HIDUPKATOLIK.com – Semangat Marian meneguhkan kehidupan iman mereka di tengah kelompok mayoritas.
JEJERAN pohon hijau menyelubungi tempat-tempat bersejarah di Bukittinggi, Sumatera Barat. Kota indah nan asri itu memiliki situs-situs bersejarah seperti Benteng Fort De Kock, Lobang Jepang, Museum Bung Hatta, Istana Bung Hatta, Taman Margasatwa, dan Budaya Kinantan.
Namun, di tengah menariknya situs sejarah tersebut, terdapat sebuah bangunan kuno yang telah dijadikan cagar budaya. Tempat yang seringkali dijadikan tempat berkeluh kesah umat beriman Katolik itu adalah Gereja St Petrus Claver, Bukittinggi.
Gereja inilah pusat peribadatan bagi umat Katolik di Paroki Bukittinggi. Paroki ini awalnya dibuka oleh para misionaris Belanda pada 4 Oktober 1927. Pada tahun 1960-an, paroki diambil alih pengelolaannya oleh Serikat Xaverian Indonesia hingga saat ini.
Kepala Paroki Bukittinggi Pastor Jose Enrique Sanchez V SX menjabarkan, parokinya membentang dari daerah pusat Kota Bukittinggi hingga daerah Batu Sangkar, Kabupaten Tanah Datar yang berjarak sekitar 50 kilometer.
Untuk umat Katolik sendiri, saat ini Paroki Bukittinggi melayani umat sebanyak 1794 jiwa yang terdiri dari sekitar 280 keluarga Katolik. Umat Paroki Bukittinggi semuanya adalah para pendatang yang mayoritas umat berlatar belakang Suku Batak Toba, Tionghoa, dan Jawa.
Pastor Enrique menuturkan, sejauh ini belum ada penduduk asli Minangkabau yang menjadi Katolik. Kondisi demikian terjadi karena adanya hukum adat yang mengatur ketat kehidupan beragama masyarakat Minangkabau. “Jika orang Minangkabau ingin menjadi Katolik mereka harus meninggalkan tempat tinggalnya,” imbuh imam berkebangsaan Meksiko ini.
Umat Paroki Bukittinggi umumnya adalah pedagang. Walaupun daerah Bukittingi terkenal subur, namun tidak banyak pendatang yang memiliki tanah di daerah ini. Kepemilikkan tanah di daerah ini diatur oleh ada Minangkabau, sehingga hanya penduduk lokal yang dapat memiliki hak atas tanah.
Namun, Pastor Enrique menuturkan, hidup menggereja di tengah mayoritas umat Islam, tidak membuat kegiatan paroki mati. Satu yang istimewa dari paroki ini adalah Patung Bunda Maria Ratu Rosari yang konon hanya ada dua di dunia. Patung ini dibawa oleh seorang Misionaris Xaverian sekitar 60 tahun lalu.
Saat ini, Paroki Bukittinggi ditetapkan oleh Keuskupan Padang menjadi salah satu tempat peziarahan. Pastor Enrique menuturkan, setiap ada umat yang datang dari luar paroki, bahkan dari keuskupan lain, patung Bunda Maria Ratu Rosari berukir kayu putih ini menjadi salah satu daya tarik.
Pada setiap bulan Oktober, umat Paroki Bukittinggi merayakan secara khusus Hari Raya Bunda Maria Ratu Rosari. Perayaan ini diadakan pada setiap minggu kedua di bulan Oktober. Pastor Enrique menuturkan, tradisi ini dipertahankan sejak puluhan tahun lamanya.
“Dahulu perayaan Bunda Maria Ratu Rosari terdapat perarakan, namun sekarang tidak. Umat merayakannya dengan sangat sederhana,” ujar Pastor Enrique. Devosi kepada Bunda Maria di Paroki Bukittinggi menjadi semakin beragam dengan adanya sebuah Gua Maria yang dibangun di belakang bangunan gereja.
Tiga setengah tahun lalu, setelah selesai dibangun, Gua Maria ini diberkati oleh Uskup Padang Mgr Martinus Dogma Situmorang OFMCap pada 16 Mei 2015. Pastor Enrique menuturkan, lokasi gua sengaja ditempatkan di belakang gereja dengan tujuan agar tidak terlalu mencolok.
Meski demikian, ia mengakui bahwa dengan selesainya Gua Maria ini, umat memiliki semakin banyak pilihan tempat untuk berdoa. Di Kota Bukittinggi, umat Katolik memang hidup di tengah mayoritas masyarakat Minangkabau yang beragama Islam.
Namun, Pastor Enrique mengakui, selama ini umat Katolik tidak pernah mendapat perlakuan diskriminasi. Penerimaan ini juga tercermin dari karyawan paroki yang puluhan tahun adalah umat Muslim.
Selain itu, Sekolah Katolik yang terletak di sebelah gereja juga memiliki murid yang 80 persen di antaranya adalah siswa Muslim. “Masyarakat di sini punya jiwa toleransi. Saya punya teman Islam dan mereka baik,” tandasnya.
Felicia Permata Hanggu
HIDUP NO.51 2018, 23 Desember 2018