Petrus Maria Handoko CM : Mempertahankan dan Mengembangkan Hidup

1320

HIDUPKATOLIK.com – Cara Gereja menyikapi persoalan bunuh diri mengalami perubahan. Hal ini perlu dicermati dan disosialisasikan kepada pastor dan umat. Jangan cepat menghakimi.

Ajaran dan sikap pastoral Gereja soal bunuh diri sudah amat jelas. Namun masih saja terjadi perbedaan sikap pastoral di lapangan. Apa penyebabnya? Berikut nukilan wawancara dengan Pastor Handoko melalui surat elektronik, Kamis, pekan lalu.

Di antara para gembala umat, ada perbedaan pelayanan pastoral dalam kasus bunuh diri, ada yang mau melayani ada pula yang menolak secara keras. Apakah memang terjadi perubahan ajaran Gereja?

Sejauh mengenai ajaran tentang bunuh diri, Gereja tak melakukan perubahan. Bunuh diri tetap dipandang sebagai dosa berat. Gereja mengajarkan, “Bunuh diri adalah pelanggaran berat terhadap keadilan, harapan, dan cinta kasih. Ia dilarang oleh perintah kelima.” (KGK 2325) Hidup yang dinikmati manusia adalah anugerah Tuhan dan milik Tuhan, bukan milik manusia. Sebagai penerima “titipan” itu, manusia berkewajiban untuk mempertahankan dan mengembangkan hidup itu (KGK 2280).

Tindakan bunuh diri adalah pelanggaran berat terhadap cinta diri yang benar, cinta kepada sesama dan sekaligus cinta kepada Allah, Sang Pemberi Hidup (KGK 2281). Tidak ada alasan apapun yang bisa membenarkan tindakan bunuh diri yang dilakukan secara tahu dan mau, termasuk tujuan memberi teladan (KGK 2282).

Dalam Ensiklik Evangelium Vitae (diterbitkan 25 Maret 1995), Paus Yohanes Paulus II menegaskan ulang ajaran Gereja ini bahwa secara obyektif, bunuh diri adalah tindakan dosa berat yang tak dapat diterima dalam Gereja seperti halnya pembunuhan. Pada prinsipnya, tindakan bunuh diri merupakan penolakan kedaulatan mutlak Allah atas hidup dan maut (EV 66).

Kalau ajaran Gereja tetap sama, dari mana munculnya perbedaan sikap pastoral para gembala dan pemuka umat ?

Memang benar, Gereja tetap memandang tindakan bunuh diri sebagai dosa berat, tapi dalam menyikapi peristiwa bunuh diri, Gereja mengalami perubahan cukup berarti, dan karena itu perlu dicermati. Dalam Katekismus yang diterbitkan tahun 1993, perubahan ini tampak dalam ungkapan Gereja: “gangguan psikis yang berat, ketakutan besar, atau kekhawatiran akan suatu musibah, akan suatu kesusahan, atau suatu penganiayaan, dapat mengurangi tanggung jawab pelaku bunuh diri” (KGK 2282).

Sebenarnya, perubahan ini sudah diawali dalam Kitab Hukum Kanonik yang diterbitkan tahun 1983. Perubahan sikap Gereja ini menjadi lebih jelas jika kita membandingkan antara KHK tahun 1917 dan KHK tahun 1983 dalam hal Misa Requiem dan pemakaman gerejawi bagi orang yang bunuh diri. Dalam KHK tahun 1917 Kan. 1240 #1, 3 semua tindakan mengakhiri nyawa sendiri langsung dikategorikan sebagai tindakan bunuh diri secara tahu dan mau dan karena itu orang yang bunuh diri dinilai sebagai pendosa-pendosa nyata (Latin, peccatores manifesti). Akibatnya, bagi semua orang yang bunuh diri berlakulah larangan eksplisit untuk diberikan Misa Requiem dan pemakaman secara Katolik.

Sangat menarik kalau kita mencermati KHK 1983 tentang “pengabulan atau penolakan pemakaman gerejawi” (KHK Kan 1183-1185). Kan 1184 mengatur tentang penolakan pemakaman gerejawi, yang berlaku bagi mereka yang murtad, menganut bidaah dan skisma, mereka yang memilih kremasi jenazah karena alasan yang bertentangan dengan iman kristiani, serta bagi para pendosa-pendosa nyata (peccatores manifesti) lain yang tak bisa diberi pemakaman gerejawi tanpa menimbulkan skandal publik bagi umat beriman.

Kanon ini tak lagi mengikutsertakan secara eksplisit orang yang bunuh diri seperti yang dilakukan oleh KHK 1917. Penghapusan ini harus dimaknai sebagai kehendak Gereja untuk tak serta-merta menilai semua kasus bunuh diri sebagai peccatores manifesti, yaitu mereka yang berdosa dengan menolak iman secara eksplisit dan publik. Karena itulah, diperlukan penilaian lebih cermat kasus per kasus, maka ditambahkanlah Kan 1184 #2 “Jika ada suatu keraguan, hal itu hendaknya dikonsultasikan kepada Ordinarius Wilayah yang penilaiannya harus dituruti.”

Gereja tak boleh mengkudungkan kemampuannya untuk menyatakan belas kasih Allah, yaitu dengan meneliti apakah benar kematian itu sungguh-sungguh dilakukan karena perbuatan bunuh diri secara obyektif. Belas kasih Gereja harus dinyatakan dengan memeriksa apakah bunuh diri itu dilakukan secara tahu dan mau sehingga bisa dikategorikan sebagai perbuatan melawan iman.

Apa yang melatari perubahan sikap Gereja ini?

Perubahan sikap pastoral terjadi karena Gereja menyadari, banyak kasus bunuh diri tak selalu sebagai tindakan yang tahu dan mau secara obyektif. Secara psikologis, banyak orang bunuh diri karena stres sangat berat atau kekecewaan mendalam, sehingga mereka tak bisa lagi menggunakan akal sehat.

Beban ekonomi, beratnya tanggungjawab moral dan kesendirian bisa saja menjebak orang-orang itu pada lorong gelap tak berujung dan penuh ketidakpastian. Maka perbuatan orang yang stres, secara moral bukan lagi perbuatan secara tahu dan mau. Keadaan subyektif yang berat itu “dapat mengurangi tanggung jawab pelaku bunuh diri” (KGK 2282).

Dalam kasus bunuh diri yang sulit ini, Gereja mengingat belas kasih Allah yang sedemikian besar. Maka diharapkan kita sendiri “tak kehilangan harapan akan keselamatan abadi bagi mereka yang telah mengakhiri hidupnya. Dengan cara yang diketahui Allah, Ia masih dapat memberi kesempatan kepada mereka untuk bertobat supaya diselamatkan.” Belaskasih Allah yang sedemikian itu menuntut Gereja untuk “tetap mendoakan mereka yang telah mengakhiri kehidupannya.”

Jika ajaran Gereja tentang bunuh diri dan sikap pastoral Gereja sudah sedemikian jelas, mengapa masih ada perbedaan sikap petugas pastoral di lapangan?

Perbedaan seperti itu sangat mungkin terjadi karena kurang sosialisasi perubahan sikap pastoral Gereja yang tercermin dalam perubahan Hukum Gereja seperti dikemukakan sebelumnya. Jika terjadi pada para pastor, mungkin karena pendidikan di seminari tinggi, penjelasan tentang KHK Kan 1183-1185 dan KGK 2282 belum pernah dibahas atau dijelaskan. Maka, sikap pastoral para pastor hanya mengikuti tradisi lama.

Kiranya perlu juga mensosialisasikan ajaran Gereja ini kepada umat, terutama para pemuka umat agar dapat menjadi perwujudan konkrit belas kasih Allah, terutama keluarga yang ditinggalkan. Seringkali para pemuka umat bersikap lebih keras dan lebih “kejam” daripada para gembala, karena mereka merasa sudah senior dan lebih tahu kebiasaan dalam Gereja.

Pelayanan pastoral apa yang boleh diberikan kepada korban?

Pelayanan pastoral untuk orang yang bunuh diri tak bisa dilepaskan dari konteks, yaitu lingkungan umat di mana dia hidup dan berada. Pelayanan kepada mereka dapat dimaknai oleh umat sebagai cermin pandangan Gereja terhadap kasus bunuh diri. Ada nilai pedagogi umat yang selalu harus diikutsertakan dalam pertimbangan memberikan pelayanan pastoral.

Demi mencegah memberi batu sandungan bagi umat yang lemah, seolah tindakan bunuh diri itu diterima oleh Gereja dan baik-baik saja, menurut saya, tetap diperlukan perbedaan dalam pelayanan pastoral kepada orang yang bunuh diri. Perbedaan itu diperlukan untuk mendidik agar umat juga belajar bahwa bagaimanapun peliknya situasi hidup seseorang, tindakan bunuh diri tetap bukanlah jalan keluar yang direstui Gereja.

Jadi, jika menurut Ordinarius Wilayah, sebuah kasus bunuh diri adalah benar-benar merupakan secara subyektif kasus bunuh diri atau penolakan iman Kristiani, maka pemberian pemakaman gerejawi dan Misa pemakaman sungguh-sungguh dilarang (KHK Kan 1185).

Selama upacara pemakaman gerejawi, baik juga bahwa imam tetap hadir sebagai tanda solidaritas, dukungan, dan penghiburan bagi keluarga yang berduka. Situasi itu akan memberi pengajaran bagi umat bahwa Gereja berbelaskasih dan solider dengan keluarga yang ditinggalkan tapi tetap tegas menolak bunuh diri.

Apakah umat bisa atau boleh mempersembahkan intensi Misa untuk korban?

Selain upacara pemakaman gerejawi, tak ada larangan atau hambatan untuk mendoakan arwah orang yang bunuh diri. Karena itu, kita selalu boleh mempersembahkan intensi Misa. Dalam intensi Misa pastor boleh menyebutkan intensi untuk arwah orang yang bunuh diri itu secara publik dan eksplisit. “Gereja berdoa bagi mereka yang telah mengakhiri kehidupannya” (KGK 2283).

Hal ini sekali lagi menegaskan harapan Gereja akan keselamatan abadi bagi mereka yang telah mengakhiri hidupnya. Pembacaan intensi Misa secara terbuka justru akan berdampak positif kepada umat, yaitu menyadarkan mereka bahwa orang yang bunuh diri itu masih banyak membutuhkan doa-doa kita yang masih hidup ini.

Apa pesan untuk para pastor, umat dan keluarga yang kebetulan menghadapi situasi ini?

Para pastor adalah ujung tombak Gereja dalam membimbing umat. Sikap gembala umat seringkali dimaknai sebagai sikap Gereja. Karena itu, perlu selalu meng-update pengetahuan pribadi tentang bagaimana sikap Gereja. Sikap gembala bukanlah mana suka atau minat pribadi.

Dalam kasus bunuh diri, para gembala berhadapan dengan keluarga korban dan umat lain. Kepada keluarga korban, perlu diberikan sikap ikut prihatin, mendukung dan berbelas kasih dalam menghadapi saat-saat sulit. Di lain pihak, sikap gembala dalam menangani kasus bunuh diri ini juga bisa “dibaca” oleh umat sebagai sikap Gereja tentang bunuh diri.

Keluarga perlu diajak memahami situasi subyektif korban, dan “kebuntuan” yang dihadapinya sehingga mengambil jalan pintas. Tanpa meremehkan, seolah tindakan bunuh diri itu baik-baik saja, keluarga perlu diajak untuk percaya kepada belas kasih Allah. Umat juga perlu percaya pada Kerahiman Tuhan sebagai Bapa yang terus menyertai dan menguatkan umat-Nya dalam kasus seberat apapun. Jangan sampai kehilangan harapan pada Tuhan dan cinta kasih-Nya.

Dalam menghadapi kasus bunuh diri, jangan cepat menghakimi. Perlu selalu memperhitungkan belas kasih Allah dan menjadi sarana perwujudan belas kasih-Nya untuk sesama, terlebih bagi mereka yang sangat menderita dan tertimpa “situasi jalan buntu”.

Yanuari Marwanto / Hermina Wulohering

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini