Mgr Ignatius Suharyo, Uskup Agung Jakarta : Kepemimpinan Transformatif

866

HIDUPKATOLIK.com – Perubahan terlebih dahulu di mulai dari perjumpaan pribadi dengan Allah, maka dengan sendirinya akan mentransformasi Gereja dan negara.

Sejak tahun 2015 hingga 2020 Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) mengusung tema besar pendampingan pastoral yakni ‘Amalkan Pancasila’. KAJ memilih tema ini karena sejak awal Gereja Katolik menanamkan nilai cinta tanah air. Bayangkan, hanya di negara kita saja yang memiliki prefasi khusus bagi tanah air sehingga menjadi jelas bahwa mencintai tanah air bagi umat Katolik adalah sebuah warisan. Ini adalah karya agung Tuhan sebab mengakibatkan persatuan melalui kesadaran berbangsa dengan semangat keadilan. Maka, salah satu jalan menuju kesucian adalah dengan mencintai tanah air.

Pada Hari Raya Penampakan Tuhan ini umat KAJ mengawali tahun pastoral evangelisasi dengan semboyan “Amalkan Pancasila: Kita Berhikmat, Bangsa Bermartabat”. Setiap tahun umat KAJ diajak untuk merenungkan masing-masing sila. Tahun ini mengambil landasan pada sila keempat dengan gagasan mengambil kata ‘hikmat’. Kita bisa belajar berhikmat dari orang majus yang diceritakan di dalam Injil. Menurut sejarah orang majus adalah orang yang berasal dari suku Median. Pada suatu saat, suku ini ingin merebut kekuasaan dari penguasa Persia tetapi suku Median kalah.

Sejak saat itu, Suku Median tidak memiliki ambisi untuk merebut kekuasaan. Oleh karena itu, yang disebut orang majus ini adalah mereka yang melupakan semua ambisi untuk mencapai kekuasan dan bertumbuh menjadi orang bijak. Mereka menjadi penasihat para penguasa Persia yang memiliki kemampuan untuk membantu mengambil keputusan. Maka tidak mengherankan ketika mereka melihat tanda kehadiran Mesias, mereka berani berjumpa untuk bertemu dengan Yesus Sang Hikmat sejati. Kita ingin supaya seperti halnya para majus dari timur melepaskan ambisi berkuasa memilih berhikmat untuk mencari kebenaran menggaungkan persatuan dengan memegang teguh ingatan bersama untuk mengamalkan Pancasila.

Hikmat itu dapat dilihat secra konkrit melalui kepemimpinan Paus Fransiskus. Majalah TIME pada edisi Desember 2013 menobatkan Paus Fransiskus sebagai orang yang paling berpengaruh di dunia. Hal ini terjadi sebab Paus memiliki gaya kepemimpinan transformatif. Gaya kepemimpinan demikian dapat dibaca dalam skema pertama, Paus memiliki pengalaman dasar yakni pengalaman rohani yang hebat.

Pengalaman ini timbul kala ia mendegar mengenai kisah Matius si pemungut cukai saat berusia 17 tahun. Ia mengalami pengalaman dikasihi oleh Allah Yang Maha Rahim. Dengan demikian, mengubah pandangannya yang membawa ia pada transformasi pribadi sebagaimana tertuang dalam Evangeli Gaudium 47, yaitu Gembala Berbau Domba. Selanjutnya, transformasi ini pun membawa dia pada transformasi institusi.

Konversi ini terlihat ketika Paus memilih tinggal di Domus Santa Marta bukan di istana kepausan. Paus bertransformasi dari kepemimpinan monarkis menjadi kepemimpinan yang bercorak melayani. Artinya Gereja menjadi tempat bernaung bagi umat-umat yang terpinggirkan dan tak pernah disapa. Gerakan ini semakin terlihat dalam prinsip sinodalitas di mana sinode berarti berjalan bersama-sama. Prinsip ini paling jelas dalam Sinode Anak Muda.

Namun yang paling penting orang berhikmat menurut bahasa Gereja adalah pribadi yang membiarkan diri dipimpin oleh Roh Kudus. Maka kita semua menurut bahasa Pancasila dipanggil untuk menjadi pribadi berhikmat sehingga bisa bermusyawarah dan mengambil keputusan bersama. Oleh sebab itu menjadi jelaslah bahwa status dan corak hidup umat Kristiani dipanggil untuk menjadi semakin sempurna di dalam kasih. Panggilan kesucian ini diterapkan melalui panggilan hidup dan jalannya masing-masing.

Felicia Permata Hanggu

HIDUP NO.08 2019, 20 Januari 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini