Artha Meris Maria Magdalena Simbolon : Memuji Tuhan, Memperhatikan Sesama

994
Artha Meris Maria Magdalena Simbolon.
[HIDUP/Yanuari Marwanto]

HIDUPKATOLIK.com – Natal dalam tahanan tak lekang dalam ingatannya. Sempat terpuruk. Namun, banyak hal yang ia pelajari dan dapat dari balik jeruji besi. Kebesaran Tuhan ia rasakan di sana.

Meris, demikian panggilannya, lahir dan tumbuh dalam lingkungan keluarga Katolik. Hingga kini, ia tetap memegang teguh keyakinannya itu. Kendati demikian, menurut umat Paroki St Bonaventura Pulomas, Keuskupan Agung Jakarta itu, Desember tahun ini baru merupakan perayaan Natal kedua dalam hidupnya. “(Desember) Nanti akan menjadi Natal kedua bersama anak saya, setelah saya keluar dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas),” ujar ibu dengan satu putri ini, saat ditemui di sebuah hotel bintang lima di wilayah Jakarta Pusat, pertengahan November lalu.

Desember empat tahun lalu, kenang Meris, dirinya menjadi penghuni Lapas kelas II A Tangerang. Di sana, ia tinggal bersama sekitar 350 warga binaan dengan aneka persoalan serta masa hukuman berbeda-beda. Ada yang menjalani hukuman di bawah lima tahun, tapi ada juga yang diganjar hukuman mati. Ada warga binaan yang kerap dikunjungi keluarganya, namun ada juga yang sama sekali terlupakan oleh keluarganya.

Meris termasuk warga binaan yang cukup beruntung di sana. Ia sering dikunjungi keluarganya, terlebih pada hari raya keagamaan, seperti Natal. Ia menyadari tak sedikit warga binaan yang tak seberuntung dirinya. Maka, saban kali kesempatan itu datang, ia selalu mengajak teman-temannya untuk berkumpul bersama keluarganya. “Saya selalu berinisiatif mengajak teman-teman yang tak dikunjungi keluarganya, apa pun agama mereka, untuk berkumpul bersama keluarga saya. Agar mereka tak kesepian dan tetap merasa diperhatikan keluarga,” ungkap anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Marihad Simon Simbolon dan Anna Mutiara Nainggolan itu.

Kunjungan Uskup
Selama berada di dalam Lapas, salah satu pengalaman berkesan Meris adalah perayaan Natal tahun 2016. Dia sama sekali tak menyangka, Uskup Agung Jakarta, Mgr Ignatius Suharyo, mengunjungi Lapas dan merayakan Misa Natal bersama warga binaan. Misa berlangsung secara konselebrasi dengan tujuh imam kala itu.

Kunjungan Mgr Suharyo bak magnet, kata Meris beranalogi. Menurut pengakuannya, hampir seluruh mata warga binaan tertuju kepada Bapa Uskup. “Kami tak hanya melihat Mgr Suharyo sebagai uskup. Lebih dari itu, kami memandang dan merasakan kehadiran Bapa Uskup seperti Tuhan Yesus sendiri yang mengunjungi langsung umat-Nya,” kenangnya, terharu.

Menurut Meris, tiga kali merasakan Natal di Lapas, tahun itu untuk pertama kalinya ia merayakan Natal secara Katolik. Ada Misa Natal dan dipimpin langsung oleh uskup. Perayaan sebelumnya dibuat secara ekumenis. “Kami semua terpukau (dengan kunjungan uskup). Kami pikir bakal sulit bertemu beliau, ternyata bisa berjumpa dengan Bapa Uskup di Lapas. Saking takjub (melihatnya), kami lupa yang beliau sampaikan dalam khotbah,” ungkap kandidat 100 CEO wanita termuda terbaik versi Ernst & Young 2013, sembari terkekeh.

Suster Adelbertha Rajagukguk KSFL, salah satu pembimbing rohani Meris, mengatakan, kunjungan uskup, para imam, dan keluarga membawa sukacita bagi para warga binaan. Suasana itulah yang terpacar dalam setiap perayaan Natal. Seperti Yesus yang datang ke dunia dan membawa kegembiraan bagi setiap manusia.

Selain bertemu Mgr Suharyo, Meris juga mendapat sebuah buku dan rosario merah-putih dari uskup. Rosario itu menjadi sarana doanya saban hari. Rosario itu pula yang menjadi pegangan ketika seorang teman Meris terbaring sakit. Soal itu, ia mengakui, sempat setengah hati untuk meminjamkan rosario pemberian uskup kepada temannya, sesama warga binaan, yang gering. Sebab, beberapa rosario lain miliknya, yang pernah ia pinjamkan kepada teman-temannya tak pernah kembali.

Meris tak ingin satu-satunya buah tangan uskup bernasib sama dengan rosario lain miliknya. “Meski akhirnya saya meminjamkan, tapi semula sempat ragu. Masa saya harus masuk Lapas kembali hanya demi mendapatkan rosario lagi dari uskup,” tutur Meris, tertawa.

Wali Baptis
Hari-hari Meris di dalam Lapas banyak diisi dengan kegiatan rohani, seperti berdoa, adorasi, pendalaman iman, dan membaca Kitab Suci. Semua kegiatan itu nyaris tak pernah ia sentuh kala di luar. Kehidupannya saat itu hanya berkutat pada pekerjaan. Sebab, ia memiliki dan memimpin sejumlah perusahaan.

Meris mengakui, hal itu juga yang membuat relasi dengan anak semata wayangnya kurang terlalu kuat. “Saya pergi pagi, pulang malam bahkan dini hari, putriku sudah tidur… (semua) demi prestasi, harga diri, terkenal, dan sukses,” ujar alumnus Perth University Australia dan Washington University Amerika ini, mengakui.

Semua yang ia perjuangkan raib. Ia harus mendekam di bui. Ia amat terpukul dengan peristiwa itu. Akan tetapi, ada hikmah yang ia petik dari tragedi itu. Tuhan masih menyelamatkan hidupnya dan keluarganya. “Beruntung, saya tidak gila karena peristiwa ini,” ujarnya.

Meris pun bersyukur, Tuhan selalu menjaga putrinya. Selama ia berada di dalam tahanan, putrinya tinggal bersama nenek dan kakeknya. Buah hatinya, diakui Meris, tumbuh menjadi pribadi yang tegar, mandiri, dan berprestasi. Keutamaan semua itu menurutnya berkat penyertaan dan perlindungan Tuhan untuk putrinya.

Titik balik iman dan pandangan hidupnya terjadi selama di Lapas. Meris yang dulu semata-mata mengandalkan keuletan dan kepandaiannya akhirnya menyadari, semua kemampuan yang ia miliki takkan berarti apa pun bila Tuhan berkehendak lain atas dirinya. Seluruh pengalaman dan refleksinya selama berada dalam tahanan, ia lukiskan dalam syair lagu.

Karya tersebut bisa didengar dalam album rohani perdananya Maria Magdalena. Produksi dan peluncuran albumnya itu terjadi ketika Meris menghirup “udara bebas”. Seluruh hasil penjualan album ia donasikan untuk sebuah panti asuhan di Jakarta Timur dan kegiatan para warga binaan di Lapas Wanita Tangerang.

Meris juga mengakui, dirinya mampu bermain organ berkat latihan di Lapas. Namun, dari semua itu, yang paling membekas dalam benaknya adalah saat seorang warga binaan meminta ia menjadi wali baptisnya. Warga binaan itu bernama Merry Utami. Ia divonis hukuman mati atas kasus narkotika dan obat-obatan terlarang.

Meris kaget ketika Merry mengajukan permintaan itu kepadanya. Meris merasa dirinya tak layak dan tak sanggup mengemban amanah itu. “Siapakah aku ini, Tuhan?,” tanya Meris dalam hati, mengenang permintaan temannya waktu itu.

Sang ibu dan Romo Y.D. Dedie Kurniadi OFM, pemimpin Panti Asuhan Vincentius Putra sekaligus pembimbing rohani Meris menasehatinya. Ia akhirnya menerima tanggung jawab itu. Saat Merry dipindahkan ke Nusa Kambangan untuk dieksekusi, Meris mengumpulkan warga binaan untuk mendoakan Geralda Maria Mery Utami. Eksekusi itu batal terjadi hingga kini.

Udara Bebas
Setelah menghirup “udara bebas”, Meris bernazar untuk lebih memperhatikan sesamanya yang kurang beruntung. Salah satu bentuk perhatiannya itu adalah mendonasikan seluruh hasil penjualan album perdananya untuk anak-anak panti asuhan dan bekas temannya di Lapas Tangerang.

Selain itu, dengan talenta bermusik yang dimiliki, Meris ingin memuliakan kebaikan Tuhan atas hidupnya serta menghibur mereka yang bersedih. Kini, ia membangun “jembatan” komunikasi dan kerja sama antara para musisi muda Katolik dengan Protestan lewat pagelaran Indonesia Gospel Festival.

Yanuari Marwanto

HIDUP NO.51 2018, 23 Desember 2018

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini