Benda Religius

2931

HIDUPKATOLIK.com – Di dalam Gereja Katolik ada pemberkatan benda-benda religius, seperti rosario, salib, Kitab Suci dan benda-benda lainnya. Apakah ini tergolong takhayul?

Thomas, Toraja, Sulawesi Selatan

Dalam tradisi Gereja ada istilah sakramentali, tanda-tanda suci yang memiliki kemiripan dengan sakramen, yang diberikan agar mempersiapkan hati manusia untuk menerima buah-buah sakramen, dan juga bagi penyucian hidup. Bentuk sakramentali ini antara lain dengan pemberkatan benda-benda religius, seperti rosario, salib ataupun Kitab Suci. Seringkali benda-benda tersebut terkait dengan devosi ataupun tindak kesalehan umat.

Memberi berkat di sini tidak lain adalah bentuk pujian kepada Allah dan memohon anugerah-Nya, agar hidup kita manusia semakin terbantu untuk terarah kepada Allah. Maka, bukan benda-benda itu yang suci, karena itu semua toh tetap adalah sarana. Namun dengan memohon berkat atasnya, kita menggunakannya sebagai sarana untuk semakin membantu kita terarah kepada Allah. Tidak mengherankanlah kalau dalam tradisi kesalehan umat dipertimbangkan pula ciri antropologis, di mana simbol-simbol dan sarana-sarana yang mendukung kesalehan dan devosi umat sangat dihargai. Tradisi memberkati di sini menjadi berarti karena dengannya mengajak kita untuk tidak menempatkan benda-benda religius tersebut bukan sekadar barang, namun sarana yang membantu umat untuk berdoa dan mengarahkan diri kepada panggilan kesucian.

Tidak mengherankanlah kalau kaidah keindahan dan keanggunan benda-benda religius perlu diperhatikan. Paus Benediktus XVI bahkan pernah menyebutkan bahwa keindahan seni akan membantu kita untuk berkontemplasi akan yang Ilahi dan membangun sikap tepat akan yang transendens. Dengannya dimaksudkan agar sensus fidei (rasa atau kepekaan iman) umat dapat terbantu untuk semakin ditumbuhkan. Hanya memang harus diakui, katekese umat akan hal ini, akan kesalehan dan devosi, dengan berbagai sarana dan benda yang mendukungnya, tidak jarang kurang mendapatkan perhatian.

Akibat yang bisa terjadi adalah bisa menganggap benda atau barang religius tersebut suci. Sebagai misal, ada umat yang tidak berani membuang patung Maria yang terjatuh dan pecah, dengan alasan patung tersebut sudah diberkati uskup. Atau pula, bisa terjadi, orang marah menemukan pembungkus barang atau makanan dengan kertas sobekan dari Kitab Suci. Barang atau bendanya itu sendiri bukanlah yang suci, namun intensi yang dimaksudkan dengan barang dan benda tersebut yang menjadikannya terarah pada kesucian, sehingga berkat atasnya dimaksudkan untuk itu. Selain itu, pemberkatan atas barang atau benda tersebut juga menunjukkan penghargaan Gereja atasnya, atas rosario, salib, Kitab Suci atau benda-benda devosional lainnya. Dengannya, benda atau barang tersebut bisa dipakai sebagai sarana doa atau sarana perenungan atas misteri penyelamatan Allah.

Benda atau barang tersebut akan bisa dianggap suatu pemujaan akan benda, sehingga pemberkatan atasnya dipandang sebagai takhyul, bisa terjadi kalau orang berhenti pada benda atau barang, dan tidak terarah kepada Allah, yang hanya Dia belakalah yang kudus. Berkat atas barang-barang tersebut tidak lain untuk menandakan serta menunjukkan intensi dan maksud barang atau benda religius tersebut sebagai sarana untuk semakin mengarahkan diri kepada Allah dan menandakan akan kekudusan Ilahi yang hendak ditandakan atau dimaksudkan dari entah Salib, Kitab Suci atau pun rosario dan benda-benda religius lainnya. Menjadi takhyul, kalau barang atau benda tersebut dipandang memiliki kekuatan tertentu, karena telah diberkati, sehingga lalu dihormati secara berlebihan. Barang tetap barang, namun apa yang hendak ditunjukkan oleh benda itu, itulah yang kudus. Di sinilah letak kepentingan memberi berkat atas barang atau benda-benda devosional, agar dengannya ulah dan tindak kesalehan umat bisa semakin bertumbuh.

Tidak bisa di sini dilepaskan dari tradisi dan kehidupan devosi Gereja, sebagaimana sudah sejak Konsili Nicea II (787) mulai dengan penghormatan akan patung dan gambar suci sudah diakui keberadaannya dalam kehidupan Gereja. Tradisi berkat di sini memang cukup khas dalam tradisi Katolik. Oleh karena itu pemaknaan dan penggunaannya pun tidak bisa dilepaskan dari tradisi dan kehidupan Gereja Katolik. Kita tidak bisa menyalahkan mungkin pandangan beberapa kalangan dari luar, pun dari sementara kalangan Gereja Protestan, yang tidak menghayati tradisi tersebut. Dengan kata lain, tradisi dan makna pemberkatan atas barang-barang religius dipahami dan ditempatkan dalam kehidupan dan tradisi yang dihidupi oleh Gereja Katolik.

T. Krispurwana Cahyadi SJ

HIDUP NO.47 2018, 25 November 2018

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini