirinya bersama teman-temannya mendirikan Buruh Katolik Perbankan. Pada tahun 1996, Paul bersama sepuluh awam dan dua imam membentuk Kelompok Semangat Mitra Komisi Seminari KWI. Kelompok ini hadir untuk membantu pengembangan pendidikan calon imam.

Kariernya di perbankan amat gemilang, mulai dari sebagai staf Departemen Riset Bank Indonesia (BI) hingga menjadi Deputi Gubernur BI. Namun sewaktu menjabat sebagai Deputi Gubernur bidang Pengendalian Moneter, Devisa, dan Internasional, dirinya tersandung perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Pengadilan menjatuhi hukuman 1,5 tahun penjara.

Sampai kini pun Paul merasa tak bersalah karena kebijakan itu sudah dilaporkan dan disetujui Presiden. BI hanya melaksanakan kebijaksanaan presiden atau pemerintah. “Kalau kebijakan disalahkan monggo (silakan) saja, dan sebagai warganegara yang taat hukum saya jalani saja hukuman itu sebagai konsekuensi jabatan,” kata Paul.

Paul masih ingat jelas, masuk Lapas Cipinang pada 22 Juni 2005. Peristiwa tersebut bertepatan dengan ulang tahunya yang ke-65. Pada pagi sebelum menuju Lapas, ia mengadakan Misa di rumah bersama keluarga dan teman-teman dekatnya. Begitu masuk lapas, Paul berdoa dalam hati. “Tuhan Yesus saya di sini, Bunda Maria saya di sini. Lindungilah saya dan keluarga saya.”

Selama di Lapas, ia mencoba lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, dengan aktif  mengurus Misa dan kebaktian di gereja lapas setempat. Paul mengenang, sebelumnya, Perayaan Ekaristi di dalam lapas berlangsung dua pekan sekali. Namun pelayanan rohani itu akhirnya bisa terjadi dua pekan sekali.

Saat itu, lanjut Paul, ada sekitar 120 dari 4000 warga binaan beragama Protestan dan Katolik. Mayoritas mereka tersandung kasus narkotik. Misa dengan lagu-lagu pujian amat disukai di dalam lapas. Saban kali usai Misa, mereka berkumpul di sebuah ruangan untuk mendengarkan kesaksian iman sejumlah warga binaan. “Sangat menyentuh mendengarkan kesaksian mereka yang semakin dekat dengan Tuhan,” katanya.

Paul juga ikut merawat warga binaan yang sakit atau meninggal. Sekali waktu terjadi wabah penyakit kulit. Sekitar 200 warga binaan terpapar penyakit tersebut. Mereka sulit sembuh karena jarang ganti pakaian dan bertukar perlengkapan mandi. Demi mengobati pasien serta menghentikan wabah tersebut, Paul bersama sejumlah kawan-kawannya berinisiatig mengadakan pengobatan massal.

Rencana itu disetujui pihak lapas dan Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) yang diorganisir Michael Utama. INTI membawa puluhan dokter dan perawat berikut obat-obatan. “Seorang teman, warga binaan, mantan menteri mencarikan sumbangan dua set pakaian untuk masing-masing tahanan. Sebanyak 200 warga binaan yang kena penyakit kulit bergantian masuk ke kamar mandi, lalu disemprot dengan obat khusus. Kemudian diminta ganti pakaian baru, sedangkan pakaian lama dikumpulkan untuk dibakar,” jelasnya.

Senjata Kasih
Setelah itu. mereka diperiksa dan diobati dokter lapas tiap hari. Dengan cara demikian, hanya dalam waktu sebulan pengobatan rutin, mereka yang terjangkit penyakit kulit sembuh. Kisah tersebut dan aneka pengalaman lain selama Paul beradadi dalam tahanan, ia tulis dalam buku. Karya itu ia beri judul Merubah Derita Menjadi Berkat.

Buku tersebut ia bagikan kepada temanteman dekatnya. Banyak keluarga dari warga binaan juga meminta curahan hati Paul selama berada di dalam lapas. Buku tersebut menjadi sarana kesaksian, dengan senjata kasih, siapa pun termasuk yang memusuhi dan ingin menyakiti, akan berbalik menjadi sahabat yang baik.

H. Bambang S

HIDUP NO.03 2019, 20 Maret 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini