Ada Tangis di Pasungan

568

HIDUPKATOLIK.COM –  DAN teruslah, dalam ranggas pepohon nangka tua, seorang menabuh tangis yang mengendus bau kemenyan terbakar, mirip harum tipis air mawar. Suara tangisan itu jamak menderit seperti engsel pintu yang kurang lumasan minyak, sesekali melolong dan memekik seperti suara yang mau menerkam dan melumat hutan dan pedusunan di tengahnya. 

Namun, tak pernah ada yang bisa menghalangi atau menghentikan tangis yang teramat perih itu. “Kau tunggu apa dan berapa lama lagi? Kau tak merasa diusiki isak tangis Mak
Imang itu? Kaulah sebagai kepala kampung paling berhak mengurusnya.”

“Mau apa lagi, menyuruhnya diam juga tak ada guna. Atau kau punya cara lain?”
“Kita pindahkan saja Mak Imang. Kukira selain orang kita terganggu, anak-anak bisa ikut-ikutan terpengaruh jiwanya. Mereka takut ikut ke ladang hutan, takut ditinggal sendiri barang sebentar, semua serba takut.”
“Dipindahkan ke mana?”
“Agak jauh ke dalam hutan! Kalau begitu, pasti tangisnya tak sampai ke kampung lagi.”

Bortam berpikir sebentar. Agaknya dia kurang sepaham dengan usul tetangganya itu.
“Ahh, biarkan saja dulu di pinggir hutan, nanti tangisnya toh berhenti juga. Aku takut tidak ada yang mengontrolnya di tengah hutan. Suatu saat dia lepas, desa kita bisa kembali gempar,” tutup lelaki berkalung besi itu.

Sorot matanya sebenarnya terlalu lemah menyembunyikan rasa cemas berlebihan. Seminggu berlalu, tak ada tanda-tanda tangis itu mulai habis. Penduduk keheranan, mulai berpikiran tak biasa dan takhayul. Pasti ada kekuatan gaib yang menodongnya, merasuki bola matanya dan ingin menguras air matanya hingga habis.

Sebagian tak sependapat. Tangis itu tak lebih tangis seorang ibu yang dulu tak sempat menangisi kematian keluarganya.
“Kupikir roh Ompung itu sudah merasuki dia. Tak ada orang tahan menangis tanpa henti selama berhari-hari.”

“Mak Imang harus segera dilepas! Membiarkan dia terus terasing dan menangis sama saja kita sedang memaksa menutup telinga dan batin kita kuat-kuat.”
“Betul juga. Tapi siapa pula bersedia menampungnya. Itu sama saja mau bunuh diri.”
“Itu terlalu berlebihan. Tampaknya Mak Imang masih normal. Gangguan jiwa yang dia alami cuma sementara saja. Tunggu saja batinnya tenang, nanti pasti pulih.”

“Kau bilang masih normal? Kau sudi menanggung ganti rugi bila rumahku diobrak lagi?” Semua diam, tak berani membantah perkataan yang terakhir. Entah mengapa lelaki itu selalu tampil paling gelisah menanggapi fenomena tangis Mak Imang.

Namun lama kelamaan, situasi itu menjadi hal biasa bagi penduduk. Kini, isak tangis dari pinggir ladang hutan itu seolah tak lebih aneh ketimbang derit kuali para ibu yang sedang menggongseng kelapa di tungku dapur.

Tak juga menandingi jerit babi-babi yang tiap pagi dan sore meringkik minta ampas makanan, atau suara parau para pria yang bernyanyi dan bermain kartu di kedai tuak saban malam.

***

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini