HIDUPKATOLIK.com – Terlahir sebagai anak petani miskin, ia harus berjuang untuk bisa bersekolah. Kecerdasan dan kesalehan hidupnya ia persembahkan bagi Gereja. Ia dikenal sebagai reformator Gereja dan teladan insan diskresi yang tegas sekaligus lembut.
Petrus Faber atau Pierre Favre dilahirkan pada 13 April 1506 di Villaret, Savoya, Perancis, dari keluarga petani miskin. Dalam kesederhanaan, garis keluarganya tetap memegang teguh keutamaan kristiani. Dua pamannya menjadi imam Kartusian.
Sebagai anak petani, Faber terbiasa menggembalakan domba di sekitar pegunungan Alpen. Kelembutan hatinya begitu dominan sejak kecil. Ia pun sudah menunjukkan bakat jenius. Daya ingatnya amat mengagumkan. Setiap pagi sebelum memulai rutinitas, Faber setia mengikuti Misa. Dengan teliti ia dengarkan khotbah pastor kata demi kata. Lalu pada sore harinya, ia mengulangi khotbah itu secara verbatim pada teman-temannya. Kebiasaan ini menjadi benih panggilan rasuli dalam dirinya.
Hasratnya belajar pun amat menggebu, tapi terkendala oleh biaya. Orangtuanya tak mampu menyekolahkan buah hatinya. Konon, Faber menangis tiap malam karena tak bisa mengenyam bangku sekolah. Melihat hal itu, orangtuanya berusaha menitipkannya pada seorang imam yang membuka sekolah dasar di Thônes pada 1516. Hasil belajar bocah itu pun amat mengagumkan. Setelah itu, Faber melanjutkan sekolah di La Rooche.
Panggilan Imamat
Meski tanpa jaminan, Faber memutuskan hijrah ke Paris pada 1525. Ia diterima di Kolese Sainte-Barbe, sekolah tertua di Universitas Paris secara gratis. Di sinilah ia berbagi kamar dengan seorang bangsawan muda dari Navarra, Fransiskus Xaverius. Mereka sangat akrab dan menjadi teman seperjuangan menuntut ilmu humaniora, filsafat dan teologi, hingga memperoleh gelar Master of Arts (MA) pada 1530.
Pada Oktober 1529, Faber dan Xaverius kedatangan seorang mantan tentara berdarah Basque dari Spanyol, Ignatius Loyola, yang menjadi teman sekamar. Mereka menjalin relasi persahabatan yang begitu erat. Kesulitan dengan Bahasa Yunani, Ignatius meminta Faber mengajarinya filsafat Aristoteles. Sementara itu, Ignatius berbagi kekayaan spiritualnya pada dua sahabatnya itu. Keduanya pun terpikat dengan olah rohani Ignatius. Di bawah bimbingan Ignatius, Faber akhirnya bertekad untuk mengabdikan diri dengan hidup selibat sebagai imam.
Kerohanian Faber pun berkembang seiring dengan petuah Ignatius, yang berkolaborasi dengan devosi populer, humanisme kristiani dan pemikiran Abad Pertengahan yang digandrungi kala itu. Akhirnya, ia ditahbiskan sebagai imam pada 30 Mei 1534. Faber ialah imam pertama yang masuk dalam jajaran 10 Primi Patres (Bapa-Bapa Pertama) bersama Ignatius, pendiri Ordo Serikat Jesus.
Sebagai satu-satunya imam, Faber bersama Ignatius, Xaverius dan empat sahabat lainnya mengikatkan diri bersama dan mengikrarkan kaul di Montmartre pada 15 Agustus 1534.
Pada 15 November 1536, Ignatius kembali ke Spanyol dan berpesan pada Faber untuk mengkoordinir rekan-rekannya bertemu di Venesia untuk berziarah dan merasul ke Tanah Suci. Faber pun segera mengumpulkan rekan-rekannya dan berangkat ke Venesia untuk menemui Ignatius yang sudah menunggu di sana. Mereka tiba di Venesia pada Januari 1537.
Reformator Gereja
Sembari menunggu kapal ke Tanah Suci, Faber dan kawan-kawannya menghabiskan waktu dua bulan melayani kaum papa dan berkhotbah. Lalu Ignatius mengutusnya ke Roma bersama beberapa rekan untuk meminta restu Paus Paulus III (1534-1549) tentang rencana ziarah dan kerasulan mereka ke Tanah Suci. Meski memberikan restu, Bapa Suci memberikan gambaran situasi perang dengan Turki yang mengancam para peziarah Katolik.
Sekembalinya dari Roma, mereka melakukan deliberasi dan berdiskresi bersama ke mana arah yang akan mereka tempuh. Alih-alih melanjutkan impian menjadi martir di Tanah Suci, mereka bermufakat untuk menyerahkan diri pada Bapa Suci untuk diutus sesuai dengan kehendak Penerus Takhta St Petrus dan kebutuhan Gereja. Pada November 1537, komunitas cikal bakal Ordo Serikat Jesus itu hijrah ke Roma, menyerahkan diri pada Bapa Suci, dan siap diutus ke manapun Gereja membutuhkannya.
Faber pun ditugaskan untuk mengajar teologi dan Kitab Suci di Universitas Sapienza Roma hingga Mei 1539. Lalu ia diutus sebagai pengkhotbah di Parma dan Piacenza untuk memurnikan ajaran Katolik.
Tahun 1540, Faber dipanggil ke Roma dan mendapat perutusan baru ke Jerman untuk membendung pengaruh teologi Protestan pada 1541. Selama di Jerman, ia menghindari debat kusir teologis dengan Lutheran dan menekankan reformasi pribadi baik di kalangan hirarki dan awam. Ia mengajar, berkhotbah, mendengarkan pengakuan dosa dan membimbing Latihan Rohani di Worms dan Ratisbon (kini Regensburg). Banyak umat terpikat oleh kelihaiannya dalam mendampingi seseorang menemukan jalan kembali dalam Gereja Katolik.
Dalam usaha kontra-reformasi Protestan, Faber berkeliling untuk memotivasi para bangsawan, uskup dan imam agar berpegang teguh pada iman Katolik. Selain khotbahnya yang menggetarkan, ia dikenal karena kepiawaiannya membimbing jiwa-jiwa melalui Latihan Rohani.
Dipanggil ke Spanyol oleh Ignatius, Faber merasul selama enam bulan di Barcelona, Aragoza, Medinaceli, Madrid dan Toledo. Pada Januari 1542, Paus mengutusnya kembali ke Jerman. Selama 19 bulan berikutnya, ia berjuang membela Gereja Katolik di Speyer, Mainz dan Cologne.
Usahanya berlimpah buah dengan gelombang pertobatan umat kembali pada Gereja Katolik. Karyanya pun memikat banyak anak muda untuk menjadi Jesuit, antara lain Petrus Kanisius dan Fransiskus Borgias. Ia sempat merasul di Leuven dan Savoya, Perancis selama beberapa bulan pada 1543, lalu kembali lagi ke Jerman hingga medio 1544.
Atas permintaan Raja Portugal John III, Takhta Suci mengutusnya untuk melanjutkan karyanya di Portugal dan Spanyol pada periode 1544-1546. Namanya kian harum di kota-kota yang ia kunjungi. Tak kenal lelah Faber melanglang buana di Eropa hanya dengan berjalan kaki sebagai reformator Gereja: berkhotbah dan membawa jiwa-jiwa kembali ke pangkuan Gereja Katolik.
Model Kekudusan
Tahun 1546, Bapa Suci menunjuknya sebagai peritus (pakar) utusan resmi Vatikan dalam Konsili Trente. Bahkan Raja John III mengusulkannya sebagai Patriakh Ethiopia. Berangkat dari Spanyol pada April 1546, ia singgah di Roma untuk menemui sahabat dekatnya, Ignatius, sebelum hadir dalam Konsili Trente. Pada 17 Juli 1546, kesehatannya terganggu. Alih-alih bisa menghadiri Konsili Trente, Faber justru menghembuskan nafas terakhir dalam pelukan Ignatius pada 1 Agustus 1546.
Jasadnya dimakamkan di Gereja Our Lady of the Way. Tahun 1569 ketika gereja itu diruntuhkan untuk membangun Gereja Gesù, jasad Faber dan beberapa Jesuit awal dipindahkan. Kini jasadnya disemayamkan di Gereja Gesù.
Paus Pius IX (1846-1878) menganugerahinya Beato pada 5 September 1872. Di kota-kota yang pernah menjadi medan kerasulannya, devosi pada Faber begitu besar. Banyak orang mengamini jasanya yang besar pada Gereja, keutamaan dan kesalehan hidupnya, serta kecerdasannya dalam berkhotbah, mengajar dan memberikan Latihan Rohani.
Akhirnya, Paus Fransiskus menggelarinya Santo pada 17 Desember 2013. Kanonisasi Faber ini dilakukan tanpa mengindahkan adanya mukjizat kedua seperti proses yang lazim. Ia dikukuhkan sebagai model kekudusan karena kesetiaan pada kesatuan dan pembaruan Gereja, kesalehan hidup yang sederhana, dialog dengan siapa saja termasuk musuhnya, serta diskresinya yang tegas sekaligus lembut. Gereja memperingatinya tiap 2 Agustus.
Sylvia Marsidi/R.B.E. Agung Nugroho
HIDUP NO.04 2014, 26 Januari 2014