Bolehkah Merayakan Misa Imlek?

2632

HIDUPKATOLIK.com – Menurut pengamatan saya, ada keuskupan yang mengijinkan Misa Imlek, tetapi ada juga yang menolak . Mengapa ada perbedaan yang begitu mencolok? Apa dasar teologis Misa Imlek? Jika diijinkan Misa Imlek, mana ungkapan budaya Cina yang boleh digunakan?

Yakobus Sugeng Cahyonoadi, 08881005xxx

Pertama, permasalahan Misa Imlek harus dilihat dalam kerangka hubungan antara iman dan budaya. Iman selalu membutuhkan budaya, baik dalam penghayatan maupun dalam pewartaan. Iman tak pernah melayang di udara tanpa bungkus budaya (GS 53). Iman kristiani tidak terikat pada satu budaya tertentu, tetapi bisa diungkapkan dalam semua budaya. Dalam arti itulah, iman kristiani bersifat katolik (Yun: catholicos berarti umum). Agar penghayatan iman bisa sungguh mendalam dan pewartaan iman dapat sungguh menarik dan dimengerti, maka iman perlu dibungkus dengan budaya yang sesuai (GS 58).

Dasar teologis hubungan antara iman dan budaya yang sedemikian itu ialah peristiwa Inkarnasi Sang Sabda. Sang Sabda menjadi manusia dalam budaya Yahudi dan mengungkapkan penghayatan iman-Nya melalui bungkus budaya Yahudi. Inilah ajaran resmi Magisterium Gereja. Pasti setiap Uskup Katolik mengikuti ajaran ini.

Kedua, Tahun Baru Imlek adalah awal musim semi dalam sistem penanggalan yang digunakan Dinasti Xia (2205-1766 SM). Setelah lama tidak digunakan, sistem penanggalan ini digunakan lagi pada jaman Dinasti Han dan ditetapkan Kaisar Han Wu Di (140- 86 SM) atas anjuran nabi Khonghucu. Penghitungan awal tahun dimulai pada tahun kelahiran nabi Khonghucu, sehingga penghitungan tahun itu dikaitkan erat dengan pengikut nabi Khonghucu. Tetapi sebagai sistem penanggalan, Tahun Baru Imlek adalah budaya yang sudah ada jauh sebelum nabi Khonghucu. Karena itu, Tahun Baru Imlek dirayakan semua orang yang mengikuti sistem penanggalan Dinasti Xia itu, tanpa terikat agama apapun. Ada sekitar 1,5 miliar orang di seluruh dunia terutama di negara-negara Asia Timur yang merayakan Tahun Baru Imlek dan mereka ini berasal dari berbagai agama. Adalah tantangan bagi Gereja Katolik agar bisa memfasilitasi umat yang beretnis Tionghoa untuk menghayati dan mengungkapkan iman Katolik dengan bungkus budaya Cina, antara lain dalam merayakan Tahun Baru Imlek.

Ketiga, sebelum merayakan Tahun Baru Imlek, orang Tionghoa terlebih dahulu berdoa menurut keyakinan masing-masing. Ada yang ke vihara, kelenteng, gereja, atau masjid. Karena itu, Misa Tahun Baru Imlek paling tepat diadakan pada hari pagi hari. Baru kemudian, orang-orang melakukan kunjungan keluarga. Merayakan Tahun Baru Imlek sesudah hari H memberi kesan sekedar mengawinkan iman Katolik dengan budaya Cina, tanpa memperhatikan kebiasaan budaya Cina yang mengucap syukur kepada Yang Mahakuasa terlebih dahulu, sebelum melakukan kunjungan keluarga.

Keempat, masalah yang rumit ialah bagaimana menggunakan kekayaan budaya untuk mengungkapkan iman Katolik baik dalam liturgi, pewartaan, kesaksian, persekutuan, dan pelayanan. Harus disadari bahwa ungkapan-ungkapan budaya bukanlah ungkapan tanpa makna, tetapi seringkali sarat akan makna. Pemaknaan ini seringkali terkait dengan pandangan tentang Allah, tentang manusia dan tentang keselamatan. Karena itu, penyatuan antara iman dan budaya adalah perkawinan antara dua makna yang harus bersifat memurnikan, meneguhkan, menumbuhkan, dan membaruinya dalam Kristus (GS 58).

Secara konkret, penggunaan warna liturgi merah, hio, pai-pai, membagi buah, membagi angpao, barongsai, dan yang lain haruslah melalui pemaknaan kembali secara Katolik. Penggunaan ungkapan budaya ini juga harus menjaga kesakralan liturgi yang ada. Lebih tepat jika barongsai tidak dilakukan di dalam liturgi dan tidak di dalam gereja. Pemberkatan buah jeruk dan angpao bisa dilakukan setelah komuni dan kemudian dibagikan sesudah Misa..

Dr Petrus Maria Handoko CM

HIDUP NO.04 2014, 26 Januari 2014

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini