Paska Sinode, Wajah Baru Menggereja?

497

HIDUPKATOLIK.com – Beberapa kardinal serta uskup, yang dijuluki veteran sinode karena telah ikut serta dalam beberapa sinode uskup, mengatakan Sinode Uskup 2018 ini adalah sinode terbaik yang pernah diikutinya. Terbaik dikatakan lebih karena proses, suasana dan ruang keterbukaan yang lebih ditemukan, sehingga para bapa sinode menemukan banyak sekali gagasan dan pengalaman yang mengejutkan, sehingga sinode tersebut juga merupakan suatu proses belajar terus-menerus mengenali kehendak Allah. Seakan dalam semua itu hendak dikatakan proses synodus (Syn + hodos: berjalan bersama) sungguh dapat dijalankan.

Istilah sinodalitas (synodality) terdengar jelas dalam sinode 2018 ini. Memang dikatakan istilah itu tidak sering muncul baik dalam intervensi sidang maupun diskusi kelompok, akan tetapi bergaung jelas dalam dokumen akhir dan refleksi atas sinode. Gereja yang sinodal adalah Gereja yang lebih mengundang keterlibatan, solidaritas dan transparansi, daripada segalanya lebih ditentukan oleh sekelompok orang yang mempunyai kuasa atau pengaruh, demikian dikatakan Paus Fransiskus di tahun 2015 saat memperingati 50 tahun pembentukan badan Sinode Uskup oleh Paus Paulus VI.

Menjadi pertanyaan, apakah ciri sinodal ini tidak mengingkari jati diri Gereja, sebagaimana disuarakan oleh kritik atas proses sinodalitas, dalam sinode maupun cara penggembalaan Paus Fransiskus? Kita ingat bahwa Joseph Ratzinger pernah memberi kritik akan pemikiran dari Karl Rahner tentang perlunya memperluas ruang sinodal Gereja dengan melibatkan kaum awam. Ratzinger, dengan mendasarkan pada penalaran Biblis dan tradisi menegaskan primat uskup dalam proses sinodal Gereja. Sementara kini Fransiskus ingin memperluas cakupan keperwakilan dalam proses penegasan di dalam tubuh Gereja, tidak sebatas uskup, walau suara para suster belum diakomodasi, namun proses sinode melibatkan dan mendengarkan pula kaum awam.

Sinodalitas
Paus Paulus VI pada tanggal 15 September 1965 mengeluarkan Motu Proprio Apostolica Sollicitudo, yang menetapkan wadah Sinode Uskup untuk melanjutkan semangat Vatikan II. Tata penggembalaan Gereja diperluas cakupan dan prosesnya dengan mengundang para uskup secara berkala untuk membicarakan beragam persoalan yang dihadapi Gereja. Semua itu dimaksudkan agar tata hidup Gereja dan pimpinannya semakin mampu menjalankan tugas perutusan yang diembannya.

Gagasan tersebut kemudian oleh Paus Yohanes Paulus II didasarkan pada kenyataan kolegialitas para uskup. Aspek kolegialitas tersebut oleh Paus Fransiskus kemudian diperluas dengan memberi warna sinodalitas, di mana mereka yang bukan uskup mendapatkan pula hak suara, hanya memang kaum perempuan, termasuk suster, dan awam baru berperan sebagai partisipan belum sebagai anggota sinode. Jalan sinodalitas adalah tapak jalan yang diharapkan dari Gereja millennium III, demikian ungkap Fransiskus saat memperingati 50 tahun badan sinode uskup.

Pada tanggal 2 Maret 2018 Komisi Teologi Kepausan mengeluarkan dokumen Synodality in the Life and Mission of the Church. Di dalam dokumen tersebut diungkapkan bahwa sinodalitas, untuk membedakan dengan sinode (yang lebih merupakan pertemuan), merupakan dimensi konstitutif dari hidup menggereja. Dikutip ungkapan dari St Yohanes Chrysostomus bahwa Gereja tidak lain adalah kenyataan berjalan bersama. Sehingga dikatakan bahwa sinodalitas merupakan inti dari pembaharuan Gereja yang dijalankan Vatikan II: cara hidup dan cara kerja Gereja yang melibatkan semua. Di sini kemudian kolegialitas para uskup ditempatkan sebagai bagian dari proses sinodalitas tersebut.

Prinsip sinodalitas didasarkan pada karya Roh Kudus yang dicurahkan ke dalam tubuh Gereja, dan diterima oleh semua umat beriman berkat rahmat baptisan yang diterimanya. Di sini kita bisa mengingat dokumen dari Kongregasi Ajaran Iman, 15 Mei 2016, Iuvenescit Ecclesia, yang berbicara tentang keberagaman kharisma di dalam tubuh Gereja, selain karunia hierarkis, yang semuanya berguna bagi pertumbuhan Gereja. Karunia tersebut dicurahkan oleh Roh Kudus kepada umat beriman, arah rahmat sakramen dan perutusan Gereja semakin berbuah, di tengah keberagamannya, dalam terang Injil. Dokumen tersebut sebenarnya telah dipersiapkan oleh dokumen dari Komisi Teologi Kepausan, Sensus Fidei (2014), yang juga berbicara tentang kepekaan iman dalam diri umat beriman.

Sinodalitas sebagai cara hidup dan cara bertindak Gereja dengan demikian hendak menunjukkan kenyataan Gereja sebagai peziarah. Perjalanan ziarah itu menuju kepada Bapa, namun ditapaki di tengah dunia. Di dalamnya tergambar realitas Gereja sebagai umat Allah, sehingga dikatakan oleh Komisi Teologi Kepausan bahwa sinodalitas sebenarnya menunjukkan wajah ekklesiologi ‘communio’ dari Vatikan II. Hierarki merupakan pelayan bagi terwujudnya Gereja sebagai umat Allah dalam tapak jalan peziarahannya. Tidak mengherankanlah kalau ditekankan diskresi, atau penegasan rohani, menjadi sesuatu yang mendasar dalam cara bertindak sinodalitas Gereja. Untuk mendukung hal itu Paus Fransiskus pada tanggal 15 September 2018 mengeluarkan Konstitusi Apostolik Episcopalis Communio, yang memperbaharui struktur dan proses sinode uskup.

Wajah baru menggereja?
Setidaknya proses sinode uskup, pun pola kepemimpinan Gereja, selama ini memberi tekanan akan ciri kolegialitas. Memahami kenyataan bahwa hierarki adalah pelayan umat Allah, sehingga imamat jabatan dimaksudkan agar imamat umum umat beriman dapat semakin hidup dan berkembang, maka kemudian dikembangkan ciri sinodalitas dalam tubuh Gereja. Gereja semakin memahami dirinya sebagai komunitas umat beriman yang berjalan bersama, sebagai tubuh yang hidup bersama di tengah kenyataan keberagaman kekayaan kharisma dari Roh Kudus di dalam dirinya. Namun tidak berarti bahwa kolegialitas tidak diperlukan, karena kolegialitas para uskup pun ditempatkan dalam ruang wajah sinodalitas Gereja. Malahan dikatakan kolegialitas para uskup merupakan pilar, bersama dengan sensus fidei (rasa iman) umat beriman, dari dimensi sinodalitas ini.

Wajah baru Gereja ini memiliki konsekuensi akan tanggungjawab dan keterlibatan semua. Semua umat beriman, berkat rahmat baptisan, menjadi anggota penuh dan utuh dari tubuh Gereja. Maka semua pun memiliki tanggungjawab akan kehidupan Gereja, dan hidup menggereja mengundang keterlibatan semua. Struktur Gereja pernah digambarkan Paus Fransiskus seperti piramida terbalik, yang sedikit dan kecil, hierartki, berada di bawah, karena bukan untuk menguasai, namun melayani umat beriman. Demikian sebaliknya, umat beriman terlibat aktif dan penuh agar hierarki Gereja dapat semakin melayani Gereja.

Wajah baru Gereja ini berangkat dari langkah pertobatan. Gereja perlu terus-menerus memperbaharui diri, agar dapat semakin memperbaharui ciri misioner sebagai jati diri dasar Gereja. Dalam penekanan akan langkah pertobatan ini, Paus Fransiskus memberi kita Seruan Apostolik tentang Kesucian Gaudete et Exsultate (2018), mengingatkan kita bahwa kesucian adalah jalan panggilan utama dan pertama kita. Gereja sebagai saksi kabar sukacita perlu berangkat dari dirinya sendiri, pun setiap pribadi umat beriman, dalam menata hidupnya, menapaki jalan kemuridan Yesus Kristus. Itulah tapak jalan kesucian, tapak jalan pemurnian.

Tidak mengherankanlah kalau wajah sinodalitas Gereja diawali dalam kesediaan dan keterbukaan untuk mendengarkan. Langkah mendengarkan itu tentu pertama-tama mendengarkan sabda Allah, namun di dalamnya termuat langkah mendengarkan terang bimbingan Allah yang berbicara dalam diri umat beriman. Di sini ada langkah diskresi, sehingga proses konsultasi tidak didasarkan pada kesepakatan namun lebih pada kesetiaan untuk mendengarkan bisikan Roh Kudus.

Tentu ini masih langkah awal, betapapun semangatnya sudah dibawa dalam Konsili Vatikan II (1962-1965), namun kenyataannya Gereja baru belajar untuk mewujudkannya. Sinode Kaum Muda 2018 dipandang sebagai titik penting, langkah belajar Gereja untuk menghidupkan dan menghidupi dimensi sinodalitas dalam tubuhnya. Gereja kini diajak berjalan bersama dalam kesatuan hati yang mau saling mendengarkan dan belajar satu sama lain, saling menemani dan saling menegaskan kehendak Allah. Kita bersama diharapkan ikut serta dalam perjalanan bersama, dalam ziarah kita menuju pada kepenuhan hidup bersama Kristus Raja abadi.

T. Krispurwana Cahyadi SJ

HIDUP NO.49 2018, 9 Desember 2018

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini