Rote dan Semangat Oikoumene

830
Uskup Agung Kupang Mgr Petrus Turang meresmikan Stasi St Kristoforus Baa.

HIDUPKATOLIK.com – Berawal dari masuknya saudagar Portugis hingga penjajahan Hindia Belanda, penyebaran Agama Katolik bertumbuh di Tanah Rote.

Kabupaten Rote Ndao adalah kabupaten paling selatan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kabupaten ini merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kapupaten ini terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2002.

Di sini, Agama Katolik turut berkembang ditengah mayoritas penduduk beragama Kristen Protestan. Merujuk pada beberapa catatan sejarah, Agama Katolik di Rote ada sejak abad ke-16, ketika bangsa Portugis datang untuk berdagang rempah-rempah, bersama para misionaris dari Ordo Dominikan. Karya misi yang berpusat di Flores, Solor, dan Timor pada masa itu masih kekurangan tenaga penyebar agama. Hingga pada 3 Desember 1559 Vikaris Apostolik Malaka, Fre Balthazar Diaz, SJ turut mendatangkan imam Serikat Yesus (Societas Jesu/SJ) untuk ikut berkarya di sana.

Pada perkembangannya di tahun 1575 diketahui telah ada stasi yang berdiri di Bima, Sumba, Wetar, Sawu, dan Rote. Kemudian pada 14 April 1630, Miguel Rangel bersama 12 orang turut diutus dari Solor, dua orang diantaranya diutus ke Rote. Setelah dari Rote, keduanya mengunjungi Batu Putih (Amabi-Amarasi).

Pada kisaran tahun 1620-1642, kedatangan misionaris dari Ordo Dominikan (Ordo raedicatorum/OP) dan Serikat Yesus turut mempengaruhi penyebaran agama Katolik di Pulau Rote. Namun, usaha perdagangan dan karya misi tidaklah selalu berlangsung mulus. Di tahun 1652-1853 penyebaran Agama Katolik sempat terhenti dengan kedatangan Belanda (VOC) di Pulau Timor. Termasuk di Pulau Rote yang menerima penyebaran Agama Protestan Calvinis.

Kegiatan misi kembali bergeliat pada tahun 1859. Pada tahun 1865-1912, para imam Serikat Yesus turut didatangkan dari Belanda. Selanjutnya pada tahun 1912 mereka digantikan oleh imam-imam Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini/SVD). Pada 15 Maret 1939, Residen Kupang mengumumkan suatu keputusan sekaligus sebagai izin dari pemerintah untuk membuka sebuah usaha misi di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dan Wilayah Kupang seperti Alor, Pantar, Sabu, dan Rote. Sejak saat itu perkembangan Agama Katolik semakin menampakkan kemajuannya.

Awal Oikoumene
Selanjutnya dari catatan buku Ben Mboi: Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja disebutkan tentang pertentangan antara Agama Protestan dan Katolik di NTT pada tahun 1950/ 1960-an. Tumpang-tindih dengan perbedaan etnik atau sub-etnik: Agama Protestan adalah agama orang Sumba, Rote-Sabu, Timor Kupang, dan Timor Tengah Selatan (TTS), serta Alor Pantar.

Sementara Katolik adalah agama orang Flores, Timor Tengah Utara (TTU), dan Belu. Pembagian ini akibat kontrak yang dibuat pemerintah Hindia Belanda tahun 1913. Portugis juga memainkan peranan terhadap peta agama Timor dan pulau-pulau sekitarnya.

Beruntunglah, karena pada saat bersamaan hiduplah dua makhluk Allah, seorangdi ladang Gereja Protestan bernama Domine Adoe (pendeta di Ba’a, Rote), dan seorang di ladang Katolik bernama Pastor Piet Konijn SVD yang memimpin Paroki Katolik Rote-Sabu. Pada Minggu, Pastor Piet memberi khotbah dalam ibadah Protestan, dan Domine Adoe memberi khotbah dalam Misa di Gereja Katolik.

Karya pastoral kedua insan rohaniwan dari dua Gereja ini berjalan begitu alamiah, tidak atas perintah siapa-siapa, hanya atas naluri masing-masing, mengetahui kedua agama itu berhulu pada satu sumber, yakni Yesus Kristus sendiri. Peristiwa Ba’a ini baru kira-kira 15 tahun kemudian muncul dalam Dokumen Konsili Vatikan II, dan baru menjadi salah satu sikap dasar evangelisasi Katolik, juga di kalangan Protestan.

Selanjutnya penyebaran agama Katolik di Rote diteruskan oleh Pater Piet Konijn SVD (1948), dengan jumlah umat Katolik 18 orang pada masa itu. Di tahun ini pula, baru dibuat Buku Induk Permandian dan nama-nama orang yang dibaptis baru dimasukkan ke dalam buku induk.

Pada perkembangan selanjutnya, Paroki St Paulus Sabu Raijua menjadi paroki yang terpisah dari St Kristoforus Ba’a pada tahun 2003. Paroki ini sebagai pemekaran dari Gereja St Kristoforus, Ba’a. Pada 2015 dibentuklah Paroki St Petrus Pantai Baru Olafuliha’a yang dilayani oleh tiga imam Keuskupan Kupang.

Antonius Bilandoro

HIDUP NO.02 2019, 13 Januari 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini