Revitalisasi Keadaban Publik

144

HIDUPKATOLIK.com – Peradaban, keadaban, dan adab merupakan tiga kata penting dalam genre literatur bagi para pemikir dunia dari dulu, saat ini dan pada masa mendatang. Dalam perspektif pemikir dunia, peradaban merupakan identitas hasil budidaya manusia berupa nilai-nilai, tatanan, seni budaya ataupun ilmu pengetahuan dan teknologi, yang teridentifikasi dan terungkap melalui unsur obyektif umum yakni bahasa dan sejarah. Dalam perspektif perilaku manusia (human behaviour) terejawantahkan dalam pikiran, perbuatan dan perilaku. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, KBBI, keadaban itu sendiri memiliki arti ketinggian tingkat kecerdasan lahir batin; kebaikan budi pekerti (budi bahasa dsb) sedangkan adab merupakan norma atau aturan mengenai sopan santun yang didasarkan aturan agama. Norma ini digunakan dalam pergaulan antar manusia, antar tetangga dan antar kaum (Departemen Pendidikan Nasional, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, 2008).

Baru-baru ini Azyumardi Azra menyoroti kemerosotan keadaban publik dalam masyarakat masa pasca-Orde Baru sebagai masalah pokok yang dihadapi bangsa Indonesia. Beliau mencontohkan kemerosotan publik, “di mana-mana orang bisa menyaksikan pelanggaran keadaan publik, mulai dari pengendara yang tidak peduli dengan ketentuan lalu lintas, membuang sampah di jalan tol, buang air kecil di pinggir jalan, tidak mau tertib antrean sampai kepada pencurian aset publik yang lebih dikenal sebagai korupsi”. Pengalaman yang kita saksikan, anehnya, orang Indonesia kalau berada di luar negeri bisa disiplin dan patuh tetapi di negara sendiri bertindak sebaliknya. Apa yang salah di balik ini? Tentu sanksi yang tidak tegas karena selalu ditolerir, dipermainkan dan bahkan disogok turut pula menyuburkannya.

Kemerosotan publik disebutkan di atas, tentu perlu mendapat perhatian dari semua pihak khususnya bagi pemangku pembinaan moral dan karakter manusia. Tiga jalur pendidikan formal, pendidikan non-formal dan pendidikan informal harus mampu mengatasi hal ini dan jalur khusus pendidikan agama diharapkan mampu menjawab persoalan ini. Berbagai kebijakan, strategi dan upaya-upaya sudah ditempuh oleh pemerintah dan tokoh-tokoh agama di Indonesia, hanya saja tingkat kesadaran oknum manusia yang masih rendah.

Revitalisasi kemerosotan keadaban publik harus dilakukan berkesinambungan. Pengungkit (leverage) adalah keteladanan. Keteladanan yang bermakna “patut ditiru” atau “patut dicontoh” adalah wujud tindakan atau perbuatan sebagai hasil budidaya manusia yang dicirikan adanya nilai-nilai kehidupan baik (good values of life), adanya keramahan dan kesantunan yang terungkap dalam komunikasi pergaulan hidup sehari-hari serta diterima baik oleh komunitas publik.

Secara historis, sopan santun telah lama tumbuh, terjalin dan berkembang dalam budaya masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia yang dikenal dengan keramahtamahannya telah membuat para turis mancanegara banyak berkunjung ke Indonesia. Orang asing yang terbiasa bersikap individual di tempat asalnya terpesona dengan budaya Indonesia yang memiliki rasa kebersamaan yang tinggi, suka tersenyum, mau menyapa, mau menolong, peduli dan terbuka dan lain-lain merupakan modal besar.

Secara khusus tentang pencurian aset publik yang identik dengan korupsi selalu kita baca dan tonton di media sosial. Berbagai perilaku koruptif dipertontonkan di hadapan publik oleh para koruptor yang masih bisa tampil segar dengan wajah senyum seperti tidak ada beban bagi dirinya bahwa perbuatannya sudah menunjukkan kemerosotan keadaban publik bahkan seperti tidak ada dosa di balik perbuatan tersebut. Filsuf dan budayawan Franz Magnis Suseno setelah menerima penghargaan Bintang Mahaputra Utama tahun 2015 yang lalu menyuarakan pentingnya perhatian pemerintah memberantas korupsi di Indonesia. Intinya revitalisasi.

Prof. Dr. Drs. Sihol Situngkir

HIDUP NO.52 2018, 30 Desember 2018

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini