Dipanggil untuk Rakyat Kecil

727
Kantor Pusat Yayasan Kanisius di Semarang, Jawa Tengah.
[NN/Dok.Pribadi]

HIDUPKATOLIK.com – Hambatan dan tantangan yang dihadapi Yayasan Kanisius semakin menguatkan panggilan misi sejatinya.

Berkarya di tanah misi Hindia Belanda bukanlah cita-cita seorang Yesuit Asal Belanda, Pastor Franciscus Georgius Josephus van Lith SJ. Tetapi rahmat ketaatan menuntunnya untuk melangkahkan kaki masuk ke tanah Jawa. Tanah yang sama sekali asing baginya.

Baginya, ketataan berarti rela diutus ke mana saja. Ini berarti mengosongkan diri dari cita-cita pribadi dan membiarkan cita-cita Tuhan yang terjadi. Ketaatan itu pun membawa ia melaksanakan rencana Tuhan untuk mendirikan sekolah bagi kaum pribumi, terutama mereka yang terpinggir dan sulit mengakses pendidikan.

Kehadiran Yayasan Kanisius di bumi Nusantara merupakan rahmat keadilan Tuhan. Bagi Pastor van Lith, guru adalah tokoh masyarakat desa yang paling berpengaruh dan berwibawa. Oleh sebab itu, ia lalu mendirikan Normaalschool untuk mendidik calon guru tingkat II tahun 1904. Ia juga mendirikan H.I.K Putra di tahun 1906 yang bertempat di Semampir, Muntilan. Ini menjadi kolese pertama di Indonesia dengan nama Kolese Xaverius. Kolese ini melahirkan tokoh-tokoh nasional seperti Kasimo, Frans Seda, Mgr Albertus Soegijapranata SJ, dan Justinus Kardinal Darmojoewono. Pada tahun 1916 didirikanlah juga H.I.K Putri atau lebih di kenal dengan Sekolah Mendut, di mana lulusannya kelak menjadi cikal bakal munculnya organisasi Wanita Katolik RI (WKRI).

Canisius Stichting
Tidak berhenti di situ, kelahiran 17 Mei 1863 ini pun mendirikan Sekolah Katolik. Tujuannya agar lingkup penaburan Sabda Kristus menjadi semakin luas di dalam masyarakat Jawa serta memberi kesempatan belajar bagi rakyat kecil di desa dan kota. Misi ini pun terwujud dengan didirikannya “Canisius Vereniging” (Perkumpulan Kanisius) pada tanggal 31 Agustus 1918. Superior Missionis Serikat Yesus, Pastor J.H.J.L. Hoeberechts SJ menjadi ketua dan Pastor van Lith sekretarisnya.

Pengesahan diperoleh melalui keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Cipanas pada tanggal 21 Oktober 1918 yang dicantumkan dalam lembaran Negara 1918 No 11. Pada 3 Desember 1918 pun diumumkan dalam Javasche Courant no 97. Tidak berlama-lama, rencana membuka 100 sekolah Katolik di Muntilan, daerah Yogyakarta, Klaten, Surakarta, Ambarawa, dan Semarang segera dikerjakan.

Pada saat Pastor van Lith meninggal di Pastoran Gedangan pada 9 januari 1926, ketika itu telah berdiri 74 Sekolah Kanisius tingkat dasar. Ketika banyak usaha Belanda dibumihanguskan penduduk, Sekolah Katolik selamat. Sekolah misi oleh rakyat tidak dipandang sebagai kubu Belanda, melainkan milik rakyat. Kemudian jabatan Direktur Kanisius Vereniging diserahkan kepada Pastor F Straeter SJ yang memindahkan kantor administrasi dari Muntilan ke Yogyakarta karena jumlah sekolah semakin bertambah.

Keluwesan Pastor Straeter ini pun mampu menambah jumlah sekolah di Yogyakarta hingga pelosok. Lewat tangannya, ia mengadakan perubahan dalam organisasi Kanisius. Semula “Canisius Vereniging” yang berkedudukan di Muntilan diubah menjadi “Canisius Stichting” (Yayasan Kanisius) pada 31 Juli 1927. Perubahan bentuk ini disahkan melalui Akte Notaris Dirk Johan Foquin de Grave tertanggal 5 Agustus 1929 no 2 di Yogyakarta. Kantor administrasi Kanisius pun dipindahkan kembali ke tempat kelahirannya, Muntilan.

Ambang Kebangkrutan
Garapan sekolah semakin berkembang pesat dalam asuhan Pastor A van Alken. Sebelum Jepang menghentikan segala kegiatan Gereja di bidang pendidikan, jumlah Sekolah Kanisius ialah 368 sekolah yang terdiri dari sepuluh sekolah menengah (Mulo dan ST) dan 358 SD dengan total pengajar 1400 guru serta 56000 murid. Alkisah saat pendudukan Jepang, Sekretaris dan pemimpin Yayasan, Pastor Adrianus Djajasepoetra SJ dengan cerdik berhasil mengelabui Jepang dan menyelamatkan arsip yayasan. Namun, ia ditangkap oleh dinas rahasia Kenpetai bersama dengan dua tokoh Gereja dan yayasan, Pastor Straeter dan Pastor van Kalken pada 1943.

Usai Jepang “angkat kaki” dari Nusantara, Sekolah Kanisius kembali beroperasi di darah Yogyakarta, Klaten, dan Surakarta. Namun, terjadi perubahan besar akibat sebagian besar Sekolah Kanisius dijadikan negeri oleh Jepang. Maka, ditariklah garis imajiner dari kota Yogyakarta ke barat dan timur. Sekolah yang berlokasi di selatan garis dinyatakan sebagian besar dikembalikan kepada Kanisius, sedangkan bagian utara garis dinyatakan sebagai sekolah negeri.

Setelah kekuasaan Belanda berakhir dengan dikeluarkannya hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada 2 November 1949, Sekolah Kanisius bersatu kembali di bawah satu komando dan berpusat di Semarang. Permasalahan pun muncul kembali saat pemerintah Indonesia menghapus status pegawai bersubsidi untuk semua sekolah swasta pada Januari 1950. Akibatnya, para guru harus memilih antara mempertahankan status kepegawaiannya dengan beralih ke negeri atau tetap menjadi guru Kanisius, dengan gaji yang belum sepenuhnya bisa dijamin oleh Yayasan.

Guna menyelamatkan sekolah dari kehancuran, pimpinan saat itu, Pastor Looymans SJ mengambil langkah pengamanan dengan mengubah nama Canisius Stichting menjadi “Yayasan Kanisius”. Disahkan secara yuridis dengan Akte Notaris Tan A Sioe pada 1 Maret 1954. Dengan demikian, anggaran dasar diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Yayasan Kanisius menjadi satu-satunya yayasan pendidikan yang ada ketika itu di Indonesia. Hampir semua Sekolah Katolik berada di bawah naungan Kanisius. Pastor Looymans menilai pendirian yayasan lain diperlukan agar perkembangan melesat. Namun, pengorbanan ini membawa Kanisius merasakan dampak negatifnya. Kanisius berada di ambang kebangkrutan selang 15 tahun kemudian.

Kanisius kehilangan sekolah terbaik di kota besar berpenghasilan tinggi. Tersisa hanya sekolah di pelosok-pelosok miskin. Perhatian pun diarahkan untuk rehabilitasi gedung dan perabot sekolah sekaligus dibentuk 11 cabang yakni di Semarang, Ungaran, Ambarawa, Magelang, Muntilan, Boro, Yogyakarta, Klaten, Surakarta, Baturetno, dan Salatiga. Tiga cabang mempunyai kantor administrasi di Magelang, Surakarta, dan Yogyakarta. Pesatnya perkembangan menimbulkan kebutuhan baru untuk menambah kelanjutan pendidikan kepada tamatan SD. Kanisius pun menjawabnya dengan mendirikan SMP.

Krisis
Tahun 1960-an, dalam rangka penghematan dan pengetatan anggaran, struktur 13 cabang dipadatkan menjadi empat cabang yakni Semarang, Magelang, Yogyakarta, dan Surakarta oleh Pastor Y van Heyst SJ. Sayangnya, pada awal tahun 70-an persekolahan kembali mendekati titik kebangkrutan akibat hutang banyak, gedung dan perabot rusak, mutu pendidikan merosot, dan guru miskin. Tertinggal hanya semangat dan iman tak terpatahkan. Maka dilakukanlah desentralisasi keuangan dan didirikan koperasi simpan pinjam. Selain itu, Kanisius juga memperjuangkan agar memperoleh perlakuan yang sama terhadap guru subsidi.

Perjuangan itu terjawab ketika semua guru subsidi diangkat menjadi pegawai negeri. Namun, bentuk campur tangan pemerintah semakin meluas, yang semula hanya terbatas teknis edukatif kini memiliki wewenang mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan. Tetapi sekolah Kanisius masih tetap setia terhadap Yayasan.

Selain itu, kemunculan SD Inpres menambah persoalan pelik. Hal ini dikarenakan SD Inpres dibangun di daerah sudah cukup dilayani oleh SD Negeri dan SD Kanisius sehingga terjadi persaingan dan perebutan murid. Yayasan lalu mulai mengembangkan TK sebagai jawaban atas perubahan itu.

Perjalanan panjang Yayasan Kanisius meletakan dasar pendidikan di tanah Jawa telah memperbaharui geliat pendidikan Nusantara. Kehadiran Pendidikan Kanisius telah mencapai umur 100 tahun sudah membuktikkan bahwa Kanisius dapat mengarungi segala tantangan dan berhasil menyesuaikan bentuk dengan zaman tanpa meninggalkan nilai-nilai keutamaan Kristiani.

Hingga sekarang pun, nilai-nilai luhur Kanisius tidak tergerus zaman. Direktur Pusat Yayasan Pendidikan Kanisius, Pastor Agustinus Sigit Widisana SJ kerap mengingatkan kepada para kepala Sekolah Kanisius, untuk tetap berpegang pada dasar iman Kristiani dalam mendampingi anak-anak didik. Cinta kasih tetap menjadi landasan dalam mendidik siswa-siswa di Sekolah Kanisius.

Saat ini Sekolah Kanisius bersaing dengan banyak kompetitor baik dari Sekolah Negeri maupun swasta. Pastor Sigit menekankan, persaingan ini terjadi baik secara akademis maupun non akademis. “Apa yang bisa kita pegang teguh yang bisa kita pertahankan? Hal itu adalah nilai kasih.”

Felicia Permata Hanggu

HIDUP NO. 46 2018, 18 November 2018

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini