Vatikan dan Dunia Arab Sepakat: Berhenti Membawa-bawa Tuhan dan Agama

12112
Paus Fransiskus (kanan) memenuhi undangan Presiden Uni Emirat Arab (UAE), Syeikh Khalifah bin Zayid al-Nahyan (tengah) ke Abu Dhabi, ibu kota Uni Emirat Arab (UAE) pada Minggu (3/2/2019); berfoto bersama Imam Besar Al Azhar Dr Ahmed At-Tayyeb (kiri). [dok.ist.]

HIDUPKATOLIK.com –  Sebuah kunjungan dan pertemuan bersejarah antara Petinggi Gereja Katolik Roma dan dunia Arab telah terjadi.

Paus Fransiskus dan Paus-paus sebelumnya pernah melakukan kunjungan ke beberapa negara dan tempat dengan kekentalan Islam Arab tinggi, misalnya Mesir, Marokko, Tunisia, Palestina, dan Libanon, tetapi belum pernah terjadi dengan jazirah Arab yang dikenal sebagai tempat lahir agama Islam.

Pada Minggu malam, 3 Februari 2019, Paus Fransiskus yang sudah cukup lama mengiyakan undangan Presiden Uni Emirat Arab (UAE), Syeikh Khalifah bin Zayid al-Nahyan dan komunitas Katolik di negeri ini, terbang menuju Abu Dhabi, ibu kota (UAE).

Tiba di Bandara Kepresidenan UAE pada malam hari pukul 22.00 waktu Abu Dhabi dan diterima secara sangat hangat dan protokoler.

Dari situ, kegiatan demi kegiatan berlangsung dengan sangat rapih, indah, dan mengesankan hingga beliau tiba kembali di Vatikan pada Selasa, 5 Februari pukul 17.00 waktu Roma dalam keadaan selamat, dengan hati puas, dan bahagia.

Tak disangkal. Lawatan ini diklaim bersejarah dan oleh berbagai alasan, mendapat antusiasme sangat besar di seantero jagat.

Di berbagai TV dan surat kabar serta jalur-jalur media sosial, berseliweran berita-berita kehadiran Paus dan berbagai kegiatan sejak tiba di bandara, dijemput dengan musik khas Arab, hormat salut dari para serdadu, penjemputan di istana kepresidenan disertai dengan semburan asap berwarna kuning dan putih yang melambangkan bendera Vatikan, hingga pertemuan dialog lintas agama di Masjid “Founder’s Memorial”, kunjungan pribadi ke Katedral hingga Misa Raya di Zayed Sports City yang menghadirkan lebih dari 130.000 umat Katolik dan 4.000 umat Islam, hingga acara pamitan untuk kembali ke Vatikan.

Oleh karena kehistorisan lawatan Sri Paus ini, bukan saja untuk beliau dan Gereja Katolik di belakang beliau, tetapi juga untuk pihak UAE, Semenanjung Arab, dunia Arab dan umat Islam sedunia, setiap momen dan peristiwa pertemuan yang sudah diagendakan di atas program menjadi momen-momen sangat istimewa dan berarti.

Setiap tatapan mata, setiap rangkulan, setiap gandengan tangan, setiap kata, setiap isyarat, setiap simbol menjadi tanda istimewa syarat makna, syarat pesan.

Ada banyak klimaks selama kunjungan ini berlangsung. Tergantung dari konteks mana. Tak dipungkiri bahwa misi perdamaian dunia adalah salah satu tujuan utama Paus Fransiskus dalam lawatannya ke Semenanjung Arab kali ini.

Konsernnya tentang perdamaian dunia, tentang dunia yang beradab, dunia yang lebih berperikemanusiaan, dunia yang bebas dari rasa sakit, dan tetes-tetes air mata sudah beliau perjuangkan dari awal pontifikatnya tahun 2013 lalu.

Di berbagai kesempatan beliau menyerukan keadilan sosial, pemerataan, pembangunan, “jembatan” dan bukan “tembok”, kerukunan, perdamaian, dan berbagai opsi kemanusiaan lainnya.

[dok.facebook.com/vaticannews]
Paus Fransiskus tidak hanya berwacana. Dia juga melakukan aksi-aksi nyata untuk itu; mulai dari mencium kaki para pengungsi dan nara pidana dari berbagai latar belakang agama saat upacara Misa Kamis Putih setiap tahun, hingga membawa pengungsi Muslim masuk Vatikan dan makan bersama di satu meja makan dalam rumah kediamannya yang sangat privat.

Berapa miliar umat Katolik ingin makan semeja makan dengan Paus, dan mereka tidak bisa. Jangankan makan bersama. Bersalaman saja sulit bukan main.

Ajaran Kasih Yesus Kristus, Paus Fransiskus simpulkan secara sangat to the point melalui cara hidupnya yang sederhana, lugas, dan konkret.

Inilah jalan hidup yang tepat untuk seorang pemimpin yang datang untuk melayani dan membawa kebahagiaan untuk semua orang, dan bukan sebaliknya untuk dilayani dan untuk bermegah-megah di atas kekayaan yang sering merupakan hasil curian dan rampasan dari keringat rakyat jelata.

Dengan roh dan semangat kesahajaan, seorang pemimpin lebih bisa bersolider dengan manusia-manusia yang ia pimpin. Dengan semangat itu pula, dia lebih mudah mengosongkan diri seraya memberi ruang terlebih dahulu kepada kepentingan umum daripada kepentingan ego.

Itulah sebabnya, mengapa Fransiskus memutuskan untuk memilih perikop Injil Kotbah di Bukit dari Injil Matius, khususnya Sabda Bahagia (Mat. 5:1-12) untuk perayaan Misa akbar di stadion Zayed Sports City yang diklaim sebagai misa raya pertama kali dalam sejarah di semenanjung Arab, dengan khalayak sebanyak itu.

Dalam kesempatan emas itu, beliau tidak hanya ingin menyirami jiwa-jiwa umat di wilayah itu yang oleh karena kondisi tertentu, tidak bisa menghidupi imannya dengan cara semestinya, tetapi juga secara global ingin mengajak semua orang dari berbagai latar belakang iman dan agama untuk menghidupi semangat kesederhanaan dan kesahajaan untuk bisa memberikan lebih banyak ruang kepada kuasa Tuhan.

Tekanan khusus beliau berikan kepada urgensi membawa dan menyebarkan perdamaian (Mat.5:7). Orang yang membawa dan menyebarkan perdamaian, dia bukan saja akan menjadi bahagia, tetapi dia saat ini pula sudah menjadi bahagia.

Orang yang berjiwa damai dan bahagia dengan dirinya, akan bisa membuat orang lain damai dan bahagia. Inilah urgensinya. This is the point! Perdamaian dan kebahagiaan bersama kita butuh sekarang dan di sini. Bukan besok, bukan lusa, bukan tahun berikutnya.

Persaudaraan Universal
Selaras dengan misi perdamaian ini, pada hari kedua, Paus Fransiskus yang sudah cukup lama bersahabat kental dengan Imam Besar al-Azhar, Ahmad al-Tayyib, dalam pertemuan lintas agama di Masjid “Founder’s Memorial” di Abu Dhabi dan di hadapan petinggi UAE serta wakil-wakil dunia Islam dan Katolik, menandatangani sebuah Deklarasi dan Dokumen bersama tentang Persaudaraan Manusia Universal demi kerukunan dan perdamaian manusia sejagad.

Pemimpin Umat Katolik sedunia, Paus Fransiskus (kedua dari kiri) bersama Imam Besar Al Azhar Dr Ahmed At-Tayyeb (ketiga dari kiri) menandatangani dokumen Deklarasi Abu Dhabi, Senin (4/2/2019), disaksikan oleh Perdana Menteri sekaligus Wakil Presiden Uni Emirat Arab (UAE) Sheikh Mohammed bin Rashid Al Maktoum (kanan). [dok.UAE Government]
Urgensitas penandatanganan dokumen bersejarah ini, bukan saja karena fakta kita bersama bahwa relasi antara umat Islam dan umat Kristiani sejak abad ke-7 Masehi sudah dibayang-bayangi oleh kesalahpahaman dan konflik yang sayangnya masih berlangsung di banyak tempat hingga saat ini, tetapi juga karena adanya kesadaran, malah keyakinan, bahwa kalau umat Islam dan umat Kristiani bisa saling menerima satu sama lain sebagai saudara dan saudari, dan dengan itu bisa hidup bersama secara rukun dan damai, maka perdamaian dunia pasti akan dialami.

Mengapa tidak? Menurut statistik terakhir, umat Kristiani dan Islam seluruhnya, termasuk berbagai macam denominasi yang berafiliasi di bawah nama Kristen dan Islam, bersama-sama membentuk lebih dari setengah keseluruhan populasi dunia (7 miliar).

Umat Kristiani seluruhnya berjumlah 2,2 miliar (32.5 % dari keseluruhan populasi dunia). Umat Islam seluruhnya berjumlah 1,5 miliar (21,5 % dari keseluruhan populasi dunia). Artinya, kedua-duanya berjumlah total sebanyak 3,7 miliar orang dari 7 miliar penduduk dunia saat ini.

Dokumen Persaudaraan Manusia dari berbagai latar belakang, termasuk agama, merupakan sebuah panggilan mendesak saat ini.

Menurut Paus Fransiskus dan Imam al-Tayyib yang berbicara atas nama al-Azhar, sebuah institusi prestigius dan ternama di dunia Islam, jalan menuju persaudaraan manusia universal, seperti yang dirumuskan di dalam Dokumen itu, bukan saja dilakukan melalui langkah-langkah penting seperti berhenti menggunakan nama Tuhan untuk menghalalkan kekerasan, terorisme, dan pembunuhan, tetapi juga berhenti menginstrumentalisasi agama untuk kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.

Berhenti pula menekan orang lain dengan menggunakan kuasa yang bekedok agama. Lebih lugas, lebih jelas, dan lebih terang dari ungkapan-ungkapan seperti ini tidak ada lagi.

Anak-anak kecil hingga kakek dan nenek, orang bersekolah dan orang buta huruf bisa memahaminya. Tidak butuh interpretasi, tidak butuh penjelasan. Berhenti artinya berhenti.

Kalau dua tokoh besar dunia sudah sepakat seperti itu dan dimeterai pula hitam di atas putih, dan mereka berbicara atas nama begitu banyak orang, disaksikan petinggi-petinggi kedua agama, dan ini dimaksudkan semata-mata untuk kebaikan bersama, tinggal saja kita ikuti.

Mari kita mulai bersama. Mari kita sejukan dunia ini bersama-sama.
Pastor Markus Solo Kewuta, SVD, Ph.D.
(Ahli Islamologi. Kini bertugas sebagai Direktur Eksekutif Desk Islam di Asia dan Pasifik serta Wakil Presiden Yayasan Nostra Aetate pada Dewan Kepausan untuk Dialog Antar Umat Beragama di Vatikan)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini