Paroki Santo Paulus Atsj: Penjaga Warisan Asmat

617
Perayaan Ekaristi di salah satu stasi Paroki St Paulus Atsj. [www.keuskupanagats.org]

HIDUPKATOLIK.com Kekayaan Asmat yang tertinggi adalah kearifan lokal sebab ia merupakan harga diri mereka.

UKIRAN suku Asmat yang begitu khas menghiasi seluruh Gereja Paroki Santo Paulus Atsj Keuskupan Agats. Salah satu ukiran tersebut adalah sebuah patung Maria dan Kanak-Kanak Yesus. Patung yang diukir sesuai dengan keadaan setempat.

Ukiran-ukiran tersebut adalah persembahan umat sendiri mengingat paroki ini berdiri kokoh di tanah leluhur suku Asmat. Paroki yang berdiri sejak tahun 1957 ini dikelilingi oleh sungai-sungai besar, sehingga harus menggunakan perahu. Beberapa sungai besar di antaranya Sungai Lorenz dan Sungai Betz.

Hingga saat ini, Atsj dan Yasiu adalah pusat paroki sekaligus pusat pemerintahan Distrik Atsj. Saat ini wilayah paroki ini sudah dimekarkan menjadi dua distrik. Beberapa stasi di bawah Distrik Atsj dan sebagian lagi di Distrik Betsbamu yang dibentuk tahun 2013 silam.

Paroki ini dilayani oleh para biarawan Ordo Salib Suci (OSC). Tanah leluhur suku Asmat ini memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Pastor Paroki Medardus Eko Budi Setiawan OSC mengungkapkan Asmat adalah Surga yang dikirim Tuhan. Asmat memiliki kekayaan alam yang luar biasa, juga menyimpan keunikan kekayaan budaya.

Ia menambahkan, di sinilah hidup para peramu yang animis dengan representasi dalam berbagai bentuk ritual dan ukiran. “Mereka yang menempa seni dengan kekhasan ukiran yang telah diwariskan dari leluhur turun temurun,” ujar Pastor Budi.

Gereja St Paulus Atsj.[www.keuskupanagats.org]
Lebih lanjut Pastor Budi menerangkan, kehidupan menggereja di paroki ini tampak dalam hidup sehari-hari. Perayaan-perayaan liturgis kerap kali dikontekstualisasi dengan budaya setempat sehingga perayaan bersama menjadi hidup. Pastoral di Atsj disesuaikan dengan tradisi setempat.

Gereja tidak boleh menutup diri melainkan terbuka terhadap kearifan suku Asmat ini. Gereja memberi ruang kepada mereka dengan menempatkan ukiran-ukiran dan patung-patung di Gereja. Patung Yesus dan Maria serta orang kudus diukir oleh tangan mereka sendiri. “Selain itu tidak hanya seni ukir, tetapi berbagai ekspresi seni baik dalam tari, musik maupun nyanyian. Mereka menampilkannya dalam perayaan-perayaan besar seperti Paska maupun Natal,” kata Pastor Budi.

Pastor Budi menjelaskan, keterbukaan tersebut dalam praktiknya saling melengkapi antara Gereja dan budaya setempat. Kearifan lokal berupa ukiran tersebut dengan berbagai ragam ekspresi sehingga memberi kekayaan bagi Gereja sendiri. “Di sinilah letak Gereja universal yang merangkul seluruh suku bangsa.”

Kehadiran Gereja Katolik di Atsj dan sekitarnya juga telah menjadi terang dengan turut terlibat. Menurut Pastor Budi, hal ini adalah konsekuensi dari perkembangan zaman berlangsung begitu cepat.

Di Asmat sendiri pendatang datang silih berganti dari luar daerah. Bila kearifan lokal tidak dijaga maka berdampak pada tergerusnya tradisi, termasuk tradisi Asmat.

 

Willy Matrona

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini