Merajut Mimpi di Malam Natal

194

HIDUPKATOLIK.com –  “NiCK adalah anak yang hebat!” Desak psikiater muda pada ibunya Nick yang tak jua mampu melepas cemas hampir belasan tahun.

“Tapi dok…., banyak sudah saya harus menanggung malu karena kenyataan anak saya.”
“Saya sudah coba berdoa, berkonsultasi dengan pastor pembimbing, bahkan sampai mencari-cari ramuan paling mujur untuk sakitnya itu tetapi anak saya, ya begini adanya. Masih suka merengek macam balita, padahal usianya sudah genap 12 tahun.”
“Bagaimana dengan suami Anda?” Tanya sang psikiter tadi penuh iba.
“Entahlah dok..” Jawabnya dengan sedikit lebih lirih.

***

Barangkali Sandra harus lebih tabah, tatkala dirinya terus diterkam oleh berbagai rumpian para tetangga yang menjurus pada cercaan, cibiran, dan hinaan tentang fakta anaknya yang difabel dan tanpa kedua kaki yang sempurna.

Sejak dalam kandungan, Sandra tahu kalau Alexander Nick Rahardjo, bakal bayinya itu, ternyata mengidap keterbelakangan fisik dan mental yang parah. Atau para ahli menyebutnya sebagai tuna daksa. 

Sontak ia kecewa berat. Bagaimanapun juga, Sandra dan suaminya, Den Hardjo, adalah pasutri muda. Yang seharusnya masih bisa lebih banyak menghibur diri dengan kesenangan duniawi, tetapi karena keadaan anaknya itu, mereka lebih suka menganggap ini bak kutukan.

Terlebih cinta mereka yang sudah berseri sejak puluhan tahun, harus menemui kelayuannya; menunggu hancur kala angin sepoi basah menerpa. Mereka tetaplah manusia. Yang punya perasaan dan mimpi yang tinggi. Namun sayang, harapan mereka pupus karena kondisi anak kandungnya itu.

***

“Pastor! Cukup aku menanggung kekecewaan ini. Cukuplah juga soal menjadi istri dan ibu yang baik bagi anakku.”
Untuk sejenak pastor itu menyeruput kopi panasnya ditemani bising jangkrik dari kejauhan.
“Maaf Sandra, jelaskan apa yang terjadi?”
“Saya sudah muak dengan apa yang ada dalam hidup saya. Betapa pilaknya hidup saya. Karena anak saya yang tuna daksa, tetangga jadi suka sekali mencibir saya.
Suami pun terus memaksa saya untuk bercerai, karena ia mau kawin lagi katanya. Dengan maksud supaya ia beroleh keturunan yang lebih sempurna daripada Nick, anakku sekarang.”

Pastor itu menjawab datar, “Baiklah jika itu benar, pastor ikut prihatin. Tapi kamu harus tetep yakin pada Tuhan Allahmu. Sebab kita tidak tahu apa yang dikehendaki-Nya.”.
“Sudahlah pastor. Memang saya tak selalu mengerti dengan apa yang Tuhan mau, tetapi saya rasa, sekarang saya tahu kalau Tuhan itu lupa. Lupa kalau saya ini sedang menderita!”

“Eitss, kamu bicara apa Sandra? Jangan buru-buru memutuskan! Bukankah Sandra yang pastor kenal sedari kamu SD itu, adalah pribadi yang tak kenal berputus asa dan rajin berdoa di panti imam?”

Ia melanjutkan, “Pastor juga tahu kalau kontribusimu bagi gereja kita yang sedang berjuang ini sangat besar. Ide-ide cemerlangmu itu ikut memajukan gereja ini, tatkala masih dalam usaha mendapatkan izin membangun rumah ibadah. Misalnya saja festival malam natal yang kamu gagas bagi semua komunitas lansia di seluruh penjuru Desa Prayudan. Tak jarang mereka berkomentar senang, karena acaranya meriah tapi juga agung dan memberi ruang pengharapan.”

Tanggapan pastor itu membuat Sandra termangu. Dari balkon pastoran itu, dilihatnya banyak bintang berseri meski cahyanya tampak tersipu.
“Tapi itu hanya cerita yang lalu, tak abadi, dan tak menepis derita saya sama sekali.”
“Tidak Sandra. Inilah tanda dari-Nya agar bagimu beroleh suatu kesaksian!”
“Tapi pastor, apa maksud dari ini semua…..? Mengapa anakku?”

***

Umurnya sudah 12 tahun, tapi lagaknya makin membuatku risih dan nanar. Jalannya getar-getir, kepalanya tunduk dan gagap bicaranya. Untuk mandi, makan, bahkan buang air besar sekalipun harus aku yang menuntunnya. Sungguh aku tak tahan lagi.
“Ma,ma, aku mau cekolah.” Entah sudah berapa kali anakku menanyakan hal semacam itu.
“Iya, nanti, mama carikan guru buat Nick,” jelasku padanya.
“Tapi seragamnya mana? Kapan kita beli, mama?”
“Cukup kamu merengek! Ga ada sekolah-sekolahan. Ga ada juga seragam buat kamu. Itu percuma!” Bentak Mas hardjo kala Nick mulai menanyakan hal yang sama dengan nada yang lebih keras.

Aku lupa ternyata ada Mas Hardjo di ruang tamu. Jadilah ia mendengar pembicaraanku dengan Nick.
“Mas! Jaga bicaramu itu!”
“Sandra, istriku, sampai kapan kamu mau terus-terusan menderita, hah? Itu anakmu, percuma dikasihani. Hanya buat risih hidup kita!”
“Tapi, Nick juga anakmu mas!” kataku sambil menahan deraian air mata.
“Apa? Anakku? Mana sudi aku! Sudahlah aku tak ingin terus ribut. Cepatlah kamu putuskan permintaanku, kamu kasih itu anak ke panti, kalau kamu masih mau jadi istriku. Tapi kalau tidak, ya cerai
   saja kita secepatnya! Aku muak!” 

Tak kuasa lagi aku membendung hantaman dukaku ini, tapi syukurlah Nick sudah cepat-cepat lari kekamarnya. Aku tak ingin Nick bersedih. Biar aku saja.

***

Kemilau bintang dan bulan terlukis di langit ibu kota. Lebih sempurna dari gemerlap gedung-gedung dibawahnya, yang berjejer rapi disamping apartemenku ini. Baru tadi aku keluar menuju balkon, tak henti-hentinya deru angin malam menyergapku.

Tidak seperti menyapa apalagi memelukku, ia malah ikut menusuk hatiku. Erat cengkramanku pada besi pembatas balkon transparan, tapi lepas sudah harapanku mendambakan kebahagiaan dalam hidup rumah tanggaku.

Apartemen ini sengaja kusewa untuk rumah tinggalku bersama Nick. Entah sejenak atau selamanya. Hanya berdua dan tanpa banyak suara. Padahal bising kelakar ibu kota tak pernah habis kudengar dari atas sini. Hanya aku dan Nick di dalam keheningan yang panjang.

Persis malam Natal 13 tahun yang lalu, 24 desember 2003. Bersama Mas Hardjo, aku khusyuk dalam lantunan doa. Damai betul malam itu, sinar purnama jatuh bersama derai mataku hingga membuyarkan pandanganku pada lilin-lilin mungil yang mengitari patung Maria.
“Mas, Mas yakin ga kita nanti punya anak yang baik?”
“Kenapa tidak Sandra?”

***

“Sayang, kamu mau lihat bintang tidak?” Tanyaku pada Nick, walau aku sendiri tak begitu yakin apakah langit di malam Natal kali ini bakalan cerah.
“Bintang itu kaya lampu warna-warni itu ya ma?” Tanyanya seraya menunjuk ke arah pohon natal kecil di sudut ruang tamu.”
“Kamu bener, tapi lebih indah dan bagus.”
“Ayo mama, aku mau lihat bintang.”

Entah apa jadinya nanti, tapi sore ini aku sungguh bahagia. Segera aku menyiapkan aneka perbekalan untuk perjalanan kami ke arah selatan ibu kota, dimana festival Natal itu berada. Nick suka sekali roti margarin, maka aku juga tak lupa soal itu.

***

“Ihh, kok banyak mainannya sih? Itu apa? Aku mau ke sana! Ayo ma!”
Tak kusangka anakku akan sebahagia ini.
“Kamu mau ke sana? Tapi cium pipi mama dulu!” Pintaku padanya.
Belum sempat ia menciumku, suara parau lelaki dari belakang membuatku memalingkan kepala.

Kudapati pria berkacamata plus dengan kakinya yang lebih mungil, tapi tidak proporsional tampaknya. Mas Hardjo. Spontan aku langsung menundukkan kepala dan memeluk erat Nick.
“Sandra aku ingin bicara padamu, juga pada Nick.”

***

Lagi-lagi senyum pagi menyambut hariku bersama Nick. Sinar mentari juga masih bisa menjalar masuk menembus kaca apartmentku. Aku tak mau terlambat menghantar Nick di hari pertamanya sekolah.

Nick tampak begitu bersemangat walau jalannya agak sempoyongan. Aku membuka pesan di hp-ku, ternyata Mas Hardjo sudah menunggu di basement apartemen.
Kami memang sudah berjanji untuk bisa berdamai dengan masa lalu. Dia juga menyanggupi diri untuk merawat Nick, walau statusnya bukan lagi sebagai suamiku.

Di perjalanan, kenangan itu terlintas lagi. Kenangan di mana aku melihat Nick begitu bahagianya. Kenangan dimana aku boleh bermimpi dan berdamai dengan masalahku. Mungkin akan beda ceritanya lagi di festival malam Natal tahun depan. 

 

Beda Holy Septianno
HIDUP NO. 52 2018, 30 Desember 2018

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini