HIDUPKATOLIK.com – Majalah ini mengajak Pembaca yang budiman menyimak pernyataan lugas Wakil Presiden Yusuf Kalla terkait dengan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yang baru-baru ini menjadi bahan pembicaraan hangat, bahkan menimbulkan pro dan kontra. Jusuf Kalla mengatakan, tidak semua kegiatan keagamaan perlu diatur, termasuk kegiatan ibadah sekolah Minggu di gereja sebagaimana dimasukkan dalam RUU Pesantren. “Setiap agama memiliki caranya sendiri. Kalau itu diatur oleh pemerintah, kan susah amat karena begitu banyaknya Tempat Pendidikan Al Quran (TPA), begitu banyaknya sekolah Minggu. Kalau mau diatur kan sulit,” ucapnya sebagaimana dilansir Tempo.co.
Mengapa kita perlu mencermati pernyataan tersebut? Beberapa alasan yang patut dikemukakan. Pertama, kita mengamini pernyataan tersebut karena seharusnya negara dalam hal ini pemerintah tidak perlu terlalu mencampuri urusan pendidikan keagamaan yang menjadi domain masing-masing agama. Kalau negara mencampuri urusan internal agama, apalagi menyangkut pembinaan iman umat, kita mengalami kemunduran. Ke depan, hal ini menyisakan persoalan pelik. Kedua, DPR tampaknya tidak memahami secara komprehensif perbedaan antara pesantren, TPA, dan sekolah Minggu. Sekolah Minggu, jelas-jelas bukan sekolah formal dengan kurikulum. Sekolah Minggu seharusnya dalam tanda petik. Bahkan, lebih tepat disebut sebagai kelompok bina iman anak. Ketiga, Yusuf Kalla memahami dan menyadari betul kerumitan-kerumitan yang akan muncul bila pemerintah harus mengurusi TPA dan sekolah-sekolah Minggu. Bukan hanya menyangkut konten, tapi juga masalah dana.
Maka, tidak mengagetkan bila Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) melayangkan sikap tegas terhadap RUU ini. Disinyalir kuat bahwa dua lembaga agama besar ini tidak dilibatkan dalam proses penyusunan RUU ini terutama mengenai beberapa pasal yang justru menyangkut domain internal baik Protestan maupun Katolik. Protestan dan Katolik sudah memiliki mekanisme pembinaan iman umatnya. Agama-agama lain pun sama. Pemerintah tidak pada tempatnya ikut cawe-cawe di ranah tersebut. Bahwa pemerintah ingin memfasilitasi, seperti memberi bantuan operasional, tampaknya bisa dibicarakan terlebih dahulu dengan para pimpinan agama-agama. Agar jangan sampai muncul persepsi, pemerintah ingin campur tangan dalam pembinaan iman umat.
Selain argumentasi di atas, masih ada hal esensial yang perlu dibicarakan lebih dalam. Hal ini terkait dengan Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dan Peraturan Pemerintah (PP) No 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Keagamaan. Apakah RUU Pesantren ini tidak bertentangan dengan UU Sisdiknas dan PP No 55? Apakah konsep pendidikan keagamaan yang dibicararakan dalam RUU Pesantren ini sama dengan yang ada dalam UU Sisdiknas?
Oleh karena masih terdapat problem krusial dalam RUU ini, pernyataan Jusuf Kalla hendaknya dijadikan pijakan bersama. Gereja Katolik dan Protestan berada pada posisi yang tidak mudah, apakah akan menerima atau menolak RUU ini. DPR perlu bersikap bijaksana. Pembinaan iman umat janganlah diseret-seret demi kepentingan (kapitalisasi) politik semata! Dan, pemerintah pun perlu mengkaji ulang RUU ini sebelum disahkan.
HIDUP NO.48 2018, 2 Desember 2018