Deskripsi Lambang Uskup Agung Medan

2636

HIDUPKATOLIK.COM Deskripsi Lambang Uskup Agung Medan, Mgr Y.M. Kornelius Sipayung, O.F.M.Cap.

Lambang Uskup Agung Medan adalah perisai yang terbagi menjadi tiga bagian horisontal. Bagian atas berisi gagasan teologis yang melandasi arah kebijakan pastoralnya; dan berturut-turut, dua bagian berikutnya di tengah dan di bawah berisi kilas balik dari perjalanan hidup sampai ke tanah kelahirannya.

Di bagian atas, dengan latar belakang warna merah, adalah seekor burung merpati berwarna putih yang ditempatkan di ujung atas, Bintang Betlehem berwarna putih yang ditempatkan di ujung kiri bawah, dan Anak Domba Allah berwarna putih yang ditempatkan di ujung kanan bawah.

Ketiga simbol ini melambangkan gagasan teologis yang dihayati Uskup Kornel, yakni Teologi Inkarnasi; Sabda yang menjadi daging, yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria di Betlehem dan, sebagai Anak Domba Allah, dikurbankan di altar salib di Golgota.

Di bagian tengah, dengan warna dasar putih, adalah lambang Fransiskan. Bagian ini menunjukkan latar belakang Uskup Kornel, yang merupakan pengikut Fransiskus dari Ordo Kapusin.

Dua tangan yang saling silang adalah lengan kanan Kristus dengan bekas paku pada telapak tangan-Nya, dan lengan kiri Santo Fransiskus dari Asisi, yang memperoleh anugerah stigma atau bekas luka Kristus pada telapak tangannya.

Di bagian belakang, di tengah kedua lengan terdapat sebuah salib kecil dari kayu.

Di bagian bawah, dengan latar belakang warna abu-abu keperakan, adalah tanah kelahiran dan sekaligus juga menggambarkan situasi alami pastoral Keuskupan Agung Medan.

Tiga buah gunung berwarna hijau melambangkan Pegunungan Bukit Barisan. Tanah subur berwarna coklat tua menggambarkan lahan pertanian.

Riak air berwarna biru melambangkan Danau Toba. Gambar lima roti dan dua ikan di atas tanah subur dan riak air memiliki makna ganda. Di satu sisi melambangkan hasil dari bumi dan dari pekerjaan tangan manusia; di sisi lain juga melambangkan Ekaristi.

Di atas perisai ditempatkan sebuah galero atau topi khas klerus berwarna hijau, dengan 10 jumbai pada masing-masing sisinya. Di bagian tengah belakang perisai adalah sebuah salib pancang berwarna kuning keemasan, dengan dua palang mendatar.

Galero hijau dengan 10 jumbai berikut salib pancang dengan dua palang mendatar ini merupakan penanda bahwa sang empunya lambang adalah seorang uskup agung.

Persis di bawah perisai adalah sebuah pallium, asesoris khas yang dianugerahkan Paus kepada para uskup agung metropolit.

Pallium dibuat dari bulu domba asli dan dikenakan dengan dikalungkan atau disampirkan di pundak, laksana anak domba yang hilang yang dipanggul oleh sang gembala yang baik.

Akhirnya, di bagian bawah perisai terdapat pita berwarna kuning keemasan, bertuliskan motto penggembalaan Uskup Kornel dalam Bahasa Latin: “Deus Meus et Omnia”, sebuah frase doa dari Santo Fransiskus Asisi.

Deus Meus et Omnia berarti “Allahku dan Segalaku”. Doa ini singkat, padat, dan sekaligus sangat mendalam, puitis, dan menggetarkan.

Doa dari seseorang mistikus yang sedang ekstasis. Sebuah doa berdimensi rangkap. Di satu sisi, Deus Meus et Omnia merupakan pekik kekaguman dalam keheningan mendalam akan keagungan misteri ilahi dalam karya ciptaan dan kemuliaan karya penebusan.

Di sisi lain, Deus Meus et Omnia merupakan sebuah pengakuan atas ketakberdayaan manusia dan ciptaan di hadapan kesempurnaan ilahi dan keagungan Allah yang mengatasi langit.

Sisi kedua Deus Meus et Omnia, ketakberdayaan manusia, hanya “cacing yang hina”, meminjam kata-kata Fransiskus, namun diingat dan diindahkan Allah, menggemakan kembali seruan Pemazmur: “Quid est homo, quod memor es eius, aut filius hominis, quoniam visitas eum?”

“Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?” (Mzm 8:5).

Kemurahan Allah yang membuat manusia hampir setara dengan-Nya, “minuisti eum paulo minus ab angelis” (Mzm 8:6), dan memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat, “gloria et honore coronasti eum” (Mzm 8:6), itulah pula yang yang termaktub dalam Deus Meus et Omnia Fransiskus.

Di hadapan misteri ini, Pemazmur, sebagaimana halnya Fransiskus, hanya mampu berseru: “Domine, Dominus noster, quam admirabile est nomen tuum in universa terra!” “Ya Tuhan, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi!” (Mzm 8:10).

Ungkapan yang bernada mirip pernah terlontar juga dari Tomas Rasul. Di hadapan Yesus yang bangkit, dia terpana, kagum. Tetapi juga tak berdaya, kecil, menyadari iman yang masih secuil.

Tomas memekik tetapi dalam keheningan subtil: “Dominus meus et Deus meus!” “Ya Tuhanku dan Allahku!” (Yoh 20:28). Inilah pengakuan final Kristologi dalam Injil Keempat.

Firman yang adalah mula, bersama dengan Allah dalam kemulian, turun ke dunia (Bdk. Yoh 1:1), merendahkan diri, mengalami sengsara, dan akhirnya dimuliakan. Semua berakar pada kasih Allah yang begitu besar kepada dunia, agar semua yang percaya tidak binasa (bdk. Yoh 3:16), tetapi memperoleh kembali martabatnya sebagai anak Allah.

Keterpesonaan akan inkarnasi Allah ini mengubah seluruh hidup Fransiskus. Inkarnasi Allah menjadi model hidup kedinaan.

Di hadapan keagungan Allah dan ketakberdayaan sebagai manusia dan ciptaan, tiada kata lain yang sanggup terucap dari bibirnya selain: Deus Meus et Omnia! Allahku dan Segalaku!

Mengikuti Injil Tuhan Yesus Kristus, itulah program hidupnya. Kedinaan dan Kemiskinan menjadi pilihan hidup menanggapi perintah Allah lewat Salib San Damiano untuk memperbaiki Gereja yang hampir roboh.

 

Keuskupan Agung Medan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini