Ada Tangis di Pasungan

568

Peristiwa mengamuknya Mak Imang akan terus dikenang. Sulit dilupakan penduduk kampung saat tujuh hari lalu saat Mak Imang mengamuk. Sakitnya kumat  lagi. Tongkat kayu yang besar dibawanya keluar dari rumahnya seperti hendak berapi-api memburu mangsa, berteriak keras-keras, memecahkan suasana kampung yang masih penuh lengkikan anak-anak yang bermain di depan rumah-rumah.

“Mak Imang mengamuk, lari, lari, lari!”
Tak tanggung amukan Mak Imang kali ini. Tungku-tungku dan peralatan masak di dapur belakang tetangga ludes diobrak. Beberapa ternak babi dan ayam ikut berhamburan. Tak ada yang lebih parah dari rumah kepala desa, orang termakmur sekampung.

Pintunya digedor dan diobrak semua barang di dalamnya. Kaca-kaca dan nako-nako mewah ikut ditebas. Barang-barang berharga ikut ditelantarkan berkeping-keping. Mungkin kerugiannya jutaan rupiah.

Beberapa pria kampung turun menyergapnya. Tubuhnya dimasukkan ke dalam karung goni sebelum dibekap dengan tali. “Kita pasung saja dia!” komando kepala desa.
Tak ada yang membantah perintah itu. Semua mengangguk saja, mengiyakan pasungan menjadi cara terakhir mengendalikan Mak Imang. 

Sebuah pasungan dari kayu jati disiapkan. Sesegera mungkin beberapa bapak ditugaskan membangun pondok persegi ukuran 2×2 meter dari papan.
Gubuk pasungan kecil itu hanya diberi lubang kecil sebagai ventilasi udara sekaligus tempat makanan untuknya diletakkan. Panggus, seorang yang masih punya ikatan kerabat jauh dengan Mak Imang ditugaskan mengantar makanan untuk Mak Imang setiap hari.

Sejak itulah, suara tangis selalu terdengar dari gubuk pasungan Mak Imang. Orang pasti mengira itu tangisan Mak Imang. Tangis seorang perempuan yang telah sakit, kehilangan kewarasan akibat kerasnya hidup takdir yang diterimanya. Padahal sebelumnya Mak Imang
adalah seorang istri mantan kepala desa, seorang perempuan yang sangat ramah, ceria, dan kelewat tegar.

Sifatnya pun tak banyak menukar walau berubah menjadi janda. Suaminya sudah menahun tak pulang. Suaminya dikabarkan meninggal di sekitar ladang hutan. Rumor yang beredar, suatu pagi, segerombolan menyeret suaminya ke tepi jurang. Kepala belakangnya dihantam linggis, perutnya dicecar, dicampakkan, dan sedikit ditimbuni dedaun kering guna
menguapkan jejak.

Konon, suami Mak Imang ditimbuni mati tanpa doa, apalagi air mata. Memang seminggu sebelumnya, terjadi demonstrasi besar-besaran yang menuntut agar perambahan Hutan Siarangarang dihentikan. Masyarakat kampung dan ikut beberapa warga kampung tetangga bergerak memalang jalan dengan kayu gelondongan.

Batu gunung ikut diruntuhkan beramai-ramai hingga menutup jalan menuju hutan industri. Truk-truk pengangkut kayu ikut dirusak. Akibatnya, tiap hari beberapa pria berseragam dan
berbaju preman terlihat hilir-mudik ke luar-masuk kampung.

Mau tak mau, yang dicap sebagai tokoh mesti bersembunyi, termasuk suami Mak Imang. Masyarakat sering berbisik, “Kepala desa dituduh sebagai dalang demonstrasi.” Tak lama, kepala desa yang baru langsung ditunjuk. Sejak itu pula, suaminya tak pernah jelas keberadaannya. Dia ikhlas dengan situasi walau kejanggalan mengiringi kepergian suaminya. Sungguh tegar Mak Imang!

Sayang, Mak Imang memang betul-betul berubah sejak tiga bulan lalu. Itu adalah saat-saat anaknya, Pandes, menghilang. Mirip peristiwa bapaknya, Pandes menjejak hilang, tanpa ada tanda-tanda keberadaannya. Mak Imang sangat terpukul, hingga sakit-sakitan.

Mungkin dia trauma, anaknya kembali ditimbuni mati, tanpa doa, apalagi air mata. Namun masyarakat kampung menganggap dia melarikan diri karena kalah memperebutkan Amma, anak kepala desa, si perempuan kampung yang cantik dan cerdas. Gadis itu baru saja menamatkan pendidikan kesarjanaan di luar kota.

Sebelumnya, Amma akan dilamar Porhas, pemilik lahan berhektar-hektar di perkampungan. Tapi nurani Amma sebenarnya menganggap Pandes yang terbaik. Rasa kagum pada pemuda itu terjadi pertama kali di sekitar sungai saat dia menarik kerbau keluar dari kubangan sungai.

Tak kalah, tiupan serulingnya cukup menggetarkan hati Amma sekadar untuk bersapa.
Sejak itulah, dia mulai menyadari betapa teduhnya mata seorang lelaki berkulit sedikit legam itu.

Dia jatuh cinta pada cara lelaki itu memandangnya. Mereka jamak saling tatap penuh makna. Dan Porhas mulai menaruh curiga!

***

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini