Don Bosco Selamun : Media Menawarkan Pilihan

1854
Don Bosco Selamun.
[marketeers.com]

HIDUPKATOLIK.com – Bekerja di institusi yang membuat demokrasi berkembang memberinya kepuasan tersendiri. Ia tak bisa membayangkan demokrasi berkembang tanpa peran media.

Mentari belum muncul dari balik perbukitan di Lembor, Manggarai Barat, Flores. Don Bosco Selamun dan beberapa temannya telah bersiap menempuh perjalanan jauh meninggalkan kampung halaman, kembali ke rumah kedua, Seminari Pius XII Kisol yang berjarak 120 kilometer. Dengan bekal secukupnya, Don dan beberapa temannya berjalan kaki sambil membawa oleh-oleh dan kebutuhan di seminari.

Hari sudah gelap, namun baru setengah perjalanan yang ditempuh. Para seminaris itu harus bermalam di rumah warga. Keesokan harinya, mereka melanjutkan sisa 60 kilometer dengan menumpang truk.

Don sebenarnya kecil tidak bercita-cita menjadi pastor. Namun, sebagai putra tunggal dalam keluarga, ia harus mendapatkan pendidikan terbaik. Ia justru ingin mengikuti jejak sang ayah menjadi kepala desa. Lulus SMA seminari, Don ingin melanjutkan pendidikan terkait pembangunan masyarakat desa di Yogyakarta. Namun, karena terlambat ia memutuskan untuk kuliah di Malang, Jawa Timur mempelajari ilmu hukum.

Karier Jurnalistik
Saat kuliah di Malang inilah, ketertarikan Don pada dunia jurnalistik dimulai. Saat itu, ia aktif di majalah Paroki Hati Kudus Yesus Kayutangan Malang. Pada suatu kesempatan, ia menjadi perwakilan paroki untuk ikut sebuah pelatihan jurnalistik di Institut Pastoral Indonesia Malang. Ia mengingat, saat itu tim pengajarnya berasal dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Selain itu ada juga beberapa wartawan.

Aktivitas jurnalistik Don juga dilakukan di kampus. Ia bergabung dengan pers mahasiswa. Sebelumnya di seminari, ia juga aktif mengurusi majalah dinding. Keteribatan dalam komunitas-komunitas jurnalistik ini menjadi ruang baginya untuk learning by doing.

Begitulah, saat Don lulus kuliah, ia tidak memilih melamar kerja di sebuah kantor hukum. Saat itu, ia sudah berniat menapaki karier di dunia jurnalistik. Koran Prioritas menjadi “redaksi” pertamanya. Di awal karier ini, ia merasakan pengaruh pemerintah yang sangat ketat pada media. Ia mengingat, media tidak bergerak sebebas saat ini.

Di Prioritas, selain meliput, ia menangani rubrik opini dan ikut memeriksa tajuk rencana. Namun, baru setahun bekerja sejak 1986 koran itu dibredel. Ia lalu mengikuti pendirinya dan bergabung di Media Indonesia. Di sana, ia bertugas menulis editorial. Rubrik ini ternyata mendapat perhatian penuh dari pimpinan. Beruntung, Media Indonesia bisa bertahan bahkan hingga kini.

Sepuluh tahun dihabiskan Don menjadi wartawan cetak. Namun, ia ingin tantangan lain. Maka, ia pun hijrah ke dunia pertelevisian. Surya Citra Televisi (SCTV) menjadi perhentiannya yang pertama di dunia “layar kaca”. Saat itu, ia bergabung dalam program berita. Bagi seorang wartawan cetak, bukan perkara mudah baginya untuk beradaptasi menjadi wartawan TV. “Hal terberat bagi saya adalah mengubah cara berpikir naskah ke cara berpikir visual,” kenangnya.

Di dunia ini, Don pun nyaris menyerah. Apalagi tantangan yang dihadapai juga tidak mudah. Satu kali pada 17 Mei 1998, ia menjadi produser di sebuah program berita. Dalam salah satu programnya, ia menampilkan hasil wawancara dengan Sarwono Kusumaatmaja yang adalah Menteri Lingkugan Hidup ketika itu.

Saat itu, Sarwono terlalu keras mengritik presiden, Sarwono mengibaratkan negara sedang mengalami sakit gigi dan untuk menyembuhkannya, gigi harus dicabut. Program itu pun berbuntut cukup berat. Don diskors karena wawancara “cabut gigi” itu. “Pengalaman itu tak pernah saya lupakan,” ujar Don

Kembali Lagi
Tahun 2004, Don pindah ke MetroTV. Di sana, ia didapuk menjadi Pemimpin Redaksi televisi berita nasional pertama itu. Meski tak lama, banyak hal yang menandai kehadirannya. Pada pemilihan presiden 2004, MetroTV menjadi televisi pertama yang menggelar quick count. Saat itu hasil perhitungannya tidak jauh berbeda dari versi Komisi Pemilihan Umum.

Pada akhir tahun yang sama, gempa dan tsunami dahsyat meluluhlantakkan Aceh. Metro TV merilis tagline “Indonesia Menangis”. Ia dan timnya bekerja ekstra untuk pemberitaan dan upaya penggalangan dana. Ia bahkan melewatkan malam pergantian tahun di newsroom. Tak sia-sia, timnya berhasil menghimpun dana Rp 5 miliar dan bantuan logistik yang dikirim hingga puluhan kapal. “Salah satu hal yang membuat puas dari pekerjaan ini adalah apa yang kita sampaikan berdampak baik bagi publik,” ujarnya.

Kepuasan batin yang diperoleh dalam dunia jurnalistik jelas bukan tanpa risiko. Pada Februari 2005, sebagai Pemimpin Redaksi ia menugaskan dua wartawan yang kemudian disandera kelompok Brigade Mujahidin dalam gua kecil di tengah gurun di Irak. Atas tragedi itu, ia sangat menyesal. “Waktu itu keduanya sudah mau pulang ke sini, tapi saya suruh kembali lagi. Tidak pernah saya punya perasaan bersalah sebesar itu,” kenangnya. Beruntung, kedua wartawan dapat kembali dengan selamat.

Don kemudian meninggalkan MetroTV karena terpilih menjadi komisioner Komisi Penyiaran Indonesia periode 2007-2010. Belum purna masa bhakti, ia meninggalkan lembaga itu dan kembali ke SCTV pada tahun 2009. Setelah itu, “pelayaran” Don di dunia televisi masih berlanjut. Ia diminta merintis Berita Satu TV karena merasa cocok dengan gagasan James Riady CEO Lippo Group yang menjadi pemilik stasiun televisi baru itu. “Saya merasa klik karena berbicara tentang media yang betul-betul independen, tidak berafiliasi pada kekuatan politik tertentu,” ujarnya.

Ketika mulai merintis, Don menanggalkan nama besarnya bersama stasiun televisi lain yang sebelumnya. Sebagai sebuah rintisan, pekerjaannya di sini cukup berat. Ke mana pun ia pergi, ia membawa kartu nama dan dengan mantap memperkenalkan diri. Semangat ini juga yang ia tularkan kepada reporter dan karyawan. Stasiun televisi ini pun masih bertahan hingga kini.

Setelah lima tahun bersama, Don meninggalkan Berita Satu TV. Ia kembali ke MetroTV. Banyak pihak yang mengomentari independensi Metro TV. Namun menurut Don, media harus memihak pada kepentingan publik. “Itu school of thoght saya. Kita harus mempunyai dan bisa mengelola media yang mampu menawarkan pilihan kepada publik,” katanya menerangkan. Pilihan yang disuguhkan media, baginya, haruslah pilihan yang baik.

Harus Mencerdaskan
Don berusaha menyajikan alternatif, perspektif, dan fakta. Dengan itu publik dapat mengambil sikap yang tepat terhadap suatu peristiwa. Fakta maupun perspektif yang dipilih harus mempunyai makna dan menjadi penting untuk publik agar bisa berdampak baik. “Kalau ada yang buruk bisa dicegah, kalau harus memilih maka memilih yang terbaik dari yang baik.”

Melalui sajian apapun, bagi Don, secara tidak langsung media harus mencerdaskan audiensnya. Namun, ia tak menampik bahwa berada di newsroom itu harus mempunyai latar dan ideologi yang sama, yaitu gagasan kebangsaan, pluralisme, dan nasionalisme.

Pada masa awal Don kembali, MetroTV kerap diguncang aksi pemboikotan. Baginya itu memperlihatkan bahwa di negara ini ada bermacam-macam orang. Isu itu memang bukan hal yang mudah. Namun, baginya yang terpenting adalah tetap pada keyakinan apa yang kita anggap benar. Ia juga mengatakan bahwa pemboikotan itu tak ada pengaruhnya pada penonton. “Penonton stabil, share dan rating stabil. Ini kan tergantung pada nilai berita, dan kita tidak bisa memaksa orang menonton kita, sama juga tak efektif ketika memaksa orang memboikot kita,” tuturnya.

Tiga puluh dua tahun sudah Don menggeluti dunia jurnalistik. Baginya pekerjaan ini unik. Tidak banyak pekerjaan yang adiktif, membuat ketagihan. Bekerja di institusi yang membuat demokrasi berkembang memberinya kepuasan tersendiri. Ia meyakini, ini menjadi bagian terbesar dari jasa media. Ia tidak bisa membayangkan, demokrasi berkembang tanpa media, dengan segala kekurangannya. “Saya kira Yang di Atas sudah menempatkan saya di sini. Saya menikmati kepuasaan lahir batin di sini,” ungkap umat Paroki Santo Servatius Kampung Sawah, Jakarta Timur ini.

Don Bosco Selamun

Lahir : Bonda, Manggarai, 21 April 1958
Istri : Avelina Syuryamun
Anak : Yohanes Baptista Durman Selamun, Karolina Diawela Selamun, Yonathan Abraham Selamun

Hermina Wulohering

HIDUP NO.51 2018, 23 Desember 2018

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini