Sebelum bergabung dengan Serikat Yesus pada 1977, Ramon sempat mengenyam pendidikan tinggi di sebuah universitas di Manila. Begitu lulus, Ramon sempat terjun dalam bisnis keluarga.
Dia mengelola usaha perhiasan serta ekspor-impor. Namun, saat peluang mencicipi kemapanan dan mungkin ketenaran berada di depan mata, dia justru banting stir: menjadi imam.
Pilihannya bergabung dengan Serikat Yesus karena terkesima dengan karya pelayanan para Jesuit di Manila. Mereka, kenang Ramon, berada dan berkarya untuk orang-orang miskin di wilayah termiskin di Manila.
Kebetulan, saat itu ada anggota Jesuit yang dikenalnya mengajak Ramon ke daerah tersebut. “Saya tersentuh menyaksikan peristiwa tersebut,” ujarnya.
Amat Dibutuhkan
Ramon mendaftar dan diterima sebagai anggota Jesuit. Meski pun dia mengaku saat itu ingin menjajal. Tapi, siapa yang bisa berpaling jika Tuhan telah memanggil? Seiring waktu panggilan Ramon terus bertumbuh. Teladan hidup para Jesuit senior dia akui turut memantapkan keputusannya untuk berkanjang dalam panggilan dan sebagai Jesuit.
Tantangan besar yang Ramon hadapi selama berada di rumah pembinaan adalah keluarga. Dia tak bisa sesuka hati dan setiap saat bertemu dengan keluarganya. “Bila ada kesempatan, yang saya kunjungi pertama adalah keluarga. (Sadarkah kita) merekalah yang sering mengunjungi kita, tapi seringkali kita tidak bisa (atau seakan tak memiliki waktu) untuk mengunjungi mereka,” tanyanya, retoris.
Ramon lantas melanjutkan pendidikan di Amerika dan Inggris. Lulus dari sana, dia mengajar Bahasa Inggris di Universitas Sogang, Seoul, Korea Selatan. Lembaga pendidikan tersebut merupakan salah satu karya Jesuit di Negeri Ginseng. Tak ada kendala berarti yang dialaminya selama tinggal di Korea. “Saya rasa Tuhan memberkati saya,” ungkap Pastor Ramon, sembari tersenyum.
Karya lain Pastor Ramon adalah membimbing umat dalam ret-ret penyembuhan. Terkait hal tersebut, ada satu pengalaman yang amat membekas dalam benaknya. Pada suatu ketika, ada seorang ibu datang dan meminta bantuannya. Ibu itu, beber Pastor Ramon, menceritakan bahwa hidupnya tak tenang lantaran anak perempuannya mengambil jalan pintas, bunuh diri, ketika terkena masalah. Ibu itu begitu terpukul. Dia merasa amat bersalah karena tak berhasil mencegah perbuatan nekad anaknya.
Pastor Ramon membimbing ibu itu selama beberapa kali retret pemulihan batin. Dia bersyukur, kondisi umat itu berangsur membaik saat ini. Pengalaman tersebut kian membuka mata dan kesadaran Pastor Ramon bahwa sebagai imam, kerasulan atau pelayanan penyembuhan luka batin sungguh amat dibutuhkan umat. “Pelayanan penyembuhan oleh imam sangat penting. Pelayanan itu meliputi pengajaran, penyembuhan, rekonsiliasi, persekutuan, memberi bantuan makanan, dan Sakramen Ekaristi,” saran Pastor Ramon.