HIDUPKATOLIK.com – Negeri ini sedang menjadi saksi hitam putih sisi kehidupan putra-putrinya. Di balik bencana di Lombok, Palu dan berbagai bencana alam yang melanda, kita boleh berbangga betapa banyak orang yang peduli kepada sesamanya. Ada banyak yang membantu dengan harta, dengan kehadiran menjadi sukarelawan bahkan beberapa bertaruh nyawa demi menyelamatkan sebuah nyawa.
Namun, kita juga menyaksikan beberapa orang yang gelap mata menghabisi nyawa saudara sebangsanya dengan alasan yang tak bisa diterima nalar. Salah satunya adalah pembunuhan satu keluarga di Bekasi dan berbagai kasus pembunuhan yang kian hari kian sering kita dengar. Manusia bisa menjadi teman bagi sesamanya, tetapi juga bisa menjadi musuh bagi sesamanya. Dalam hal ini, keluarga-keluarga dan lembaga-lembaga pendidikan Katolik ditantang untuk melahirkan generasi manusia yang menjadi teman bagi sesamanya.
Paling tidak ada satu persamaan di dalam kedua tindakan ini yaitu sama-sama memasukkan orang lain di dalam kehidupannya. Sementara orang yang satu berharap untuk kebaikan sesamanya, orang yang lain mengorbankan yang lain untuk mendapatkan keinginannya.
Dalam Sidang KWI tahun 2018, Gereja mengajak umatnya untuk peduli pada pembelaan Hak Asasi Manusia (HAM). Pembelaan HAM selalu berhubungan dengan pribadi-pribadi yang lemah. Dalam hal ini, panggilan untuk membela HAM menjadi perjuangan semua orang dalam tingkat kemampuannya masing-masing. Rasa-rasanya kemampuan untuk terlibat di dalam pembelaan HAM ini hanya akan mungkin kalau orang mempunyai jiwa peduli.
Sayangnya budaya egois, suka mengorbankan orang lain dan usaha untuk terus mencari kepentingan bagi dirinya sendiri akan selalu menjadi penghalang untuk pembelaan HAM. Untuk itulah panggilan untuk membangun budaya peduli itu harus dimulai dari keluarga-keluarga dan dunia pendidikan agar memastikan anak-anaknya memiliki jiwa yang peduli.
Cristina De Rosi, seorang antropolog di London mengatakan bahwa, “Budaya meliputi agama, makanan, apa yang kita kenakan, bagaimana kita memakainya, bahasa kita, pernikahan, musik, apa yang kita yakini benar atau salah, bagaimana kita duduk di meja, bagaimana kita menyapa pengunjung, bagaimana kita berperilaku dengan orang yang dicintai, dan sejuta hal lainnya.” Demikianlah yang disebut sebagai kepedulian adalah sebuah hasil dari sebuah kebudayaan. Untuk hal ini, agama menawarkan nilai-nilai yang bisa menjadi pupuk yang menyuburkan budaya peduli ini. Ajaran Yesus tentang “mengampuni tujuh puluh kali tujuh” (Matius 18:22), mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri (Mat 22: 39), mengasihi musuh (Mat 5:44) dan sebagainya bisa menjadi panduan untuk mendidik putra-putri Gereja. Maka, pendidikan anak-anak muda di dalam Gereja Katolik harus memastikan pentingnya menjadi saudara bagi yang lain.
Menjadi saudara artinya menghidupkan kesadaran untuk peduli, bukan membenci; saling berkorban, bukan saling mengorbankan. Kita tidak ingin mengulang kekejaman antar-saudara yang membawa kepada kehancuran seperti bisa pelajari dari kisah Kain dan Habel dalam Kitab Kejadian.
Keluarga maupun dunia pendidikan mestinya mengajarkan kepedulian sebagai prinsip hidup. Seorang perlu dimampukan memilih mana yang benar dan mana yang salah; mana yang berfaedah untuk kebaikan dan mana yang tidak. Seorang tokoh Indonesia bernama Tan Malaka mengajarkan tentang apa artinya pendidikan: “Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan.” Pendidikan tidak boleh hanya mengasah otak, tetapi juga mengasah hati yang semakin mampu peduli kepada sesamanya.
Pendidikan anak-anak perlu memimpin jiwa seorang anak keluar (e-ducere) dari kungkungan ketidakepedulian atau hanya memikirkan dirinya sendiri saja. Untuk itu, keluarga-keluarga maupun lembaga-lembaga pendidikan kita perlu memastikan bahwa anak-anak kita punya kepedulian kepada sesamanya. Dengan cara demikian, kita berharap bahwa pada masa yang akan datang, kita akan memanen cerita-cerita indah tentang persaudaraan dan kepedulian, bukannya cerita-cerita menyeramkan tentang pembunuhan dan penghancuran terhadap kehidupan sesama manusia.
Pastor Martinus Joko Lelono
HIDUP NO.50 2018, 16 Desember 2018